Setelah heboh pengakuan La Nyalla Mataliti terkait mahar politik oleh Gerindra di Pilgub Jawa Timur, kali ini pengakuan serupa muncul di Pilwalkot Cirebon, Jawa Barat. Kabar tersebut mencuat usai Brigjen (Purn) Siswandi mengaku dimintai sejumlah uang oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) demi memuluskan langkahnya meminpin di Kota Cirebon.
Namun, Sekretaris Umum DPW PKS Jabar, Abdul Hadi Wijaya memastikan telah melakukan investigasi kepada kader yang terlibat dalam proses penerbitan SK untuk Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Cirebon. Sejumlah fakta pun ditemukan diantaranya, PKS gagal mengonfirmasi Siswandi siapa oknum yang meminta dana tersebut.
“Beliau tidak bisa menyampaikan jawaban yang pasti,” ujar Hadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/1).
Hadi menambahkan, proses penentuan kandidat kepala daerah di Kota Cirebon cukup dinamis. Bahkan, ia menjamin DPW PKS Jawa Barat tidak pernah memproses nama Siswandi-Euis. “DPP PKS mustahil memproses nama yang tidak diajukan secara resmi oleh DPW,” sambungnya.
Sementara Wasekjen Gerindra, Ferry Juliantono membantah bahwa batalnya poros baru di Jatim karena adanya mahar politik. Terlebih sempat muncul tudingan dari La Nyalla Mataliti terkait praktek politik berbayar jika mantan Ketua PSSI itu ingin maju di Jatim melalui Gerindra.
"Kita sudah memberikan surat penugasan kepada Pak La Nyalla untuk mencari pasangannya, namun sampai pada tanggal 20 Desember 2017, Pak La Nyalla belum berhasil mendapatkan wakilnya, sehingga surat penugasan itu dikembalikan kepada Gerindra,” teramg Ferry kepada Alinea beberapa waktu lalu.
Dampak mahar politik
Perludem meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera menindaklanjuti berbagai informasi seputar praktik mahar politik. Terlebih mahar politik tidak bisa dianggap sebagai hal yang lumrah.
"Maka jangan heran, jikalau kemudian para calon tersebut berhasil menduduki kursi pemerintahan, mereka melakukan praktik korupsi politik, untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan," terang Direktur Eksekutif Perludem, Titi Angraini saat berbincang dengan Alinea.
Titi membebrkan, seharusnya partai politik bisa melahirkan calon-calon pemimpin yang jujur dan adil serta tak memungut ‘mas kawin’ kepada para kandidat. Jika hal tersebut dilestarikan, orientasi kepimpinan bukan lagi pada pelayanan publik dan bukan lagi anti korupsi, tetapi adalah orientasi ekonomi untuk mengembalikkan modal yang sudah dikeluarkan.
"Partai itu kan institusi yang diberi otoritas undang-undang/konstitusi untuk merekrut warga negara menjadi calon pemipin, kalau pembiayaan dibebankan kepada calon itu sendiri kan aneh. Ini berarti mengingkari dari peran partai sebagai institusi rekrutmen politik." ujarnya.