close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Massa Aliansi Masyarakat Pengawal Demokrasi (AMPD) melakukan aksi menolak deklarasi 2019 ganti Presiden di bundaran Saronde, Kota Gorontalo, Gorontalo, Senin (3/9)./AntaraFoto
icon caption
Massa Aliansi Masyarakat Pengawal Demokrasi (AMPD) melakukan aksi menolak deklarasi 2019 ganti Presiden di bundaran Saronde, Kota Gorontalo, Gorontalo, Senin (3/9)./AntaraFoto
Politik
Rabu, 12 September 2018 16:43

Gerakan #2019GantiPresiden masih menjadi kontroversi

Tanda pagar ini menjadi kontroversial yang mengundang pro dan kontra di masyarakat.
swipe

Istilah makar ramai dibicarakan diberbagai media, baik itu cetak maupun elektronik. Hal ini dipicu dengan maraknya aksi yang dilakukan sebagian pihak yang mengusung #2019GantiPresiden.

Tanda pagar ini menjadi kontroversial yang mengundang pro dan kontra di masyarakat. Gerakan tersebut telah memancing perdebatan publik. Apakah merupakan makar yang didorong untuk menggulingkan Presiden Joko Widodo atau tidak.

Akademisi Pasca Sarjana Universitas Jayabaya Taswem Tarib, menilai gerakan tagar 2019 ganti presiden belum bisa dikatakan bentuk makar. Pasalnya belum ada unsur-unsur yang memenuhi untuk mengatakan tindakan tersebut ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah.

"Sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP, karena makar menurut hukum diatur dalam pasal 104 sampai 129 KUHP," paparnya dalam seminar yang bertajuk "#2019GantiPresiden makar atau tidak, di DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/9).

Setidaknya ada tiga garis besar dalam Pasal 104 sampai 129 KUHP, yang mengindikasikan tindakan makar yaitu, merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden, menyandranya dan menculiknya.

"Lalu merencanakan untuk merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden sehingga pemerintah lumpuh, dan gerakan mengganti ideologi Pancasila," jelasnya.

Sementara di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto, menyatakan, gerakan #2019GantiPresiden merupakan gejala makar karena bukan dilakukan pada masa kampanye

Isu tersebut juga memiliki kesan yang dapat menimbulkan permusuhan dan dapat memecah belah antar pendukung capres. "Kalau dibiarkan itu dapat memunculkan kaos," ujarnya.

Apa yang telah dilakukan Polri dengan membubarkan gerakan tersebut telah sesuai aturan, sebab telah diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang tugas Kepolisian. "Itu sah karena dapat memicu kebencian dan bentrokan, jadi Polri boleh membubarkan," paparnya.

Anggota Badan Pengawas Pemilu Afifuddin menghimbau kepada semua pihak terutama kubu yang akan bertarung, untuk sama-sama menahan diri untuk tidak membangun narasi yang dapat memecah belah masyarakat.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan