Geliat gerakan literasi politik anak muda: Dari Dapur Inisiatif hingga Formaci
Pada mulanya ialah gerakan bagi-bagi makanan. Dinamai Dapur Inisiatif, gerakan itu diinisiasi Dimas Andrea, Aryo, dan sejumlah anak muda di kawasan Joglo, Jakarta Barat. Rata-rata anggotanya ialah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi Covid-19 merebak.
“Modal awal dari teman-teman yang masih bekerja. Jadi, subsidi silang. Dari donasi, ada yang kasih beras sampai seratus kilogram,” kata Dimas Andrea dan Aryo saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Jumat (25/8).
Tak hanya pemuda, anggota Dapur Inisiatif juga berasal dari kalangan emak-emak. Para pemuda bertugas memasak, sedangkan para ibu berbelanja kebutuhan di pasar. Makanan yang sudah jadi lantas dibagi-bagikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi.
Saat pagebluk sedang "galak-galaknya", Dapur Inisiatif makin berkembang. Pendukung Persija Jakarta yang berasal dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat, turut memberikan bantuan. Selain itu, ada lima kampung yang tersebar di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang turut andil menyokong gerakan itu.
Seiring waktu, Dimas dan rekan-rekannya sepakat bikin paguyuban dengan nama Front Mutual Aid. “Ada tuh teman nawarin. Mau enggak buka donasi di (platform donasi online) Kitabisa? Akhirnya kita gas, dapat Rp18 juta. Terus dapat juga dari lembaga bantuan gitu, dikasih beras dua ton,” jelas Dimas.
Gerakan positif itu bukannya tanpa hambaran. Dimas dan Aryo bercerita, sekali waktu sempat dicari-cari polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta. Mereka menduga diburu petugas karena sticker yang pernah tertempel di kotak nasi yang mereka bagi-bagikan.
“Kita bikin sticker (tulisan) bukan bantuan negara. Ditempelin di nasi box-nya. (Akhirnya) sempat dicari polisi dan Satpol PP. Kan sempat ada razia masker. Nah, kita gantian jadi razia orang lapar. Di situ juga kali yang jadi masalah. Pas dicari, saat itu ibu-ibu yang membela anak-anak mudanya. Kan bagi-bagi makanan doang," tutur mereka.
Saat pandemi mereda, Front Mutual Aid tetap eksis. Kebiasaan nongkrong dipertahankan dengan catatan organisasi itu tetap produktif. Salah satu kegiatan yang rutin digelar ialah belajar filsafat bersama. Metode belajar dikonsep sesantai mungkin layaknya sedang kongkow biasa.
“Bisa dikatakan membumikan filsafat. Cuma kita enggak bilang (itu) filsafat. (Tapi) kalau di akhir (pembahasan) ada yang nanya, baru bilang sedang belajar apa. Waktu itu juga ada kelas menulis jurnalistik dan cerita pendek,” jelas Dimas dan Aryo.
Perkembangan di dunia politik juga jadi salah satu bahan diskusi. Menurut Dimas dan Aryo, mereka sedikit banyak paham soal itu. Terlebih, sejumlah anggota Front Mutual Aid pernah ikut aksi unjuk rasa besar-besaran menentang RUU Cipta Kerja pada 2019.
"Jadi, sudah melihat langsung fungsi negara dan aparatnya. Jadi, sudah dididik langsung sama negara sehingga tahu cara menyikapinya bagaimana. Apalagi, ditambah pandemi. Jadi, punya pengalaman empiris,” jelas Dimas dan Aryo.
Pusat kegiatan Front Mutual Aid ada di Lenga Space, Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Menurut Dimas dan Aryo, di kawasan tersebut ada komunitas yang disusupi partai politik tertentu dengan modus pendanaan kegiatan.
“Cuma kita obrolin bareng-bareng. Enggak usah (diterima tawaran begitu), sudah punya sikap. Kalau nanti mau pilih atau enggak (pas pemilu), ya, itu pilihan pribadi,” ucap Dimas.
Pendidikan politik di Front Mutual Aid tidak semata-mata soal pemilu dan kotak suara. Bagi paguyuban tersebut, menurut Dimas dan Aryo, segala hal yang berkelindan dengan kehidupan beririsan erat dengan politik, termasuk soal percintaan.
“Rata-rata kan lulusan SMA di sini, di sekolah cuma dididik menjawab, bukan bertanya. Jadi kalau misal, (sudah ada yang tanya) feminisme apa sih? Berarti kan dia mau tahu. Yang suka baca itu nanti yang distribusikan pengetahuan,” jelas Aryo.
Selain itu, Front Mutual Aid kini juga tengah memberdayakan anggotanya lewat sejumlah upaya, semisal bersama-sama mengelola kafe Lenga Space dan mendirikan koperasi simpan pinjam. Dimas dan Aryo bercerita pusat kegiatan sosial mereka pernah disatroni polisi karena dicurigai sebagai sindikat anarko.
“Di sini mah kita enggak merasa (anarko). Kita bukan gerakan aktivisme, gerakan kampung saja (yang) menerapkan budaya lama, seperti gotong royong,” kata Dimas dan Aryo, saling melengkapi.
Diskusi dan advokasi
Aktivitas serupa saat ini juga dijalani sejumlah anak muda yang tergabung dalam Blok Politik Pelajar (BPP). BPP merupakan transformasi dari Border Rakyat, salah satu kelompok pemuda dan pelajar yang turut meramaikan gelombang unjuk rasa bertajuk #ReformasiDikorupsi pada 2019.
Usai gerakan #ReformasiDikorupsi meredup, Border Rakyat mati suri. Namun, sejumlah pentolan Border Rakyat masih berhasrat meneruskan "perjuangan". Belakangan, mereka kembali berhimpun, berkonsolidasi, berjejaring, dan melakukan pengorganisiran.
“Akhirnya, anggota yang tersisa membuat wadah lagi, Blok Politik Pelajar. Tepatnya berdiri pada 10 Desember 2020,” kata juru bicara BPP, Delpedro Marhaen kepada Alinea.id, Kamis (24/5).
BPP tidak hanya berisi siswa SMA atau sekolah sederajat. Terminologi pelajar dipilih agar ada kesan egaliter. Di organ tersebut, terdapat pula mahasiswa strata satu (SI) dan program magister di berbagai kampus.
Khusus pelajar menengah atas, anggota BPP tidak hanya di Jakarta, tapi tersebar di Tangerang, Tegal, dan Bali. Mereka turut membangun komunikasi dengan aliansi sejenis, semisal Aliansi Pelajar Bali dan Aliansi Pelajar Tangerang. “Jadi, ada satu konsolidasi bersama organisasi pelajar lainnya,” jelas Delpedro.
BPP, lanjut Delpedro, bukan organisasi tanpa arah. Delpedro menerangkan, komunitas tersebut memiliki berbagai agenda dan program. Salah satu di antaranya adalah kelas politik yang kerap diadakan dua sampai tiga kali dalam sebulan.
Kelas politik, terang Delpedro, sifatnya tidak berkelanjutan. Artinya, satu materi dengan materi lain tidak terkait. Selain itu, BPP pun ada program kelas kewargaan yang lazimnya digelar selama dua atau tiga pekan. Total ada delapan hingga sepuluh materi yang diajarkan di kelas itu.
"Di antaranya, seperti politik kewargaan, hak asasi manusia (HAM), dan pengantar demokrasi. Pematerinya biasanya kita melibatkan akademisi, praktisi, dan aktivis-aktivis di NGO (Non-Governmental Organization),” jelas Delpedro.
BPP, lanjut Delpedro, tak hanya berteori. Setelah belajar di kelas, anggota BPP diterjunkan ke lapangan. Selain untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat, anggota BPP juga ditugasi untuk mengedukasi warga setempat mengenai hak-hak politik mereka.
“Misal, isunya HAM, udara bersih, kita ke Marunda. Nah, (di sana) melihat bagaimana perjuangan politik warga Marunda untuk mendapatkan udara bersih. Jadi, agar kita bisa ada gambaran bagaimana tindakan warga,” jelasnya.
Selain mengadakan kelas politik dan kewargaan, aktivitas BPP lainnya adalah diskusi publik. Delpedro menerangkan, diskusi yang digelar bisa bersifat terbuka dan tertutup. Digelar tertutup apabila diskusinya teoritik. Adapun diskusi terbuka biasanya digelar sebagai respons atas perkembangan politik.
Delpedro mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan kampanye di sekolah dan kampus sepanjang ada undangan dan tanpa atribut kampanye. Isu tersebut sempat berulangkali didiskusikan di BPP. BPP cenderung sepakat dengan isi putusan MK itu.
“Tetap dalam kerangka forum yang demokratis, setara, dan tidak ada pembatasan di situ. Bukan berarti diperbolehkan di kampus, tapi ada setting-an, misal, pertanyaannya dikumpulkan dulu. Justru kita mau adanya keorisinalitasan terkait dengan diskusi itu di kampus atau sekolah,” ucap dia.
Paralel dengan itu, kegiatan advokasi pun jalan terus. Saat ini, BPP terlibat sebagai salah satu narasumber laporan khusus PBB terkait kondisi pelajar dan pembela HAM anak muda di Indonesia. Belum lama ini, salah satu anggota BPP juga terpilih sebagai pemakalah dalam konferensi kebebasan sipil nasional yang diadakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Semua kegiatan BPP, kata Delpedro, bertujuan untuk mendongkrak pemahaman masyarakat terkait politik, khususnya anak muda. Delpedro memandang selama ini kaum muda yang terjun ke dunia politik hanya dianggap sebagai pelengkap dan pengekor politikus tua.
"BPP mau bilang bahwa untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan membangun sebuah blok politik, enggak harus berbentuk partai. Dalam bentuk jejaring seperti BPP juga, kita harus bisa mendulang suara mayoritas pemuda dan pelajar untuk menunjukkan sikap politiknya ke permukaan,” tegas Delpedro.
Tak beli kucing dalam karung
Komunitas literasi politik kaum muda lainnya yang hingga kini eksis ialah Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci). Berbeda dengan Front Mutual Aid dan BPP, forum ini terbilang sudah cukup berumur, yakni berdiri sejak 1986.
Kepada Alinea.id, aktivis Formaci, A. Fahrur Rozi menerangkan forum tersebut menggabungkan intelektualisme dan aktivisme. Diskusi menjadi salah satu kegiatan utama anggota Formaci. Fahrur mencontohkan diskusi dadakan yang sempat digelar Formaci merespons isu politik cawe-cawe Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
“Malamnya langsung kita jadwalkan untuk dikaji bareng-bareng. Gimana ini bentuknya?” kata mahasiswa jurusan Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Diskusi yang digelar Formaci, kata Fahrur, tak sembarangan. Dalam diskusi, biasanya ditunjuk satu pemateri sebagai pemantik. Isi materi dipresentasikan sebelum didebat dalam forum. Usai diskusi, sang pemateri juga punya kewajuban untuk menulis esai dan opini di media.
“Selain untuk memacu pengetahuan kita mengenai politik supaya terus hidup, tulis-menulis itu juga dikembangkan. Selain diskusi, Formaci memiliki kurikulum pendidikan, semisal kelas filsafat yang digelar sekali setiap pekan. Selain itu, ada kelas Islamic studies, sosiologi, serta logika dan penalaran," ucap Fahrur.
Model diskusi seperti itu, kata Fahrur, sudah tercipta sejak lama. Ia menyebut Ciputat memang dikenal dengan tradisi keilmuan yang sangat kental. Dari Formaci sendiri banyak lahir tokoh nasional di bidang politik.
“Seperti Saiful Mujani (pendiri) SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting). Lalu ada Burhanuddin Muhtadi (Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia) dan lain-lain yang menjadi tokoh nasional di bidang politik, para pengamat dan peneliti,” kata dia.
Kelas-kelas yang ada di Formaci, menurut Fahrur, bisa dikatakan sebagai upaya agar para anggota Formaci atau peserta kelas-kelas di Formaci menjadi pemilih muda yang kritis. Saat pemilu nanti, ia berharap kaum muda tak menentukan pilihan hanya berdasarkan popularitas.
“Tidak membeli kucing dalam karung. Sebenarnya harapan kita ke sana. Saya sebenarnya berpikir Formaci ini terus menyoroti untuk mendorong bagaimana politik ini diwarnai dengan politik-politik gagasan yang sehat, politik yang rasional,” jelasnya.
Formaci, lanjut Fahrur, saat ini memandang situasi politik di Indonesia sedang tak sehat. Ia mencontohkan sejumlah permohonan uji materi di MK terkait syarat-syarat menjadi presiden, mulai dari soal usia calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun, batas usia maksimal 70 tahun, hingga kemungkinan presiden bisa menjabat lebih dari dua kali.
“Kalau dipikir, kenapa enggak sekalian 21 tahun? Kenapa harus 35 tahun? Positioning hukumnya enggak jelas. Artinya persepsi publik tetap membaca bahwa ada kepentingan politik terselubung dengan mengakali hukum,” kata Fahrur.