Prabowo Subianto yang dilantik sebagai presiden beberapa waktu lalu, diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Di DPR, dengan total anggota 580 orang, koalisi pendukung Prabowo terlihat dominan. Jumlah anggota DPR dari KIM plus di parlemen sebanyak 470 kursi.
Rinciannya, Partai Golkar 102 kursi, Partai NasDem 69 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 kursi, dan Partai Demokrat 44 kursi. Sedangkan PDI-P yang belum menentukan masuk koalisi, mendapatkan 110 kursi.
Sewaktu masa pemerintahan Joko Widodo, 2019-2024, koalisi pendukungnya di DPR, yakni PDI-P, Partai NasDem, Partai Golkar, PKB, dan PPP, mencapai 349 kursi. Ketika itu, berembus isu Jokowi tiga periode.
Begitu pula saat akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014. Saat itu, Ketua Umum Partai Demokrat yang juga putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengaku, sempat ada dorongan mengamandemen UUD 1945 terkait masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Di masa Sukarno, melanggengkan kekuasaan diawali dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya Demokrasi Terpimpin dan berakhirnya Demokrasi Liberal. Setelah itu, terjadi pembubaran DPR dan MPR hasil Pemilu 1955, diganti MPR Sementara (MPRS) dan DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat Sukarno. Sukarno pun menyederhanakan jumlah partai politik lewat Perpres Nomor 7 Tahun 1959. Lantas, pada 1963 terbit Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS tentang Pengangkatan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup.
Begitu pula dengan Soeharto, yang bisa berkuasa selama 32 tahun. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, setelah menjabat presiden pada 1968, Soeharto memundurkan pemilu yang sudah ditetapkan MPR digelar di tahun yang sama. Pemilu digelar pada 1971, demi mematangkan konsolidasi politik. Seiring dengan itu, Soeharto pun menyingkirkan lawan-lawan politiknya, saat pemilu dimundurkan dari 1968 ke 1971.
Selanjutnya, partai politik yang ikut Pemilu 1973 disederhanakan menjadi dua, yakni PDI dan PPP ditambah Golkar, demi mewujudkan stabilitas nasional dan meminimalkan risiko konflik politik. PDI adalah hasil gabungan Partai Katolik, PNI, Parkindo, IPKI, dan Partai Murba. PPP merupakan gabungan dari Parmusi, PSII, PERTI, dan NU. Sedangkan Golkar menjadi wadah bagi TNI, seniman, petani, dan sebagainya.
Menurut Direktur Kajian Politik Nasional, Adib Miftahul, ambisi untuk berkuasa lebih lama berpotensi dilakukan penguasa. Apalagi dengan modal dominasi di DPR, koalisi gemuk Prabowo-Gibran nyaris tidak terbendung. Oposisi juga tidak terlihat di pemerintahan baru. Hanya PDI-P yang kemungkinan mengisinya, tetapi itu pun bisa ditengarai akan bergabung dengan pemerintahan.
“Oposisi tidak bsia diharapkan, cenderung kecil melihat PDI-P menurut saya ada kesepakatan politik. Kekhawatiran itu pasti ada,” kata Adib kepada Alinea.id, Sabtu (19/10).
Meski begitu, Adib optimis potensi pelanggengan kekuasaan dapat digagalkan di era keterbukaan informasi seperti sekarang. Ketika masyarakat mudah mengetahui informasi dengan cepat, reaksi dari publik juga bakal terpantik. Dia berkaca pada situasi revisi Undang-Undang Pilkada yang ingin disahkan DPR, yang diprotes masyarakat dengan turun ke jalan karena ajakan dari media sosial beberapa waktu lalu.
“Di era keterbukaan seperti ini, people power menggagalkan kepentingan politik,” ucap Adib.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin memandang, godaan untuk memanjangkan masa jabatan presiden memang sempat dialami oleh dua presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Menurut dia, masyarakat harus mengawal kinerja dan kekuasaan Prabowo dalam beberapa waktu ke depan. Begitu pula dengan parlemen, yang tak boleh luput dari sorotan.
“Ya kalau saya tidak mau berandai-andai terkait kekuasaan Prabowo yang sama-sama mayoritas. Saya sih percaya, anggota parlemen akan menjaga konstitusi,” ucap Ujang, Senin (21/10).
Kondisi ini, kata Ujang, akan muncul. Namun tetap diperlukan peran serta dari partai koalisi, seperti yang terjadi pada saat Jokowi memerintah. PDI-P sebagai partai politiknya saat itu, langsung memblokir jalan dugaan melanggengkan kekuasaan lima tahun berikutnya bagi Jokowi.
“Godaan itu ada. Siapa pun yang berkuasa, ada godaan,” tutur Ujang.