Franz Magnis-Suseno: Masa depan bangsa ditentukan dari pemilu
Ketika reporter Alinea.id menemuinya di ruang kerjanya di lantai 3 Gedung Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, Franz Magnis-Suseno masih disibukkan dengan catatan materi pengajaran filsafat. Selain mengajar, rohaniwan yang akrab disapa Romo Magnis ini juga sibuk memenuhi undangan sebagai pembicara membahas isu politik, pluralisme, toleransi, dan pemilu.
Anjuran memilih
Mengawali obrolan, ia meminta maaf atas tulisannya di rubrik opini surat kabar Kompas berjudul “Golput” yang terbit pada 12 Maret 2019. Tulisannya itu sudah terlanjur viral di media sosial, dan memicu kekesalan sejumlah pihak.
“Saya merasa salah. Saya kurang hati-hati. Saya terpesona dengan istilah-istilah itu,” kata pria kelahiran Polandia, yang sejak 1977 berkewarganegaraan Indonesia ini, saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Senin (18/3).
Di dalam tulisannya itu, Romo Magnis memang terlampau keras. Ia menulis, mereka yang tak memberi suara dalam pemilu alias golongan putih (golput) sebagai orang bodoh, berwatak benalu, dan bermental tak stabil.
Romo Magnis menyadari, pemikiran sebagian masyarakat untuk golput didorong kekecewaan terhadap kinerja para wakil rakyat dan kepala negara. Kata dia, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mereformasi sistem kerja.
Segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, menurut dia perlu diberantas. Romo Magnis lagi-lagi mengingatkan, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 harus mendorong perbaikan kerja pemerintahan.
Sebagian rancangan undang-undang yang dihasilkan DPR, kata dia, bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak menyatakan pendapat. Misalnya saja Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan, yang tak sejalan dengan kemauan para pelaku musik tanah air.
Selain itu, kasus-kasus hukum terkait pelanggaran atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menurutnya, perlu ditinjau kembali.
“Kita memerlukan DPR yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sesudah Pemilihan Umum 2019 ini, sudah sepatutnya diperjuangkan agar jangan kebebasan berdemokrasi itu dibatasi lagi,” ujar mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
Lebih lanjut, Romo Magnis mengatakan, keputusan politik di masa mendatang ditentukan dalam peristiwa pemilu. Maka, ia menyarankan agar setiap warga negara melakukan kewajiban etis untuk memberi suaranya pada Pemilu 2019, yang akan digelar pada 17 April nanti.
“Kalau seseorang mengatakan kedua pasangan itu sama buruk, dan dia tidak memilih, dia seperti masuk ke pojok dan menggerutu di situ,” tutur Romo Magnis.
Menurut hematnya, tak memberikan pilihan sangat tak relevan dan tak memberikan makna apapun bagi kemajuan bangsa. Ia menuturkan, keputusan memilih Joko Widodo atau Prabowo Subianto harus didasari rasa tanggung jawab.
Terlepas dari penilaian sebagian orang yang menganggap kedua calon presiden itu buruk, ia menyebut, setiap warga negara perlu memilih yang memiliki kekurangan paling sedikit.
“Kalau seseorang memang yakin bahwa kita perlu angin baru, atau tidak baik kalau Jokowi memimpin lagi, ya pilihlah Prabowo. Meskipun Prabowo tidak sepenuhnya memuaskan. Kita tidak memilih yang terbaik, tetapi sekurang-kurangnya mencegah yang terburuk,” ujarnya.
Kembali ke Pancasila
Romo Magnis merasakan tak memperoleh manfaat dari acara debat pilpres yang sudah berlangsung sebanyak tiga kali. Menurutnya, mayoritas masyarakat yang menonton acara debat sekadar ingin melihat penampilan calon presiden dan calon wakil presiden.
Sebagai sumber informasi yang memandu pemikiran publik untuk menentukan pilihan, pengaruh debat menurut Romo Magnis sangat terbatas. Tak banyak mengubah pilihan publik.
“Saya merasa debat tidak terlalu informatif. Semua sangat beradab. Sangat tidak menarik,” kata dia.
Romo Magnis menyebut, calon pemimpin terbaik dan layak dipilih ialah yang bisa menjalankan tugas kepemimpinan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks lebih luas, Romo Magnis menyatakan pentingnya mengingat konsesus Pancasila sebagai dasar negara.
Menurutnya, Pancasila menjamin setiap warga negara untuk saling menerima dan menghormati identitas kepercayaan masing-masing. Termasuk bahasa, suku, dan ras.
“Pancasila memungkinkan bahwa identitas Indonesia tidak menindas, tetapi melindungi dan mengangkat identitas masing-masing warga dari sedemikian banyak komunitas yang ada. Segala perbedaan etnik, budaya, dan agama dijamin kekhasannya,” tuturnya.
Ketika reporter Alinea.id menemuinya di ruang kerjanya di lantai 3 Gedung Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, Franz Magnis-Suseno masih disibukkan dengan catatan materi pengajaran filsafat. Selain mengajar, rohaniwan yang akrab disapa Romo Magnis ini juga sibuk memenuhi undangan sebagai pembicara membahas isu politik, pluralisme, toleransi, dan pemilu.
Anjuran memilih
Mengawali obrolan, ia meminta maaf atas tulisannya di rubrik opini surat kabar Kompas berjudul “Golput” yang terbit pada 12 Maret 2019. Tulisannya itu sudah terlanjur viral di media sosial, dan memicu kekesalan sejumlah pihak.
“Saya merasa salah. Saya kurang hati-hati. Saya terpesona dengan istilah-istilah itu,” kata pria kelahiran Polandia, yang sejak 1977 berkewarganegaraan Indonesia ini, saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Senin (18/3).
Di dalam tulisannya itu, Romo Magnis memang terlampau keras. Ia menulis, mereka yang tak memberi suara dalam pemilu alias golongan putih (golput) sebagai orang bodoh, berwatak benalu, dan bermental tak stabil.
Romo Magnis menyadari, pemikiran sebagian masyarakat untuk golput didorong kekecewaan terhadap kinerja para wakil rakyat dan kepala negara. Kata dia, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mereformasi sistem kerja.
Segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, menurut dia perlu diberantas. Romo Magnis lagi-lagi mengingatkan, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 harus mendorong perbaikan kerja pemerintahan.
Sebagian rancangan undang-undang yang dihasilkan DPR, kata dia, bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak menyatakan pendapat. Misalnya saja Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan, yang tak sejalan dengan kemauan para pelaku musik tanah air.
Selain itu, kasus-kasus hukum terkait pelanggaran atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menurutnya, perlu ditinjau kembali.
“Kita memerlukan DPR yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sesudah Pemilihan Umum 2019 ini, sudah sepatutnya diperjuangkan agar jangan kebebasan berdemokrasi itu dibatasi lagi,” ujar mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
Lebih lanjut, Romo Magnis mengatakan, keputusan politik di masa mendatang ditentukan dalam peristiwa pemilu. Maka, ia menyarankan agar setiap warga negara melakukan kewajiban etis untuk memberi suaranya pada Pemilu 2019, yang akan digelar pada 17 April nanti.
“Kalau seseorang mengatakan kedua pasangan itu sama buruk, dan dia tidak memilih, dia seperti masuk ke pojok dan menggerutu di situ,” tutur Romo Magnis.
Menurut hematnya, tak memberikan pilihan sangat tak relevan dan tak memberikan makna apapun bagi kemajuan bangsa. Ia menuturkan, keputusan memilih Joko Widodo atau Prabowo Subianto harus didasari rasa tanggung jawab.
Terlepas dari penilaian sebagian orang yang menganggap kedua calon presiden itu buruk, ia menyebut, setiap warga negara perlu memilih yang memiliki kekurangan paling sedikit.
“Kalau seseorang memang yakin bahwa kita perlu angin baru, atau tidak baik kalau Jokowi memimpin lagi, ya pilihlah Prabowo. Meskipun Prabowo tidak sepenuhnya memuaskan. Kita tidak memilih yang terbaik, tetapi sekurang-kurangnya mencegah yang terburuk,” ujarnya.
Kembali ke Pancasila
Romo Magnis merasakan tak memperoleh manfaat dari acara debat pilpres yang sudah berlangsung sebanyak tiga kali. Menurutnya, mayoritas masyarakat yang menonton acara debat sekadar ingin melihat penampilan calon presiden dan calon wakil presiden.
Sebagai sumber informasi yang memandu pemikiran publik untuk menentukan pilihan, pengaruh debat menurut Romo Magnis sangat terbatas. Tak banyak mengubah pilihan publik.
“Saya merasa debat tidak terlalu informatif. Semua sangat beradab. Sangat tidak menarik,” kata dia.
Romo Magnis menyebut, calon pemimpin terbaik dan layak dipilih ialah yang bisa menjalankan tugas kepemimpinan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks lebih luas, Romo Magnis menyatakan pentingnya mengingat konsesus Pancasila sebagai dasar negara.
Menurutnya, Pancasila menjamin setiap warga negara untuk saling menerima dan menghormati identitas kepercayaan masing-masing. Termasuk bahasa, suku, dan ras.
“Pancasila memungkinkan bahwa identitas Indonesia tidak menindas, tetapi melindungi dan mengangkat identitas masing-masing warga dari sedemikian banyak komunitas yang ada. Segala perbedaan etnik, budaya, dan agama dijamin kekhasannya,” tuturnya.
Pendidikan dan gender
Sebagai pengajar, Romo Magnis pun mengkritisi perhatian kedua pasangan calon terhadap masalah pendidikan di Indonesia. Ia melihat, isu pengembangan pendidikan karakter belum menjadi perhatian kedua pasangan kandidat.
Di samping itu, lanjut Romo Magnis, persoalan penting pendidikan di masa mendatang bukan lagi untuk menyatukan tujuan pendidikan dengan kebutuhan industri. Akan tetapi, pengembangan daya adaptasi peserta didik agar tanggap terhadap dinamika zaman. Hal ini, kata dia, terkait dengan era revolusi industri 4.0.
“Sikap terbuka, fleksibel, komunikatif, menjaga integritas, menjadi jujur, itu penting. Kalau dia tidak fleksibel, dia akan ketinggalan. Sayangnya, saya tidak melihat muncul dalam diskusi kedua kandidat,” kata dia.
Selain itu, Romo Magnis mengingatkan pentingnya merawat kebhinekaan, yang ikut melibatkan kesetaraan antara peran laki-laki dan perempuan. Katanya, setiap negara di dunia pun masih berproses mendukung kesetaraan gender.
Menurut Romo Magnis, beberapa bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan, seperti pelecehan seksual, mesti dicegah. Demi mendukung perjuangan atas persoalan perempuan di lingkup sosial, ia memandang pentingnya ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi politik di ranah-ranah yang relevan.
Partisipasi politik oleh perempuan itu, kata Romo Magnis, berperan untuk mendukung keterbukaan dan toleransi.
“Kita meyakini konsep patriarki tidak boleh diteruskan. Itu (kesetaraan gender) dilakukan dengan pemberian posisi di dalam masyarakat bagi semua kalangan, termasuk kaum perempuan,” ujarnya.
Tantangan Indonesia
Romo Magnis pun menanggapi soal prasangka kolektif antarkelompok kepercayaan. Ia mengatakan, penyerangan di dua masjid di kawasan Christchurch, Selandia Baru, sebagai bentuk merebaknya ketakutan terhadap Islam dan pemeluknya. Ia mengingatkan pentingnya menghargai keberagaman dalam berkeyakinan, meski kerap ada ketegangan.
“Pandangan Islamofobia itu tidak pantas disebarluaskan. Misalnya umat Islam itu seperti dilekatkan dengan stigma teroris. Padahal, umat Islam itu begitu banyak. Peristiwa itu adalah hasil prasangka kolektif yang buruk,” ucapnya.
Belajar dari peristiwa berdarah itu, Romo Magnis mengatakan, agar masyarakat Indonesia mengembangkan semangat toleransi lintas agama.
“Prasangka itu harus kita kubur, kita harus belajar berkomunikasi. Penting sekali antarumat beragama yang berbeda, berkomunikasi,” kata dia.
Romo Magnis merefleksikan pengalamannya selama 60 tahun tinggal di Indonesia dengan pengaruh kebijakan politik pemerintah. Ia mengatakan, dalam lima tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi beragam tantangan yang cukup berat.
Menurut dia, mengutip prediksi Klaus Schwab dalam buku The Fourth Industrial Revolution (2016), pada 2050 Indonesia akan berada di peringkat keempat ekonomi dunia. Romo Magnis yakin, perjalanan ke arah itu tak bisa tercapai, kecuali dengan kebijakan pemerintah yang terpilih melalui proses pemilu.
Dengan harapan agar setiap warga negara yang sudah berhak bisa memilih secara aktif dalam pemilu, ia menekankan pentingnya untuk memisahkan antara preferensi politik dengan identitas kultural.
Ia pun memberikan kebebasan kepada umat Katolik untuk bisa memilih antara Jokowi atau Prabowo sebagai calon presiden. “Orang Katolik tidak kurang baik karena memilih Jokowi, atau karena memilih Prabowo,” kata Romo Magnis.