Fenomena ramainya tagar #2019GantiPresiden di media sosial menuai respons dari berbagai kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menilai hanya rakyat yang bisa mengganti presiden, sementara kaos hanya simbol gagasan yang belum tentu terujud.
Direktur riset demokrasi dan isu politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan, reaksi Jokowi yang cenderung khawatir hingga berkomentar di forum sekelas Konvensi Nasional Galang Kemajuan di Bogor pekan lalu, tak diperlukan.
Pasalnya, fenomena tersebut memang sudah layak terjadi, terutama di era keterbukaan informasi digital sekarang ini. Tren tagar itu sendiri bukan perkara baru, sebab sebelumnya orang sudah mulai perang opini lewat simbol-simbol semacam ini. Baginya, itu tak lebih dari sekadar tren komunikasi politik global, yang berpusat pada pertarungan ide dan komunikasi.
"Bahkan saat gerakan hijau di Lebanon, Mesir, Iran, sudah masif fenomena seperti ini, biasa saja, memang sudah eranya komunikasi," jelasnya.
Dalam konteks pemasaran politik, dengan penyebaran propaganda tulisan, meme, dan kata-kata pendek, imbuhnya, cukup efektif untuk menanamkan pengaruh. Pun, dalam jangka panjang, tagar yang mewujud dalam kaos dan merchandise seperti pin serta gelas itu bisa membentuk kesadaran artifisial, sesuai tujuan propagandis.
Meskipun ini bisa menjadi ancaman, menurutnya tidak bijak jika presiden harus turun langsung bersih-bersih. Partai politik yang mestinya punya peran dominan dalam merespons isu ini atau membuat wacana tandingan.
Setelah tagar #2019GantiPresiden
Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago mengatakan hingga saat ini Gerindra belum menentukan capresnya dengan dalih, amunisi relatif kurang dan koalisi permanen belum resmi terbentuk. Alasan itu sendiri menurutnya hanya akal-akalan saja. Di baliknya Prabowo dan tim masih memikirkan beberapa kemungkinan, yang mana punya konsekuensi politik masing-masing.
Kemungkinan pertama, jika merunut pada logika publik sebaiknya Prabowo menjadi king maker saja. Ia mestinya bisa mendorong tokoh-tokoh potensial baru untuk maju seperti Anies, Gatot, atau yang lainnya.
"Karena jika sampai kalah tiga kali, Pak Prabowo belum tentu sanggup, hanya Dilan yang Sanggup," selorohnya pada Alinea.
Dalam sejarahnya, Prabowo berhasil mengantarkan sejumlah tokoh melenggang ke kursi kepemimpinan lewat tangan dinginnya. Misalnya Joko Widodo bisa diantar dari Solo hingga ke Jakarta, dia turut berhasil membawa Ahok dari Bangka Belitung ke Jakarta. Selain itu, dia juga berhasil membawa Anies Rasyid Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Namun niat untuk menjadi king maker harus terganjal mandat partai. Sejumlah pengurus partai bersikukuh Prabowo harus maju karena khalayak butuh figur atau sosok. Sejauh ini mantan menantu Soeharto tersebut dinilai memiliki figur kuat yang mampu mendongkrak elektabilitas partai.
Alasan inilah, lanjutnya, yang membuat Prabowo dilanda kegalauan. Jika maju maka akan kalah, sedang jika ia memilih jadi king maker, maka nasib partai jadi pertaruhan.
Lebih lanjut, menelaah konstestasi sebelumnya, Jokowi yang dinilai pemain baru justru mendulang suara lebih banyak. Setelah menjadi RI-1, Jokowi kian naik posisi tawarnya karena telah melancarkan berbagai program pembangunan di bidang infrastruktur. Ia secara tak langsung, lanjutnya, juga telah curi start dengan mendekati warga termasuk kalangan anak muda.
Berangkat dari situ, Prabowo mestinya harus mempertimbangkan faktor-faktor itu jika ingin maju sebagai presiden. Pertimbangan serupa juga harus diperhatikan tim pendukungnya. Jangan justru sibuk menciptakan blunder dan strategi yang tak tepat, sehingga menggerus elektabilitas Prabowo.