close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Sukarno berpidato pada 1950-an./Foto Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988) karya Cindy Adams.
icon caption
Presiden Sukarno berpidato pada 1950-an./Foto Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988) karya Cindy Adams.
Politik
Minggu, 07 Agustus 2022 13:25

Gagalnya indoktrinasi Manipol-USDEK di perguruan tinggi

Manipol-USDEK diperkenalkan di kampus karena mahasiswa dianggap sebagai penggerak revolusi Indonesia.
swipe

Usai melantik Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara, Jakarta pada 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno menyinggung peristiwa 30 September 1965—tragedi berdarah yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira TNI AD di Lubang Buaya. Ia menyindir pemberitaan di luar negeri bahwa dirinya telah disingkirkan dan jatuh karena peristiwa itu.

Dalam kesempatan tersebut, Sukarno pun menyampaikan perihal Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol-USDEK). Ia memerintahkan, Soeharto bisa memimpin Angkatan Darat yang berdiri di atas prinsip Manipol-USDEK.

“Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai halauan negara,” ujar Sukarno dalam pidato yang termuat di buku Revolusi Belum Selesai (2014), yang disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.

“Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah halauan daripada negara, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.”

Konsep Manipol-USDEK

Munculnya Manipol-USDEK tak bisa dilepaskan dari keadaan Indonesia yang belum menghasilkan apa pun usai Pemilu 1955. Akhirnya, pada 5 Juli 1959 terbit Dekrit Presiden, yang memutuskan pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Lantas, pada peringatan kemerdekaan Indonesia ke-14, 17 Agustus 1949, menurut sejarawan MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2007), Sukarno mengurai ideologi Demokrasi Terpimpin.

“Dia menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, dan perlengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan,” tulis Ricklefs.

Gapura Manipol-USDEK di depan Departemen Urusan Veteran, Menteng Raya, Jakarta Pusat untuk memperingati hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1961./Foto Varia, No. 176, 30 Agustus 1961

Beberapa bulan kemudian, muncul doktrin politik Manipol. Menurut sastrawan Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003), Manipol dirumuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sementara berdasarkan pidato Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.

Manipol lalu diusulkan jadi Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN). Penetapannya dilakukan lewat Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1960, lalu dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS Nomor 1/MPRS/1960 pada 19 November 1960.

“Intisari Manipol terdiri dari lima butir pokok, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelimanya disngkat dalam akronim yang terkenal, yaitu USDEK,” tulis Hersri.

Manipol-USDEK, tulis Ricklefs, kemudian menjadi definisi resmi dari ortodoksi ideologi. Konsep ini diperkenalkan di segala tingkat pendidikan dan pemerintahan. Pers pun harus mendukungnya.

Menteri Penerangan sekaligus Wakil Ketua DPA Roeslan Abdulgani adalah juru bicara paling kompeten untuk Manipol-USDEK. “Sehingga ia mendapat nama julukan ‘Jubir Usman’ (juru bicara USDEK-Manipol),” tulis Hersri.

Doktrin ini justru menjadi alibi kesewenang-wenangan pemerintah. Terutama dalam memberangus pers yang tak setuju dengan doktrin itu.

“Beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak melakukannya dan surat kabar mereka pun dilarang terbit,” tulis Ricklefs.

“Antara 1959 dan 1961, oplah surat kabar berkurang dengan kira-kira sepertiganya, dari 1.039.000 eksemplar untuk 90 surat kabar menjadi 710.000 eksemplar untuk 65 surat kabar.”

Selain itu, Manipol-USDEK juga dibumikan dalam dunia pendidikan, dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Di masa Demokrasi Terpimpin, mahasiswa dianggap sebagai penggerak revolusi dan calon tenaga ahli untuk pembangunan. Karenanya, doktrinasi Manipol-USDEK di kampus dianggap sebagai sebuah usaha yang penting.

Pada Maret 1961 Sukarno mengangkat Iwa Kusumasumantri sebagai Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Iwa, tulis Indonesianis dan profesor ilmu politik Herbert Feith dalam bukunya Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (1995), adalah sosok nasionalis radikal yang hubungannya dekat dengan Partai Murba dan PKI. Iwa mendapat tugas mengupayakan indoktrinasi Manipol-USDEK kepada warga kampus.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Firman Lubis yang ketika itu masih menjadi mahasiswa kedokteran UI dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018) memberi kesaksian, suasana sosial-politik di masa Demokrasi Terpimpin ikut memengaruhi ritme kehidupan mahasiswa.

“Misalnya, mahasiswa diwajibkan mengikuti dan mendukung berbagai perjuangan revolusi Indonesia yang waktu itu sedang gencar-gencarnya digalakkan, seperti mengikuti demo-demo, menghadiri berbagai pertemuan raksasa, dan mengikuti upacara-upacara,” tulis Firman.

Sinisme Manipol-USDEK

Presiden Sukarno mendapat gelar Honoris Causa dari Universitas Indonesia (UI) pada 1963. /Foto Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988) karya Cindy Adams.

Menurut Muhamad Trishadi Pratama dalam skripsinya Indoktrinasi Manipol-USDEK kepada Mahasiswa di Perguruan Tinggi 1961-1967: Studi Kasus Universitas Indonesia (2017), usaha pertama Iwa adalah menerbitkan Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT) pada 4 Desember 1961.

“Diberlakukannya undang-undang ini memberi Departemen PTIP ruang kontrol terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi, sehingga UU PT mengakhiri tradisi otonomi dan memperoleh penguasaan politis terhadap perguruan tinggi agar tak melenceng dari Manipol-USDEK,” tulis Muhamad.

Selama menjabat sebagai Menteri PTIP, Iwa melakukan banyak hal demi keberhasilan doktrin Manipol-USDEK. Feith menyebut, di antaranya mahasiswa yang ingin belajar ke luar negeri harus lewat persetujuan dirinya dan bersumpah meyakini kebenaran Manipol-USDEK; meminta mahasiswa melaporkan tanda-tanda liberalisme di kalangan guru besar; serta memberhentikan atau menurunkan jabatan rektor, dekan, guru besar, dan dosen atas pertimbangan politik.

Sistem studi bebas yang sebelumnya dianut perguruan tinggi, diganti dengan sistem studi terpimpin. Menurut Muhamad, sistem ini penting dalam menjalankan indoktrinasi karena bisa mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah indoktrinasi. Program yang disusun Iwa itu dinamakan Pembinaan Kepribadian Panasilais/Manipolis.

“Pembinaan Kepribadian Pancasilais/Manipolis terdiri dari mata kuliah Pancasila dan Manipol, pendidikan agama, dan latihan militer,” ujar Muhamad.

Meski demikian, tulis Feith, kebijakan yang diambil Iwa itu tak populer dan justru memancing konflik di dalam universitas. Akhirnya, dalam perubahan susunan kabinet pada Maret 1962, Iwa diganti dengan Tojib Hadiwidjaja yang nonpartai dan punya reputasi akademis.

“Menteri baru itu segera membatalkan sejumlah kebijakan dan tindakan menteri terdahulu,” tulis Feith. Feith menyebut, digantinya Iwa merupakan penanda kekalahan besar dalam memaksa ideologi negara kepada dunia kampus.

Namun, di bawah Tojib, upaya melandasi perguruan tinggi dengan Manipol-USDEK tetap berlanjut. Menurut Muhamad, Tojib lantas membentuk prinsip, sistem, dan tradisi berdasarkan Manipol-USDEK di kampus.

“Prinsip dilakukan dengan menghasilkan Tridharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang digali dari UU PT, tak lepas dari pengaruh Manipol-USDEK,” tulis Muhamad.

Sementara itu, ada enam poin sistem dan tradisi. Salah satunya, ilmu tanpa karakter tidak membawa kebahagiaan bagi masyarakat sosialis Indonesia. Muhamad melanjutkan, dengan adanya sistem dan tradisi baru itu, keberadaan liberalisme di universitas sangat dihindari.

“Hal-hal yang dianggap tak sesuai dengan Manipol-USDEK diberantas dan melabelinya sebagai golongan kontrarevolusioner,” kata Muhamad.

Selama berjalannya indoktrinasi, sikap warga universitas terkait Manipol-USDEK terbagi dua. Ada dosen dan mahasiswa yang menyetujui nilai-nilai Manipol-USDEK. Namun, tak sedikit pula yang merasa diasingkan oleh nilai-nilai tersebut.

“Kecaman Presiden Sukarno terhadap ‘intelektualisme’ Hollands denken dan textbook thinking itu dianggapnya sebagai serangan kepada kebebasan akademis,” tulis Feith.

“Lagi pula kebanyakan warga masyarakat akademis menilai ideologi itu sebagai sistem intelektual dan sebagian besar mereka melihatnya dengan sebelah mata.”

Beberapa organisasi mahasiswa, seperti Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) mendukung Manipol-USDEK karena dianggap bisa mendorong keberhasilan studi.

Muhamad mengatakan, dukungan PPMI dan MMI itu wajar lantaran kedua organisasi tersebut dikuasai Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan PNI, dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan PKI.

Guru besar di perguruan tinggi pun ada yang terpengaruh dengan Manipol-USDEK. Aktivitis 1966 Soe Hok Gie, yang menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI) pada 1962-1969 mengkritik tajam terkait hal itu dalam buku hariannya Catatan Seorang Demonstran (1989).

Pada 27 Januari 1962, Hok Gie ikut kuliah umum pengangkatan Dekan Fakultas Sastra UI Soetjipto Wirjosoeparto sebagai guru besar. Saat itu, Soetjipto tak sepakat dengan pendapat profesor hukum internasional dari Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM) UI Gertrudes Johannes (GJ) Resink, yang menyebut wilayah Indonesia secara keseluruhan tak dijajah selama 350 tahun.

Soetjipto mengatakan, pendapat Resink itu bertentangan dengan pendapat Sukarno dan Manipol-USDEK. Hok Gie memandang, cara Soetjpto menyerang Resink sangat naif dan merupakan contoh dekadensi ilmiah.

“Ia berkata bahwa mereka tidak Manipol-USDEK, tidak sesuai dengan tafsiran Pancasila dan sebagainya. Ini adalah soal politik dan dalam situasi itu tidak ada tempatnya menuduh seseorang ‘A USDEK’. USDEK merupakan trauma dan siapa yang dicap non-USDEK maka berbahayalah situasinya,” tulis Hok Gie.

“Sukarno adalah manusia kepalang tanggung dan Soetjipto memperlakukannya seperti nabi, bahkan sumber kebenaran. Nada ini adalah nada penulis/sarjana penjilat.”

Menurut Muhamad, tiga mata kuliah wajib sebagai bagian dari indoktrinasi Manipol-USDEK—Pancasila dan Manipol, pendidikan agama, dan latihan militer—terutama di UI, mendapat respons yang kurang baik dari mahasiswa. Tiga mata kuliah tersebut, dianggap hanya menambah beban dan tak relevan bagi studi mereka.

Diakui Feith, memang banyak kesulitan untuk mengenalkan Manipol-USDEK di perguruan tinggi, ketimbang di sekolah dasar dan menengah. “Dalam lingkungan universitas, Manipol-USDEK disambut dengan sikap permusuhan, sinisme, dan acuh tak acuh,” kata Feith.

Sebuah materi propaganda USDEK yang termuat di buku Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat (1961)./Foto commons.wikimedia.org

Pada kenyataannya, pidato Sukarno yang meminta Soeharto menjalankan Manipol-USDEK saat pelantikannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965, akhirnya cuma angin lalu.

Usai tragedi September 1965, kuasa Sukarno makin lemah. Krisis politik dan ekonomi terjadi. Kepercayaan terhadap Pemimpin Besar Revolusi itu makin luntur. Demonstrasi mahasiswa merebak di mana-mana.

Di sisi lain, kuasa Soeharto yang dianggap pahlawan dalam peristiwa September 1965 makin kuat. Lewat Sidang Istimewa MPRS pada 7-12 Maret 1967, mandat kekuasaan Presiden Sukarno dicabut, dan Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden.

”Setelah bermusyawarah dalam sidang istimewa dari 7-12 Maret 1967 melalui ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 Manifesto Politik RI ditinjau ulang sebagai GBHN,” tulis Muhamad.

Maka, berakhirlah indoktrinasi Manipol-USDEK. Di masa Orde Baru, diperkenalkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), untuk menanamkan sikap moral sesuai tafsiran Pancasila.

Menurut sejarawan Anhar Gonggong dalam “Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan: Pendekatan Tanggung Jawab” di buku Dr. Johannes Leimena: Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani (2007), pada masa Orde Baru juga dibentuk Badan Pembina Pendidikan, Pelaksanaan, Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (BP-7).

“Badan inilah yang melaksanakan pendidikan Pancasila, yang dikenal dengan penataran P4,” tulis Anhar.

“Sebenarnya, dengan perubahan bagian-bagian tertentu, terutama yang berbau marxisme-komunisme, tetapi juga liberalisme barat, penataran P4 ini sama saja dengan indoktrinasi Manipol-USDEK.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan