Partai-partai politik (parpol) baru dan nonparlemen menghadapi sejumlah tantangan agar bisa melewati electoral threshold 4%. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, menguraikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Pertama, partai-partai politik dihadapkan pada identitas partai (party ID) yang rendah. Kedua, volatilitas parpol tinggi di tingkat provinsi, tetapi cenderung rendah di tingkat nasional.
"Jadi, ada kecenderungan lebih dari 50% pemilih akan memilih partai yang sama di Pemilu 2024," ujar Djayadi dalam webinar nasional yang digelar Moya Institute bertema "Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024", Jumat (21/7).
Ketiga, minat pemilih untuk mendukung partai baru cenderung turun. Performa partai baru paling tinggi terjadi pada 2004.
"Total suara partai baru di 2004 itu 21,3%, hanya kalah dari Golkar yang memperoleh 22% lebih. Jumlah itu turun jadi 7,2% di 2009 dan seterusnya," tuturnya.
Keempat, jumlah partai yang masuk di parlemen dalam beberapa kali pemilu cenderung stabil. Artinya, pilihan orang cenderung stabil ke partai-partai yang sama.
"Usia rata-rata partai di atas 15 tahun. Hanya dua partai yang usianya 10 tahun lebih. Artinya, partai-partai di DPR akan bertahan. Ini mempersulit partai baru untuk masuk," ucapnya.
Kelima, parpol baru belum dikenal luas di publik. Partai baru, menurut Djayadi, hanya punya popularitas sekitar 60% untuk menopangnya masuk parlemen.
"Upaya sosialisasi partai menjadi kunci. Masalahnya adalah waktu tinggal kurang dari 7 bulan, perlu mempercepat kedikenalan partai oleh masyarakat," ujarnya.
Keenam, semua parpol memiliki kecenderungannya yang sama soal kebijakan ekonomi, politik, dan sosial. Parpol-parpol belum mampu saling membedakan diri dalam persoalan tersebut.
"Itulah yang menyebabkan pilihan terhadap partai menjadi stabil. Yang membedakan antarpartai saat ini hanya soal bagaimana hubungan Islam dan politik. Pertanyaannya, partai baru mau main di ceruk mana?" tanya Djayadi.
Meski begitu, masih ada peluang bagi parpol baru dan parpol nonparlemen untuk lolos threshold. Salah satu faktornya, mayoritas pemilih mudah berpaling ke partai lain.
"Party ID di Indonesia sangat kecil. Artinya, secara teori, 85% pemilih Indonesia mudah pindah ke lain parpol. Jika hanya pakai satu indikator ini, swing voter menjadi sangat tinggi," ungkapnya.
"Selain itu, pengguna internet juga sangat tinggi. Internet membuat semua partai punya peluang yang sama. Selain itu juga, pemilih Indonesia didominasi Gen Y dan Gen Z. Peluang terbuka bagi parpol baru jika bisa membaca peluang dari generasi muda ini," imbuh Djayadi.
Pada kesempatan sama, pemerhati isu global dan strategis, Dubes Imron Cotan, menuturkan, setiap parpol memiliki ruang dan peluang yang sama untuk meraup suara pemilih sebesar-besarnya pada pemilu yang akan datang. Namun, parpol baru relatif lebih besar tantangannya sejak pembentukan yang sulit, biaya mahal, hingga harus melawan parpol yang sudah terlebih dahulu eksis.
Untuk menutup defisiensi tersebut, menurutnya, pemberdayaan tokoh lokal berwawasan nasional, seperti Tuan Guru Bajang dari NTB dibutuhkan. Penetapan prinsip think nationally, act locally dalam rekrutmen politisi bisa memecah dominasi elit politik yang menumpuk di Pulau Jawa sehingga terjadi diversifikasi politik ke seluruh wilayah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Gelora, Mahfudz Siddiq, mengemukakan, tantangan bagi partai baru muncul karena konsekuensi pelaksanaan pemilu dan pilpres serentak.
"Ketika isu pilpres menguat, muncul apa yang disebut dengan cottail effect. Parpol mendapat suara dari dukungannya terhadap capres. Partai yang tidak punya dukungan terhadap capres akan menghadapi kendala elektabilitas," kata Mahfudz.
Ketua Harian Partai Perindo, TGB Zainul Majdi, menambahkan, peluang besar parpol baru pada era disrupsi adalah menjangkau pemilih milenial dan gen Z yang jumlahnya banyak.
"Pemilih muda cenderung ingin sesuatu yang baru, tidak ingin terikat pada pakem lama. Perjumpaan pilpres dan pileg bisa jadi tantangan dan peluang bagi parpol baru tersebut," ucapnya.