close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Jokowi-Ma'ruf sebelum Pilpres 2019/Foto Antara
icon caption
Jokowi-Ma'ruf sebelum Pilpres 2019/Foto Antara
Politik
Senin, 18 Oktober 2021 21:53

Dua tahun Jokowi-Ma'ruf: Infrastruktur plus, demokrasi dan keagamaan minus?

Menurut Sekum Muhammadiyah, citra Jokowi sebagai pemimpin yang tak dekat dengan umat Islam tidak bisa hilang.
swipe

Sekretaris Umum (Sekum) Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan, beberapa persoalan terkait keagamaan tidak tertangani dengan baik di periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berbagai persoalan keagamaan itu, sambung Mu'ti, lebih banyak diselesaikan secara politis ketimbang hukum.

"Padahal, persoalan keagamaan itu bisa juga diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah. Itu bisa jadi alternatif saya kira," ujar Mu'ti dalam Webinar Moya Institute bertajuk Dua Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin:Capaian, Harapan dan Tantangan, Senin (18/10/2021).

Penyelesaian melalui hukum pun, menurut Mu'ti, tidak menuntaskan akar persoalannya. Dia mengambil contoh pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang tak menyelesaikan masalah.

"Justru para anggota dari kedua ormas yang dibubarkan itu, saya amati masih banyak yang beraktivitas seperti biasa. Dan tak sedikit yang menuai simpati masyarakat," ujar Mu'ti.

Pun segregasi berdasarkan agama, ujar Mu'ti, juga lebih kental di era Pemerintahan Presiden Jokowi, terutama sejak Pemilu 2019. Citra Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang tidak dekat dengan umat Islam, tidak bisa hilang meski mantan Gubernur DKI Jakarta itu menggandeng KH Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden.

Selain itu, Mu'ti juga menyoroti komunikasi antara Istana dengan sejumlah kelompok keagamaan yang terjadi secara sporadis, tidak secara berkelanjutan. Muncul kesan, tokoh agama dilibatkan jika ada permasalahan. Jika tidak ada, maka tidak lagi dibutuhkan.

"Faktor komunikasi perlu diperbaiki, agar terjadi sebaik-baiknya. Komunikasi tidak sporadis, istilahnya seperti "pemadam kebakaran". Komunikasi antara ulama dan umara perlu dibangun sebaik-baiknya," tandas Mu'ti.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan di periode kedua ini, Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin memang menghadapi tantangan yang tak mudah. Sudah satu setengah tahun terakhir, pandemi Covid 19 melanda Indonesia dan dunia.

Hal itu, ujar Arsul, membuat situasi dalam aspek kehidupan menjadi tidak normal. "Sehingga, ukuran-ukuran normal juga tak bisa diterapkan untuk mengukur kinerja Pemerintah di tengah situasi seperti ini," tambahnya.

Namun, sambung Arsul, selain dilanda oleh Pandemi Covid, periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi ini juga ditandai oleh menurunnya indeks persepsi korupsi sebagaimana yang dirilis oleh Transparency International.

"Dan yang juga menarik, adalah dampak dari Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, yang dibuat untuk kemudahan berbisnis, meskipun bisnis nya menurun karena pandemi. Penting untuk di survei, apakah tujuan undang-undang ini tercapai atau tidak," ujarnya.

Sementara itu, menurut Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad, selama beberapa tahun terakhir para ilmuwan politik asing cenderung melontarkan nada pesimistis terkait perkembangan Indonesia. Pesimisme itu khususnya terkait perkembangan di bidang sosial, demokratisasi serta Hak Azasi Manusia (HAM).

Namun, sambung Saidiman, hal berbeda disuarakan oleh beberapa pengamat lain yang juga dari luar negeri. Mereka pada umumnya memberikan apresiasi pada pencapaian-pencapaian Pemerintahan Presiden Jokowi di sektor ekonomi, seperti keterbukaan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.

"Profesor dari National University of Singapore, Kishore Mahbubani, misalnya, melalui sebuah artikel menyatakan Presiden Jokowi sebagai pemimpin jenius. Dia mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi cukup berhasil menurunkan ketimpangan sosial melalui berbagai program pro rakyat," bebernya.

Mahbubani, sambung Saidiman, juga mengatakan bahwa reformasi ekonomi Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi cukup berhasil. "Indikator-indikator keberhasilan itu antara lain terbitnya Undang-undang Cipta Lapangan Kerja serta pembangunan infrastruktur yang dahsyat di berbagai daerah," ungkap Saidiman.

Namun, lanjut Saidiman, ada juga suara-suara yang pesimis pada Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Umumnya, pesimisme ini dilandasi penilaian bahwa sedang terjadi degradasi demokrasi di era Presiden Jokowi.

"Dosen University of Sydney, Thomas Power misalnya, menyebut 'Jokowi Authoritarian'. Dia melihat Pemerintahan Presiden Jokowi ini ada kecenderungan menuju otoritarianisme. Kemudian ada juga peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, yang melihat rezim cenderung menggunakan 'jargon' menjaga pluralisme dengan cara-cara 'iliberal'," ujar Saidiman.

Sementara itu, Direktur Pasca Sarjana Universitas Sahid  Marlinda Irwanti menyoroti pencapaian target Pemerintah Presiden Jokowi terkait tujuan kelima Sustainable Development Goals, yakni kesetaraan gender.

Menurut Marlinda, di periode kedua ini telah muncul beberapa kebijakan positif baik langsung maupun tak langsung, pada penanganan atau pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan. Contoh kebijakan itu, ujar Marlinda, adalah Perpres Nomor 65 tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

"Perpres ini meneguhkan kewenangan Kementerian PPPA untuk menyelenggarakan koordinasi pelayanan terpadu di tingkat daerah, dan menjadi rujukan akhir koordinasi di tingkat nasional untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan," ujar Marlinda.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto selaku pemantik diskusi menyatakan, dua tahun memang terlalu pendek bagi Pemerintahan  Jokowi-Ma'ruf Amin, untuk bisa dinilai berhasil atau gagal. Namun, hal itu bukan berarti Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tidak bisa diberi catatan atau bahkan kritik terkait kinerjanya selama dua tahun terakhir.

Hery memberi sedikit catatan pada sektor pemberantasan korupsi dan indeks demokrasi yang naik turun. "Namun ada juga beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai keberhasilan, seperti pembangunan infrastruktur yang masif, serta yang terbaru adalah keberhasilan penyelenggaraan PON (Pekan Olahraga Nasional) di Provinsi paling timur Indonesia, Papua," ujar Hery.

img
Fathor Rasi
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan