Ide menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu ditolak. Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Agil Oktaryal, ide menghidupkan kembali GBHN berbahaya jika direalisasikan.
Agil menyebut ada sejumlah argumentasi yang bisa digunakan untuk menolak wacana tersebut diwujudkan. Pertama, kebangkitan GBHN potensial merusak sistem presidensial yang berkembang dan terus dimatangkan pada era Reformasi.
"Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun selama ini," ujar Agil dalam diskusi bertajuk 'Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?' di Upnormal Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (14/8).
Dalam naskah asli UUD 1945, GBHN disebut di sejumlah pasal. Pada Pasal 3 misalnya, disebutkan bahwa 'Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa memberhentikan presiden apabila presiden tidak melaksanakan GBHN.'
Menurut Agil, kebangkitan GBHN bakal menjadi upaya melawan arus sejarah. "Penghapusan GBHN dalam UUD 1945 bukan tanpa alasan. Apabila tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN, maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi," kata dia.
Alasan lainnya terkait kinerja DPR. Menurut Agil, amandemen UUD 1945 adalah agenda kompleks yang butuh kerja keras sehingga bakal menyita sebagian besar waktu anggota DPR.
"Waktu kerja yang tersita berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi legislasi. DPR periode 2014-2019 hanya berhasil mengesahkan 22 RUU menjadi UU dari 189 RUU yang direncanakan untuk disahkan pada kurun waktu 2015-2019," tuturnya.
Selain itu, Agil mengatakan, upaya menghidupkan kembali GBHN juga merupakan kerja politik yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. "Wacana melahirkan kembali GBHN saat ini hanya mengakomodasi kepentingan elite partai politik dan tidak mengakar pada kebutuhan real masyarakat," ujar dia.
Senada, pengamat hukum tata negara Bvitri Susanti tidak sepakat jika GBHN dihidupkan kembali. Menurut dia, GBHN merupakan produk rezim otoriter dan tidak relevan dengan sistem tata negara Indonesia saat ini.
Apalagi, lanjut Bvitri, MPR tidak lagi berwenang memilih presiden. "Sekarang kan sudah berubah. Presiden sekarang rakyat yang memilih. Intinya hak ada di tangan kita, bukan di MPR," ujar dia.
Dari hasil kajiannya, menurut Bvitri, GBHN tidak benar-benar menjadi panduan yang orisinal. GBHN dahulu dirancang oleh tim yang disusun Presiden Soeharto. MPR ketika itu hanya tinggal memberikan stempel tanda persetujuan.
"Jangan lupa, dulu kita struggle karena punya presiden yang otoritarian. Faktor stabilitas politik banyak. Tiga puluh dua tahun Soeharto jadi presiden apa karena GBHN? Enggak juga. Tapi, karena dulu presiden otoriter," kata dia.
GBHN dihapuskan lewat amandemen UUD 1945 pada era Reformasi seiring berkurangnya fungsi dan kewenangan MPR. Fungsi GBHN kemudian digantikan oleh UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
UU SPPN mengatur pembentukan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Menurut Bvitri, RPJP dan RPJMN lebih tepat digunakan sebagai panduan pembangunan di negara demokratis ketimbang GBHN.
"Lewat RPJP, ada RPJMN dan RPJPD (Rencana Pembanggunan Jangka Panjang Daerah) lewat musrembang (musyawarah rencana pembangunan). Itu ada proses di tingkat pusat dan daerah. Sudah banyak studinya yang menyatakan MPR zaman Soeharto hanya tukang stempel. Masa kita mau begitu lagi?" tuturnya.
Bau kepentingan politik elektoral
Karena itu, Bvitri mempertanyakan niat-niat elite-elite politik menghidupkan kembali GBHN via amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
"Harus ingat, sekali keluar amandemen ini dibuka, ini kayak buka kontak pandora. Ini amandemen terbatas, dimulai dengan GBHN, tapi jangan-jangan nanti presiden dipilih lagi MPR?" ungkapnya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi meminta publik mewaspadai wacana dihidupkannya lagi GBHN. Ia menduga GBHN hanya dibingkai menjadi alibi untuk mendorong pemilihan presiden tidak langsung.
"Kenapa mereka (partai politik) begitu khawatir. Jangan-jangan ini ancaman bagi elite-elite politik. Pemilu secara langsung itu memberikan ruang munculnya tokoh-tokoh baru di luar elite politik? Ada kekhawatiran sebagai partai dan bisa jadi ancaman akan munculnya figur-figur baru di 2024," kata Veri.
Veri juga menyoroti langkah Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang blak-blakan meminta jatah kursi ke Jokowi di Kongres V PDI-P di Bali, belum lama ini. Menurut dia, aksi Megawati itu bisa dipakai untuk menggambarkan situasi politik yang terjadi jika MPR kembali diberi wewenang untuk memilih presiden.
"Ini, menurut saya, kalau Jokowi bisa diatur, enggak mungkin permintaan itu disampaikan ke ruang publik. Jangan sampai parpol itu ingin mengatur presiden. Itu sangat logis untuk memunculkannya (GBHN)," tutur Veri.