Politikus senior Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, rencana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu diwaspadai oleh para elite politik dan publik. Ia khawatir rencana itu hanya kedok untuk mengembalikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
"Baiknya kita jangan lagi menjadi MPR sebagi lembaga tertinggi negara. Karena nanti bisa jadi pemilihan presiden kembali dipilih MPR. Padahal, rakyat sekarang sudah ada pada posisi kedaulatan, termasuk dalam menentukan Presiden," ujar Akbar dalam diskusi di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Rabu (4/9).
Jika tetap direalisasikan, Akbar menyarankan agar penyusunan GBHN tidak diserahkan kepada MPR saja. Lembaga-lembaga lain juga perlu dilibatkan dalam penyusunan haluan negara. "Nanti bisa disepakati melalui undang-undang sesuai kesepakatan bersama," ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Kedai Kopi Hendri Satryo rencana menghidupkan kembali GBHN via amendemen konstitusi tidak mendesak. Hendri malah curiga wacana itu diembuskan untuk 'menguliti' program-progam Jokowi yang dianggap gagal dalam Nawacita.
"Atau rencana ini menjadi bentuk kekecewaan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) semata. Atau ada keinginan lain yang kaitannya dengan (Pemilu) 2024. Ini justru yang menarik harus kita kritisi," ujar dia.
Lebih lanjut, Hendri mengatakan wacana tersebut perlu dikawal dengan serius. Ia khawatir GBHN hanya dijadikan alat oleh elite-elite politik untuk memperlancar proyek-proyek pribadi.
"Misalnya, contoh Hambalangnya SBY kan tidak dilanjutkan oleh Pak Jokowi. Kalau ada haluan, mungkin bisa diteruskan atau tidak. Artinya di haluan negara ini mudah-mudahan nanti ada keberlanjutan-keberlanjutan pembangunan dari Presiden sebelumnya," kata dia.
Karena itu, Hendri berharap agar para penggagas wacana itu menjelaskan secara lebih rinci maksud mereka menghidupkan lagi produk politik era Orde Baru itu kepada publik. Harus dipastikan elite-elite politik tidak berimprovisasi dan mengebiri hak rakyat untuk memilih Presiden secara langsung.