PPP didera kemelut internal. Beberapa kadernya diduga tidak tegak lurus terhadap keputusan partai mendukung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sinyal itu terlihat lantaran beberapa waktu lalu, sejumlah kader partai berlambang Kakbah itu, menyatakan dukungan ke pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan. Mereka mengatasnamakan diri Pejuang PPP.
Padahal, selain PDI-P, PPP bersama Partai Perindo dan Partai Hanura, tercatat sebagai partai politik yang telah mengusung Ganjar-Mahfud. Wakil Sekretaris Majelis Pertimbangan DPP PPP Nyai Hizbiyah Rochim dan kader seperti Witjaksono serta Raden Agung Zainal Abidin menjadi nama-nama kader PPP yang hadir pada acara di Hotel Ambhara.
"Memang arus bawah PPP terbelah. Sebagian ada yang ke Anies sebagian ke Prabowo, sebagian juga ada ke Ganjar," ujar analis politik dari Citra Institute, Yusak Farchan kepada Alinea.id, Jumat (29/12).
"Tapi bahwa PPP punya irisan historis dengan Pak Prabowo sudah pernah terjadi. Jadi bukan barang baru. Maksudnya, di tengah tren Prabowo yang cukup positif, psikologis kader dan pemilih itu tentu ingin memilih yang potensial dimenangkan."
Yusak menyebut, kader PPP yang membelot dengan mendukung Prabowo-Gibran karena alasan pragmatis. Selain itu, pemilih PPP pun banyak yang kurang sepakat dengan pilihan elite partai yang mendukung Ganjar-Mahfud.
Kondisi itu bisa membuat dukungan terhadap Ganjar-Mahfud berkurang. Imbasnya, dapat membuat pula hubungan yang kurang harmonis dalam koalisi pendukung Ganjar-Mahfud.
Namun, menurut Yusak, hal itu bisa dicegah bila elite PPP tegas menyolidkan kader jelang Pemilu 2024. Lantas, harus diturunkan lagi dalam bentuk sanksi yang tegas.
"Karena kalau dibiarkan, ya ini akan berpotensi mengganggu soliditas PPP terkait dengan dukungan kepada Ganjar-Mahfud," ucap Yusak.
Meski begitu, Yusak paham jika ada kader PPP tak sepenuhnya sepakat mendukung Ganjar-Mahfud. Alasannya, jika dibandingkan dengan PDI-P, PPP tak mendapat efek ekor jas yang signifikan dari pencalonan Ganjar-Mahfud. Akan tetapi, hal itu perlu diredam untuk bisa lolos ambang batas partemen 4%.
"Apalagi dalam beberapa kali survei memang PPP tidak masuk tri top sebagai partai yang lolos ke Senayan," kata Yusak.
Merujuk hasil survei terbaru Centre for Strategic and International Studies (CSIS), PPP diprediksi tak lolos ke Parlemen, dengan elektabilitas sebesar 3,5%. PPP ada di urutan kesembilan, di bawah Partai Demokrat (4,8%), PAN (5,2%), Partai NasDem (6,4%), PKB (9,2%), PKS (11,8%), Partai Golkar (11,9%), Partai Gerindra (14,6%), dan PDI-P (16,4%).
Kemudian, dalam survei Litbang Kompas, PPP hanya meraih elektabilitas 2,4%. Enam partai politik lainnya yang elektabilitasnya di bawah 2,5%, antara lain Partai Perindo, Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Buruh, Partai Ummat, dan Partai Gelora.
Kendati demikian, Yusak memandang, dalam setiap pemilu, PPP kerap disebut tak bakal lolos ambang batas Parlemen. Namun, hasil akhir pemilu kerap menyatakan partai politik yang identik dengan warna hijau itu tembus ke Senayan karena kerja para kader menggalang dukungan pada saat pencoblosan.
“Karena itu, kembali pada kerja para caleg PPP dan fokus di pilegnya,” ujar Yusak.
“Kalau soal efek ekor jas calon presiden terhadap partai politik, dulu sudah pernah kita uji di 2019. Efeknya tidak terlalu signifikan.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, sejauh ini pemilih PPP masih dominan mendukung Ganjar-Mahfud. Sekalipun belum menjamin, pasangan nomor urut 3 itu lolos ke putaran kedua pilpres.
“Untuk itu, konflik PPP tidaklah mengkhawatirkan bagi Ganjar. Karena keberadaan PPP sendiri memang tidak signifikan,” kata Dedi, Sabtu (30/12).
“Bahkan, bukan tidak mungkin, hadirnya PPP justru membebani kerja propaganda Ganjar.”
Walau begitu, Dedi memandang, adanya kader yang membelot di PPP bisa membuat wibawa Ganjar-Mahfud agak merosot di mata pemilih. "Sikap mitra koalisi yang tidak disiplin bisa menurunkan performa wibawa capresnya, untuk itu apa yang terjadi di PPP bisa membuat Ganjar sulit dilirik oleh calon pemilih,” tutur Dedi.
“Karena mitra koalisinya saja enggan memilih.”
Di sisi lain, menurut Dedi, konflik internal di partai yang dipimpin Plt. Ketua Umum Muhamad Mardiono itu dipengaruhi elite PPP yang kurang bisa merangsang kekompakan kader. Bahkan, kehadiran figur sekaliber Sandiaga Uno tak dianggap tokoh PPP.
“Meskipun ia (Sandiaga) ada dalam struktur, tetapi di bawah tidak mengakar. Demikian halnya dengan Mardiono. Justru Mardiono membuat PPP semakin terpuruk,” ucap Dedi.