Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dilirik sejumlah partai politik (parpol) untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. Dari sejumlah survei, nama Khofifah termasuk moncer secara elektabilitas selain Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Selain itu, mantan Menteri Sosial (Mensos) itu, dinilai sebagai sosok yang tepat untuk menjadi cawapres, tak lepas dari predikatnya sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU).
Khofifah tercatat lama menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU, sehingga dapat dengan mudah menggaet suara perempuan NU. Selain itu, Khofifah merupakan petahana Gubernur Jawa Timur.
Pengamat politik Ujang Komarudin menilai, faktor kader NU masih dipertimbangkan dalam bursa calon wakil presiden (cawapres). Menurutnya, massa pemilih atau kader NU yang besar menjadi magnet tersendiri untuk dapat memenangkan kontestasi.
"Dalam pemilihan langsung, NU ini menjadi faktor penting yang didekati oleh para capres," kata Ujang saat dihubungi Alinea.id, Selasa (1/11).
Ujang menjelaskan, faktor NU selalu dipertimbangkan oleh parpol maupun capres sejak Pilpres 2004 atau pilpres pertama kali yang digelar secara langsung dalam sejarah pemilihan umum (pemilu) di Tanah Air. Pada Pilpres 2024 misalnya, mantan Ketua Umum PBNU 2000-2010 KH Ahmad Hasyim Muzadi, digaet Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres.
Di Pilpres 2004 juga, Pada 2004, KH Salahuddin Wahid atau biasa disapa Gus Sholah, dipinang Partai Golkar untuk maju sebagai cawapres berpasangan dengan Wiranto.
Kemudian, di Pilpres 2014 Joko Widodo (Jokowi) yang diusung PDI Perjuangan menggandeng Jusuf Kalla, yang juga tokoh NU. Lalu, pada Pilpres 2019, lagi-lagi tokoh NU, yakni Ma'ruf Amin kembali dipilih Jokowi sebagai cawapres.
"Ya saya melihatnya, karena memang jumlah kader NU ittu banyak, ormas terbesar di Indonesia. Maka suka tidak suka, tokoh-tokoh NU menjadi magnet dalam kontesk pemilihan langsung," ujar dia.
Ujang mengatakan, posisi tokoh Muhammadiyah juga sebenarnya dilirik, namun kalah secara pemilih. Sebab, dalam pilpres, yang dipertimbangkan ialah jumlah massa.
"Sama dengan Muhammadiyah, cuma kalah sama NU dari segi anggota. Yang dibutuh kan massa, pemilih. Massa NU itu banyak maka selalu dijadikan pilihan untuk sosok cawapres. Jadi saya melihat faktor NU masih menjadi faktor penting oleh capres untuk menjadi cawapres," pungkas Ujang.
Hal senada diutarakan Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani. Menurutnya, faktor NU ikut memengaruhi untuk posisi cawapres.
"Faktor ormas Nahdlatul Ulama itu juga ikut memengaruhi, setidak-tidaknya untuk wakil calon," kata Saiful dalam diskusi bedah politik SMRC, Kamis (21/4).