Pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun ini di sejumlah daerah menyisakah fenomena menarik. Dari 171 daerah termasuk provinsi, kabupaten dan kota yang menggelar Pilkada serentak pada 27 Juni 2018, ada 13 daerah yang pilkadanya terdiri dari calon tunggal yang melawan kotak kosong (rinciannya liat di bawah).
Melawan kotak kosong pada pilkada tahun ini, mengalami kenaikan dibandingkan Pilkada calon tunggal pada tahun 2017. Dalam catatan Alinea.id, dari 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada pada tahun lalu, hanya sembilan daerah yang Pilkadanya terdiri dari calon tunggal.
Pilkada Makasar pasangan calon (paslon) tunggal yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus melawan kotak kosong. Berdasarkan hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) pasangan tersebut justru kalah dengan perolehan suara melawan kotak kosong.
Sebagai gambaran, TPS 03 SD Mangkura 1, Kelurahan Sarewigading, Ujungpandang Makasar mencatat hasil kolom kosong alias kotak kosong mencapai 91 suara. Sementara pasangan Appi-Cicu memperoleh 43 suara. Ketua KPPS di TPS 03 Nataniel Mayor Andala mengatakan hasil penghitungan suara lebih banyak pemilih mencoblos kolom kosong.
Menariknya, rupanya sang Wali Kota yakni Munafri justru mencoblos di TPS setempat. Saat dikonfirmasi seperti dilaporkan Antara, Munafri mengaku heran saat mendatangi TPS pagi, para pemilih hanya terlihat beberapa orang.
"Sepi sekali warga yang datang, meski banyak pegawai yang saya liat," kata Munafri.
Meski begitu, Munafri membantah dirinya kalah dengan kotak kosong. Ia dan tim pemenangnya justru mengklaim menang melawan kotak kosong berdasarkan tabulasi yang dibuat sendiri sambil menunggu pengumuman resmi dari KPU.
Hal ini berlawanan dengan hasil penghitungan cepat lembaga survei Celebes Research Center (CRC) dengan data masuk sampai (27/6) pada pukul 19:30 WITA, pasangan Appi Cicu hanya memperoleh suara sebesar 46,61% kalah melawan kolom kosong sebesar 53,39%.
Parpol pragmatis
Lalu bagaimana menyikapi kotak kosong? Fenomena ini memang menarik dalam euforia pemilihan presiden yang datang sebentar lagi. Kondisi ini tentu tidak boleh disepelekan, sebab pilkada seharusnya menjadi medan pembuktian, apakah partai politik (Parpol) telah menunjukkan perfoma yang bagus untuk mendorong pemilih menuju budaya politik demokratis?
Mungkin ada benarnya, sejumlah daerah dimana pasangan calon kepala daerahnya melawan kotak kosong karena keterbatasan logistik. Hanya saja lebih luas lagi, sebenarnya ini merupakan evaluasi partai politik dalam perannya pada pemilihan kepala daerah.
Idealnya, partai politik melihat pilkada bukan sebatas proyeksi kekuasaan. Juga, bukan soal jumlah jabatan kepala atau wakil kepala daerah yang diperoleh untuk melanggengkan kemenangan dalam pemilihan umum. Plus, besaran dana yang akan disetor untuk pemilih yang akan datang.
Ini menjadi tantangan partai politik dapat melepaskan diri dari cara pandangan miopis yang terjebak dalam hal-hal yang berbau pragmatis dan sempit.
Parpol harus membuat masyarakat tertarik lagi untuk menggerakkan pilkada. Kalau parpol tidak dipercaya lagi, dapat dipertanyakan untuk apa parpol didirikan.
Apa yang terjadi di Makasar dengan sedikitnya jumlah kehadiran para pemilih ke TPS, memiliki pesan politik. Salah satunya, bentuk kejenuhan dari masyarakat.