Gibran Rakabuming Raka menyedot perhatian besar dalam dua hari terakhir ini. Putra sulung Presiden Jokowi itu diumumkan Koalisi Indonesia Maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Fenomena ini membuat miris sejumlah kalangan. Bukan hanya, Gibran dinilai prematur untuk tampil sebagai kontestan di panggung Pilpres 2024, kemunculannya juga mengindikasikan praktik politik ala Orde Baru, yang kerap menerabas etika.
Menurut juru bicara Gerak 98 Lukman Hakim, sebenarnya siapa pun berhak dicalonkan dan maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, yang jadi persoalan, munculnya Gibran didorong oleh praktik menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan.
"Siapa pun bisa menilai bagaimana munculnya nama Gibran sebagai cawapres dari capres Prabowo berawal dari proses di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya Gibran (Ketua MK Anwar Usman). Dan wajar apa yang akhirnya terjadi ketika MK diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga bukan Mahkamah Konstitusi," kata Lukman, Senin (23/10/2023).
Pada 16 Oktober lalu, MK yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu memutuskan syarat capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun namun batasan umur itu tidak berlaku bagi yang pernah menjadi/sedang menduduki jabatan kepala daerah. Ini lah yang membuat Gibran bisa melenggang diusung jadi cawapres Prabowo.
Lukman, mantan aktivis 98 yang pernah tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) itu melihat fenomena Gibran persis dengan cara-cara yang dipakai Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaan dengan membangun dinasti politik keluarga dan kroninya.
"Ini neo Orde Baru. Meski caranya mencederai akal sehat, tetapi tetap saja diterabas. Fase etika dan fatsun politik harus mendapat perhatian khusus, yang bukan sekedar meraih kekuasaan semata agar kekuasaan dapat berjalan dengan mengedepankan norma, etika, prinsip, idealisme dan humanisme," paparnya.
Dan yang tak kalah penting, sosok Gibran juga dinilai belum layak dibanding kandidat lain, yang sudah makan asam garam dalam mengurus urusan ketatanegaraan. Lukman mengatakan, Gibran seharusnya tidak perlu terburu-buru untuk mencicipi kursi kekuasaan. Ia masih perlu menimba pengalaman lebih banyak karena selain tidak punya latar pendidikan politik, praktis ia baru berurusan dengan pemerintahan hanya sekitar dua-tiga tahun ini.
"Penting calon pemimpin negara ke depan adalah orang yang kaya pengalaman mengurus negara. Karena tantangan ke depan semakin kompleks dan membutuhkan pemimpin yang wawasan politik, hukum, ekonomi dan sosialnya mumpuni," papar Lukman.
Lukman mencontohkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai pasangan capres-cawapres yang menurutnya sarat pengalaman. Ia menilai pengetahuan dan wawasan yang mereka miliki setelah berpuluh tahun berproses di sejumlah level dan bidang ketatanegaraan legislatif, yudikatif dan eksekutif akan banyak membantu mereka menjalani tugas pemerintahan apabila terpilih.
"Dalam pengelolaan negara, sosok yang memiliki pengalaman panjang dan keluasan wawasan sangat dibutuhkan sebagai pemimpin masa depan Indonesia yang kedepannya menghadapi begitu banyak tantangan lagi," ucapnya.