Tim Pemenangan Nasional (TPN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menganggap film dokumenter Dirty Vote bernada fitnah, sarat kebencian, bernuansa asumtif, dan tidak ilmiah. Para pakar hukum tata negara yang terlibat di dalamnya pun dipertanyakan kapasitasnya.
Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, mencontohkan dengan pernyataan akademisi Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari, tentang penunjukan 20 penjabat (pj) gubernur dengan jumlah penduduk setara 140 juta daftar pemilih tetap. "Narasi ini sangat tak ilmiah dan sangat tak masuk akal," ucapnya, Minggu (11/2).
Menurutnya, sangat tidak mungkin seorang pj kepala daerah dapat memastikan mengerahkan warganya memilih pasangan calon (paslon) yang dikehendaki Jokowi. "Logikanya bagaimana? Itu, kan, benar-benar narasi yang sangat spekulatif dan lemah secara argumen."
Karenanya, Habiburokhman menganggap Dirty Vote hanya bertujuan mendegradasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Namun, diyakini takkan berefek signifikan karena rakyat paham mana yang melakukan kecurangan dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diklaim berkomitmen menegakkan demokrasi.
Pengaruh Dirty Vote
Terpisah, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, menilai, munculnya Dirty Vote takkan berdampak signifikan terhadap dukungan kepada Prabowo-Gibran. Justru yang akan terjadi adalah masyarakat mengkritisi film dokumenter berdurasi nyaris 2 jam itu.
"Malah [kehadiran film Dirty Vote] ini makin menguat sentimen positif ke 02," katanya kepada Alinea.id, Senin (12/2). "Justru publik menilai ini setting-an," imbuhnya.
Ia berpandangan, mestinya Dirty Vote dirilis saat musim kampanye. Namun, lantaran diluncurkan saat masa tenang, maka memicu perdebatan bahkan dianggap sebagai "pahlawan kesiangan". "Momentum saja yang kurang tepat."
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan. Ia berpendapat, Dirty Vote takkan berdampak serius terhadap pendukung Prabowo-Gibran.
Kendati begitu, bisa dimanfaatkan kandidat lainnya untuk mendulang suara. Utamanya mengapitalisasi pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters).
Selain itu, Dirty Vote dinilai seperti pedang bermata dua. Banyaknya narasi kecurangan pemilu yang dinaikkan dalam Dirty Vote membuat masyarakat kian apatis sehingga "menggerogoti" suara para kontestan.
"[Film Dirty Vote] bisa seperti pisau bermata dua: bisa merugikan 02, bisa juga merugikan 01 dan 03," jelasnya kepada Alinea.id.
Sikap kepolisian
Sementara itu, kepolisian hingga kini masih menunggu hasil analisis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentang film Dirty Vote, apakah termasuk pelanggaran pemilu atau tidak. Setelahnya, Polri baru akan bersikap.
Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugraha, menyampaikan, kepolisian tidak ingin gegabah dalam merespons film tersebut. Karenanya, dibutuhkan kajian terlebih dahulu dan masih menjadi wewenang Bawaslu.
"Itu masih ranahnya Bawaslu [soal] apakah itu masuk pelanggaran pemilu atau tidak," ujarnya di Mabes Polri.