Elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) sebesar 49,4 persen jika pemilihan presiden (Pilpres) dilakukaan saat ini, berdasarkan hasil survei Populi Center yang digelar 19 Oktober hingga 26 Oktober 2017. Sementara Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menempel di urutan kedua dengan 21,7 persen.
Direktur Populi Center, Usep S Ahyar memaparkan, dalam konteks kandidat calon presiden, pertarungan Jokowi dan Prabowo masih dianggap dominan.
Sedangkan di posisi ketiga dan selanjutnya ada nama Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo dengan elektabilitas 2,0 persen, Hary Tanoesoedibjo 0,7 persen, Anies Baswedan 0,7 persen, Susilo Bambang Yudhoyono 0,6 persen, Megawati Soekarnoputri 0,4 persen.
Lalu Jusuf Kalla 0,4 persen, Wiranto 0,3 persen, Ridwan Kamil 0,3 persen, serta nama lain di antaranya Ahok, Tito Karnavian, Surya Paloh, dan lainnya 0,9 persen.
Dalam posisi head to head antara Jokowi dan Prabowo hasilnya 56,7 persen dari 1.200 responden memilih Jokowi. Sedangkan yang memilih Prabowo 31,9 persen. Hanya 11,3 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab dalam survei yang menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Menanggapi hasil survei tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menilai wajar elektabilitas Joko Widodo lebih tinggi dibandingkan Prabowo Subianto. Ia beralasan, hal tersebut akan terjadi jika membandingkan antara petahana dengan sosok yang baru akan mencalonkan diri.
"Wajar kalau seorang petahana elektabilitasnya di atas bakal calon, itu tidak apple to apple karena tidak bisa dibandingkan antara yang sedang menjabat dan belum," kata Fadli seperti dikutip dari Antara, Kamis (2/11).
Sosok yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR itu menambahkan, calon petahana bisa melakukan kampanye politik secara terstruktur. Kegiatan itu dilakukan melalui program sehari-hari yang dilakukannya seperti potong pita, meresmikan proyek, peletakan batu pertama.
Meski demikian, ia meyakini peta pertarungan masih bisa berubah ketika sudah memasuki pencalonan Pilpres mendatang.
"Namun saya yakin kalau sudah ada calon, petanya berubah sehingga hasil survei akan berbeda," sambungnya.
Bahkan, Fadli menyebut hsail survei tersebut tak bermakna karena belum ada penetapan calon dalam Pilpres. Termasuk juga belum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas partai mengajukan calon presiden nol persen.
"Nanti bisa dilihat elektabilitas dari survei itu bermakna, kalau sekarang belum ada maknanya karena dibandingkan petahana dengan calon yang akan maju," tandasnya.