Mantan Pangkostrad, Letjen Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah (Ijeck) menjadi pasangan pertama yang mendaftar ke KPUD Sumatera Utara (Sumut) sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumut 2018-2023. Pasangan tersebut didukung oleh Golkar, PKS, PAN, Gerindra, Nasdem dan Hanura. Selain duet Edy-Ijeck, masih ada pasangan JR Saragih-Ance Selian yang diusung Demokrat, PKB dan PKPI. Sedangkan PDIP yang memiliki 16 kursi, mengusung Djarot Syaiful Hidayat-Sihar Sitorus. Kedua pasangan ini masih kekurangan empat kursi sebabagi syarat maju Pilgub Sumut.
Meski semalam Djarot mengunjungi DPP PPP yang memiliki empat kursi di Sumut, namun hingga kini belum ada titik temu terkait dukungan partai berlambang kabah tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suryadi menilai jika Djarot mengantongi syarat dukungan, maka terdapat peluang head to head antara Edy-Ijeck dengan Djarot-Sitorus.
“Dari ekspektasi masyarakat selama ini, sepertinya Edy punya peluang besar. Tapi jangan dilupakan kalau Djarot bisa masuk dan lolos administrasi justru jadi kuda hitam. JR Saragih mungkin punya basis, tapi di Simalungun mungkin juga Karo. Dari tiga (kandidat) mungkin yang akan head to head Edy-Ijeck sama Djarot-Sitorus,” ujar Agus saat berbincang dengan Alinea, Selasa (9/1).
(Duet Edy-Ijeck mendaftar ke KPU. Foto: Irsan M/Antara)
Agus kemudian memaparkan posisi Edy yang juga menjabat sebagai Ketum PSSI, membuatnya bisa meraih suara massa mengambang, terutama generasi muda. Apalagi, sepak bola merupakan olahraga populer di Sumut. Selain itu, pasangan tersebut merupakan kombinasi tua-muda.
Sedangkan untuk Djarot-Sitorus, Agus meyebut sosok mantan Wagub DKI Jakarta itu memiliki pengalaman, bahkan sejak dari Wali Kota Bilat dalam membangun pemerintahan yang bersih.
“Di Sumut, pimpinan level elit dalam 10 tahun terkahir terus bermasalah. Kepala daerah tersandung kasus. Ekspektasi masyarakat inign pimpinan bersih ingin Sumut ingin jadi provinsi berdaya saing. Dengan pengalamannya, Djarot dianggap bersih punya kemampuan,” sambugnya.
(PDIP deklarasi Djarot-Sitorus. (foto: Sigit K/Antara)
Meski Djarot berasal dari Jawa, Agus menganggap warga Sumut lebih terbuka dan egaliter. Hingga kini, ia mengklaim tidak ada resistensi berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terkait munculnya nama Djarot di Sumut.
“Konteks masyarakat Sumut lebih fair menerima siapapun tanpa melihat perbedaan,” tandasnya.