Suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus melorot dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 2019, partai berlambang kakbah itu hanya mengantongi 4,52% suara nasional atau setara dengan 19 kursi di DPR. Padahal, PPP mampu mendudukkan 39 kadernya ke parlemen pada 2014.
Melorotnya perolehan suara PPP ini tak lepas dari konflik berkepanjangan yang memunculkan dualisme kepemimpinan. Konflik bermula dari manuver mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) membela Prabowo Subianto di Pilpres 2014.
Ketika itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PPP Ahmad Baidowi, SDA bersama sejumlah petinggi PPP--di antaranya Djan Faridz dan Nur Iskandar--hadir dalam kampanye akbar Partai Gerindra. Langkah itu menyalahi anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PPP.
"Itu pukulan telak bagi semua kader di seluruh Indonesia," kata Awiek, sapaan akrab Baidowi, dalam bedah buku bertajuk 'Musibah Partai Kakbah, Potret Perjalanan PPP 2014-2019' di kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
Menurut Awiek, pernyataan dukungan yang dikeluarkan SDA dan kawan-kawan terhadap Prabowo Subianto sebagai capres 2014 menyalahi aturan. Dukungan politik terhadap capres-cawapres seharusnya melalui mekanisme musyawarah-mufakat di tingkat DPP.
Tak hanya itu, Awiek mengatakan, SDA juga kian otoriter setelah kembali terpilih sebagai ketum di Muktamar VII di Bandung. Usai muktamar, SDA bahkan merombak struktur kepengurusan di DPP tanpa melibatkan pengurus pusat.
Konflik di internal PPP, lanjut Awiek, memuncak saat Sekjen PPP hasil Muktamar VII Romahurmuziy menggelar muktamar di Surabaya pada pertengahan 2014 dan didapuk sebagai ketum PPP. Selang beberapa hari, kubu SDA menggelar muktamar tandingan.
Akibatnya, dualisme kepemimpinan lahir di tubuh partai bernafas Islam itu. "Akumulasi persoalan ini sangat berpengaruh terhadap kinerja elektoral sehingga perolehan suara di DPR selalu di nomor buncit," ujarnya.
Dalam pengantar buku, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, banyak faktor yang menentukan kinerja elektoral PPP.
Salah satu penyebab melorotnya suara PPP, kata dia, ialah kepemimpinan otoriter yang mengabaikan watak dan karakter dasar PPP sebagai partai umat yang egaliter.
"Faktor penting lainnya ialah kegagalan PPP dalam merumuskan ulang esensi serta format kehadirannya sebagai partai Islam dalam pentas politik pasca-Orde Baru," ujar Syamsuddin.
Selain faktor kepemimpinan, Syamsuddin menyebut, PPP juga gagal merumuskan identitas parpol. Walhasil, muncul kegamangan dan disorientasi ideologis di kalangan partai berbasis massa Islam.
Dari sisi eksternal, PPP juga dinilai gagal merespons transformasi sosio-kultural yang dialami pemilih Muslim sejak Orde Baru. "Dan semakin intensnya internalisasi nilai-nilai simbol Islam di kalangan-kalangan partai nasionalis di pihak lain," imbuh dia.
Hadir sebagai penanggap bedah buku, peneliti LIPI Siti Zuhro mengatakan, kemerosotan PPP muncul karena partai itu gagal menjadi rumah bagi Nahdatul Ulama (NU) dan warga Muslim lainnya. "Saatnya melakukan rebranding dengan membangun kepemimpinan yang islami," kata Siti.