Efek Jokowi yang memudar pada PDI-P
Tak seperti hasil survei mayoritas lembaga lainnya, sigi Litbang Kompas yang dirilis belum lama ini menunjukkan penurunan elektabilitas yang signifikan terjadi pada PDI-Perjuangan. Di papan survei Kompas, PDI-P bahkan tersalip oleh Partai Gerindra yang elektabilitasnya melonjak hingga kisaran 3%.
Pada survei kali ini, tingkat keterpilihan Gerindra mencapai 21,9% sedangkan PDI-P hanya meraup 18,3%. Elektabilitas partai besutan Megawati Soekarnoputri itu turun hingga kisaran 6% jika dibandingkan dengan hasil survei Litbang Kompas periode Agustus 2023. Golkar menempati posisi ketiga dengan raihan elektabilitas 8%.
Menyoal hasil survei teranyar Kompas itu, politikus PDI-P Aria Bima menjawab diplomatis. Ia mengatakan akan ada evaluasi. Namun, ia juga mempertanyakan sigi Kompas yang menemukan angka undecided voters alias pemilih gamang yang melonjak hingga sekitar 28,7%.
"Undecided voters antara LSI Denny JA maupun Poltraking dan Populi Center tidak sampai segitu. Kok Kompas bisa hampir 30% pemilih bimbang? Harusnya semakin mendekati pemilihan, undecided voters-nya semakin kecil," kata Aria saat ditemui Alinea.id di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (18/12).
Pada survei Agustus 2023, Kompas menemukan pemilih yang belum menentukan pilihan hanya mencapai 18%. Survei teranyar Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menemukan jumlah pemilih gamang hanya kisaran 7,7%. Di sigi Indikator Politik Indonesia, pemilih kategori itu hanya tersisa 5,5%.
Tak hanya elektabilitas PDI-P saja yang turun. Pada survei Kompas, elektabilitas pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDI-P juga ikut tergerus. Mengantongi 15,3%, Ganjar-Mahfud disalip pasangan Anies-Muhaimin dengan tingkat keterpilihan 16,7%. Prabowo-Gibran kokoh di puncak dengan raihan 39,3%.
Aria mengatakan PDI-P dan TPN Ganjar-Mahfud tak akan "memakan mentah-mentah" hasil survei dari berbagai lembaga. Apalagi, ada perbedaan temuan yang mencolok antara satu lembaga dan lembaga lainnya. Ia berharap digelar forum antara lembaga survei untuk saling mengklarifikasi temuan mereka.
"Karena (hasil-hasil survei) ini sulit dipercaya. Ini (perlu ada forum itu) supaya lembaga survei bisa dipercaya sampai Pilpres 2029 nanti. Jangan sampai lembaga survei jadi instrumen lembaga penggiring opini," ucap Aria.
Peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa menyebut penurunan elektabilitas PDI-P kemungkinan disebabkan melemahnya asosiasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan PDI-P. Setelah merestui putra sulungnya sebagai pendamping Prabowo di Pilpres 2024, menurut Ardha, publik menyimpulkan Jokowi tak lagi bersama PDI-P.
"Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan di antara keduanya (Jokowi dan PDI-P) merenggang sejak lama dan tensinya meningkat pasca-deklarasi Gibran sebagai cawapres Prabowo," kata Ardha kepada Alinea.id, Senin (18/12).
Namun, Ardha meyakini elektabilitas PDI-P tak akan terus turun. Menurut dia, mesin partai PDI-P di akar rumput belum bergerak optimal. "Peran para caleg dan kader pada level grass root sangat penting untuk menjaga perolehan suara PDI-P," kata Ardha.
Untuk mencegah elektabilitas kian anjlok, Ardha menyarankan PDI-P kerja keras untuk mengalihkan efek ekor jas dari Ganjar-Mahfud kepada partai itu. Apalagi, Ganjar merupakan kader PDI-P. Menurut dia, efek ekor jas dari kandidat di pilpres jauh lebih berpengaruh ketimbang kinerja caleg.
Di lain sisi, menurut Ardha, PDI-P juga mesti menegaskan posisinya ketika dipaksa berhadapan dengan Jokowi. Meskipun jelas "ditelikung", PDI-P hingga kini belum memberikan sanksi yang tegas terhadap Jokowi. Menteri-menteri dari PDI-P juga masih jadi bagian dari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
"Posisi sebagai partai penguasa terlihat masih menjadi beban tersendiri bagi PDI-P untuk menentukan sikapnya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini juga sedikit banyak dialami oleh Ganjar (dan Mahfud) dalam memosisikan diri saat berkampanye," jelas Ardha.
Potensi rebound
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad sepakat anjloknya elektabilitas PDI-P kemungkinan terjadi lantaran asosiasi antara partai berlambang banteng moncong putih itu dengan Jokowi sudah renggang. Meski begitu, ia meyakini tren penurunan tidak akan berlanjut.
"Bisa jadi itu karena mundurnya loyalis Jokowi dari PDI-P. Tapi, sejauh ini, PDI-P lumayan solid tanpa Jokowi sekali pun. Pemilu 2019, hanya ada sedikit penambahan suara PDI-P. Padahal, itu periode kedua Jokowi. Artinya, kontribusi suara Jokowi pada PDI-P tidak begitu besar," ucap Saidiman kepada Alinea.id, Senin (18/12).
Pada Pemilu 2014, PDI-P keluar sebagai pemenang dengan meraih total 23.681.471 suara atau 18,95% dari total suara nasional. Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla meraup 53,15%, sedangkan kompetitor mereka, pasangan Prabowo-Hatta meraih 46,85%. Ketika itu, sejumlah lembaga survei sepakat PDI-P memenangi Pileg 2014 karena efek ekor jas dari Jokowi yang sangat besar.
Pada Pemilu 2019, Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin meraup 55,50%, mengalahkan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno yang mengantongi 44,50%. Ketika itu, PDI-P kembali menjadi pemenang pemilu setelah memperoleh 27.053.961 suara atau 19,33% dari total suara nasional. Namun, suara PDI-P hanya naik kurang dari 0,5%.
Pada Pilpres 2024, Jokowi tak lagi satu "visi" dengan PDI-P. Survei Indikator Politik yang dirilis awal Desember lalu menemukan Jokowi bisa mengalihkan sekitar 20,6% suara loyalis PDI-P ke pasangan Prabowo-Gibran. Loyalis atau konstituen PDI-P yang sejalan dengan pilihan parpol alias mendukung Ganjar-Mahfud sebesar 71,6%. Sisanya lari ke pasangan Anies-Muhaimin.
Di luar loyalis PDI-P, Jokowi juga bisa membawa sekitar 40,1% basis pendukungnya di Pilpres 2019 merapat ke pasangan Prabowo-Gibran. Pasangan Ganjar-Mahfud hanya mampu "mencuri" 38,4% basis suara Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019. Artinya, Jokowi masih punya efek besar dalam menentukan peta elektabilitas kandidat dan parpol.
PDI-P, menurut Saidiman, bisa rebound dan kembali bertengger sebagai pemuncak papan survei jika mampu mengolah simpati publik dengan apik. Apalagi, Jokowi dianggap "meninggalkan" PDI-P secara tidak baik-baik. Sejak Ganjar-Mahfud dideklarasikan, Jokowi tak pernah berkomunikasi dengan PDI-P.
"Justru ini bisa membangkitkan simpati publik kepada PDI-P. Apalagi, kalau mesin partai bekerja maksimal di akar rumput. Bisa jadi pengaruh presiden akan melemah," ucap Saidiman.