Gundah aktivis pemburu kursi senator
Nama sejumlah aktivis lingkungan dan aktivis masyarakat adat tertera sebagai calon anggota DPD RI di Pileg 2014. Kegelisahan karena minimnya perhatian politikus Senayan terhadap persoalan lingkungan dan kaum adat jadi alasan para aktivis membidik kursi senator. Namun, pertarungan elektoral ternyata tak mudah bagi kalangan aktivis.
Itu setidaknya diamini Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT) Umbu Wulang Tanaamhu Paranggi. Umbu memutuskan maju jadi caleg DPD setelah dibujuk oleh rekan-rekannya sesama aktivis. Mereka ingin ada perwakilan di Senayan yang bisa diharapkan menampung aspirasi masyarakat di daerah.
"Karena isu-isu, seperti lingkungan hidup, keadilan ekologis, perubahan iklim dan isu tentang masyarakat adat kurang mendapatkan porsi dalam percakapan politik di pemilu. Aspirasi kami juga sering tidak digubris oleh mereka," kata Umbu saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (10/12).
Sebagai gambaran minimnya perhatian politikus Senayan terhadap isu lingkungan dan masyarakat adat, Umbu menyinggung mandeknya pembahasan RUU Masyarakat Adat. Sejak 2014, RUU itu sudah tiga kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Jelas mereka (politikus DPR) tidak serius membahas RUU Masyarakat Adat," ujar Umbu.
Umbu sudah punya sejumlah rencana yang bakal dicoba diwujudkan jika terpilih jadi anggota DPD RI. Salah satunya ialah mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) membangun sebuah akademi yang fokus pada riset ekologi dan keanekaragaman hayati di NTT.
Akademi semacam itu, kata Umbu, dibutuhkan untuk menjaga kontinuitas perjuangan merawat kelestarian lingkungan di NTT. Menurut dia, banyak proyek berskalan nasional di NTT yang mengancam kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat adat. Ia menyinggung proyek pembangunan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi wisata yang rutin memicu polemik.
"Beberapa sudah harus dipulihkan dari kooptasi negara. Selama ini, ada ancaman juga terhadap eksistensi masyarakat adat. Kami lihat di NTT, misalnya, pengelolaan hutan basisnya negara karena tidak melibatkan kearifan lokal, semisal perhutanan sosial," kata Umbu.
Umbu mengaku bukan perkara mudah bagi kalangan aktivis bertarung di kontestasi elektoral. Ia menyinggung politik uang yang mewabah di kalangan masyarakat setempat. Di lain sisi, gagasan pemulihan lingkungan dan perlindungan masyarakat adat kerap dianggap angin lalu oleh pemilih.
"Sekarang banyak komunitas yang minta uang dulu karena mereka merasa ditipu olah caleg-caleg sebelumnya. Anggota yang sebelumnya hanya janji- janji. Akhirnya, kami yang sekarang yang menanggung dampak politik uang itu," kata Umbu.
Untuk lolos, Umbu memprediksi butuh setidaknya 350 ribu suara. Namun, sebagai aktivis yang "cekak", Umbu khawatir bakal dicurangi di tempat pemungutan suara (TPS). Ia mengaku tak punya duit untuk membayar saksi untuk menjaga agar suaranya aman di TPS nanti. "Kita enggak punya sumber daya," imbuhnya.
Umbu sebenarnya paham DPD tidak memiliki taji seperti DPR dalam soal legislasi, anggaran dan pengawasan. Namun, ia optimistis lembaga itu masih bisa memainkan peranan untuk mengawal segala aspek pembuatan undang-undang di Senayan. "Fungsi representasi itu adalah fungsi perwakilan yang dilandaskan wajah perwakilan daerah," kata Umbu.
Selain Umbu, aktivis lainnya yang nyaleg di DPD, semisal Asmar, eks Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Bengkulu, Def Tri Hardianto, dan mantan Sekjen AMAN Abdon Nababan.
Kepada Alinea.id, Abdon mengaku diutus untuk membidik kursi DPDoleh pengurus wilayah AMAN Tano Batak dan pengurus wilayah AMAN Sumatera Utara. "Mereka yang mengumpulkan dukungan sebanyak 14 ribu KTP untuk pemenuhan syarat minimum pencalonan saya," kata Abdon
Menurut Abdon, ada sejumlah persoalan krusial terkait lingkungan dan masyarakat adat yang harus diselesaikan di Sumatera Utara. Salah satunya masalah perampasan hak atas tanah yang memicu konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
"Kemudian masalah-masalah pertanian, semisal irigasi, kelangkaan pupuk subsidi, fluktuasi harga hasil bumi. Kemudian kalangan muda meresahkan sulitnya dapat pekerjaan," kata Abdon.
Jika terpilih, Abdon punya misi untuk merampungkan RUU Masyarakat Adat yang mangkrak di tangan DPR. Ia juga berencana mengawal realisasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012. Putusan itu menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara. Namun, realisasi putusan itu masih lamban.
Abdon mengaku misi-misi itu bakal sulit dijalankan. Ia paham taji DPD tidak sekuat DPR dalam merancang legislasi dan mendesak pemerintah. "Untuk bisa efektif memperjuangkan aspirasi masyarakat adat dalam proses legislasi, kita harus komunikasi politik yang intensif dengan DPR RI," kata dia.
Transformasi gerakan
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menilai upaya para aktivis membidik kursi senator perlu diapresiasi. Menurut dia, isu-isu lingkungan dan masyarakat adat memang belum jadi perhatian serius kalangan politikus Senayan.
Meski begitu, Zaki pesimistis kalangan aktivis itu bisa bicara banyak seandainya terpilih di Pileg 2024 dan berkantor di Senayan. Dari segi fungsi dan kewenangan, DPD tidak memiliki peran signifikan dalam merumuskan regulasi dan mengawasi kinerja pemerintah.
"Saya kira ini jalan keluar yang tidak tepat. DPD, dari segi fungsi dan kewenangan, sangat lemah tidak punya peran dalam mengambil kebijakan dalam proses legislasi dan penentuan anggaran," ucap Zaki kepada Alinea.id.
Sejauh ini, Zaki melihat upaya untuk memperkuat DPD tidak pernah membuahkan hasil. Saat ini, sejumlah anggota DPD yang berkantor di Senayan bahkan malah mendorong DPD dibubarkan jika tidak bisa dilebur ke DPR. Mereka menyadari eksistensi lembaga itu hanya sebagai pelengkap di parlemen.
"Sebagai mitra minor DPR. Jadi, antara ada dan tidak ada. Usaha untuk memperkuat DPD selalu kandas. Itu yang mendorong (eks Ketua MK) Jimly Asshiddiqie, salah satu anggota DPD saat ini, meminta supaya DPD dibubarkan saja," ucap Zaki.
Meski begitu, Zaki memandang tak ada yang salah dengan niat para aktivis mengawal aspirasi mereka via DPD. Pun tak salah jika mereka maju jadi caleg karena motif lainnya, semisal berbasis popularitas atau sekadar coba-coba.
"Boleh aja mencoba bertransformasi merebut kursi di DPD. Dengan membuat strategi gerakan CSO (civil society organization) yang lebih variatif dan efektif, mungkin lebih baik. Bisa juga membangun networking yang lebih luas," kata Zaki.