close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Diskusi publik bertajuk 'Peran MPR dalam Memperkuat Sistem Presidensia' di Media Center DPR, Jumat (5/7).Alinea.id/Cantika Adinda Putri Noveria 
icon caption
Diskusi publik bertajuk 'Peran MPR dalam Memperkuat Sistem Presidensia' di Media Center DPR, Jumat (5/7).Alinea.id/Cantika Adinda Putri Noveria 
Politik
Jumat, 05 Juli 2019 17:49

Anggota MPR berbeda pandangan tentang sistem pemerintahan

Kendati begitu, dalam konteks demokrasi perlu diciptakan kekuatan oposisi atau penyeimbang yang disebut sebagai check and balance.
swipe

Anggota MPR belum menemui kata sepakat mengenai sistem pemerintahan di Indonesia. Anggota Fraksi PAN MPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai kekuasaan presiden di Indonesia sangat besar. Sedangkan anggota MPR Fraksi PKB Abdul Kadir Karding mengaku tata negara Indonesia sudah lebih dominan kepada parlementer 

Saleh Partaonan Daulay beralasan, dari sisi legislasi misalnya, presiden memiliki kewenangan 50% dalam pembuatan undang-undang. Dalam situasi tertentu, presiden juga bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). 

"Saya ingat, dulu kami pernah mau merubah sistem pilkada. Itu undang-undang sudah hampir jadi di DPR dan sudah semua sepakat, tetapi tiba-tiba Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada waktu itu mengeluarkan Perppu, maka batal semuanya," ujar Daulay saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk 'Peran MPR dalam Memperkuat Sistem Presidensial' di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7). 

Menurut Daulay, kewenangan presiden tersebut sangat luar biasa: bisa membuat undang-undang juga melalui Perppu. Begitu Perppu berjalan beberapa waktu, otomatis berubah menjadi undang-undang.

"Dari sisi legislasi, sebetulnya presiden memiliki kekuasaan yang cukup luar biasa besar," ucap Daulay. Oleh karena itu, dia berharap sebaiknya dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan presiden. 

Berbeda dari Daulay, menurut Abdul Kadir Karding, tata negara Indonesia sudah lebih dominan kepada parlementer. Banyak yang berubah karena legislator menetapkan undang-undang. 

"Misalkan saja penghapusan dwifungsi ABRI, dan lain sebagainya. Itu terjadi karena undang-undang telah di amandemen," ucap Karding dalam kesempatan yang sama. 

Lainnya adalah presiden tidak boleh menjabat lebih dari dua kali dan dipilih secara langsung oleh rakyat, berdasarkan undang-undang. "Dari situ kita lihat bagaimana sesungguhnya di UUD sekarang, sebenarnya kekuatan jauh lebih berimbang," tutur Karding. 

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, ketika sistem presidensial sangat kuat, legislator menjadi kesulitan dalam mengontrol ataupun mengawasi. Bahkan saat ini presiden juga memiliki hak prerogatif dalam menentukan menterinya. 

"Hari ini kita menyaksikan begini, presiden kuat, parlemen kuat, lalu apa? Lalu yang terjadi adalah kalau keduanya kuat, maka kekuasaan cenderung korup," ujar Ujang. 

Oleh karena itu, dalam konteks demokrasi perlu diciptakan kekuatan oposisi atau penyeimbang yang disebut sebagai check and balance, sehingga kekuatan itu menjadi stabil. 

Kerangka besar dari sistem presidensial adalah kekuasaan presiden mesti dikontrol oleh kekuatan parlemen yang bukan hanya dari kelompoknya.Sehingga siapapun presidennya, terjadi kontrol. 

"Orba (Orde Baru) juga presidensial, tapi tidak ada kekuatan oposisi, tidak ada kekuatan. Mohon maaf, kami tidak menyalahkan Orba, tetapi faktanya adalah banyak kekuasaan yang disalahgunakan," tuturnya. 

 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan