Polda Metro Jaya hingga kini masih mendalami dugaan penyelewengan anggaran negara dalam penentuan nilai jual oblek pajak (NJOP) pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Bahkan, polisi telah meningkatkan status laporan perkara proyek pulau reklamasi dari penyelidikan ke penyidikan.
Berdasarkan hasil gelar perkara, penyidik mengindikasikan adanya penyelewengan anggaran pada proyek reklamasi Pulau C dan D. Terlebih NJOP pengganti di Pulau C dan D yang ditetapkan DPRD DKI sebesar Rp3,1 juta per meter. Namun realisasinya berkisar Rp25 juta hingga Rp30 juta per meter.
Tak hanya itu, penyidik Polda Metro Jaya juga menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna menghitung nilai kerugian negara terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pulau reklamasi Teluk Jakarta.
"Kami akan bekerja sama dengan BPK untuk mengetahui berapa kerugian negara," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/11).
Dalam kasus ini, polisi memeriksa Kepala Bidang Peraturan Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta, Kepala Bidang Perencanaan, dan staf BPRD Penjaringan Jakarta Utara sebagai saksi pada Rabu (8/11).
Argo menambahkan, materi pemeriksaan soal klasifikasi dan penetapan NJOP sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139. "Kemudian nanti akan kami lihat juga apakah ada atau tidak kerugian negara dari proyek itu," tandasnya.
Visi reklamasi Teluk Jakarta
Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman memaparkan proyek reklamasi memiliki visi jangka panjang. Bahkan, kajian proyek tersebut dibuat terpadu dengan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Dilansir dari Antara, mega proyek itu ditujukan untuk memperbaiki kondisi ekologi pantai utara Jakarta sekaligus menumbuhkan perekonomian baru di kawasan reklamasi.
"Visinya jangka panjang, dan terintegrasi. Tapi juga memperbaiki kondisi ekologi dan kawasan pantai utara Jakarta," jelas Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman, Ridwan Djamaluddin.
Kemenko Kemaritiman menyebut ada empat pertimbangan mengapa proyek reklamasi terus berlanjut. Pertama, aspek legal di mana proyek utama untuk melindungi Jakarta sebagai Ibu Kota negara adalah NCICD di tengah ancaman abrasi dan penurunan muka tanah. Alasan kedua, yakni bencana ekologis termasuk ancaman kekurangan air bersih di Jakarta yang harus ditanggulangi. Ketiga, perlu ada peningkatan produktivitas lahan yang ada. Kemudian terakhir, aspek hukum yang kini menjadi isu.
Ridwan pun menjelaskan dua tahapan yang dilakukan terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta dalam rangka melindungi ibu kota dari ancaman penurunan muka tanah. Ia memastikan ada tahap darurat yang telah dilakukan pemerintah pusat untuk melindungi kawasan pesisir sepanjang 120 km yang kerap tergenang rob.
"Sekarang sudah dilakukan. Saat ini tahapnya 25 km membangun tanggul pesisir," sambungnya.
Selanjutnya, tahap pemantauan sejauh mana keberhasilan penurunan muka tanah. Fase itu diperlukan untuk menentukan perlunya pembangunan tanggul raksasa.
"Kalau memang penurunan muka tanah dapat dikendalikan, kita bisa berharap kalau itu (tanggul) tidak perlu, ya tidak perlu dibangun," terang Ridwan.
Ridwan menambahkan, penurunan muka tanah secara alami, tidak akan bisa dihindari. Alhasil, perlu adaanya pertimbangan untuk membangun tanggul lain untuk menahan arus laut.
"Karena kalau tidak, semakin lama akan semakin tergenang. Tanggul darurat yang kita bangun sekarang pun pada waktunya nanti tidak akan sanggup juga menahan," paparnya.