Harapan Puan maju capres saat elektabilitas jeblok dan kinerja di DPR senyap
Ada tiga nama yang kerap tampil di papan atas lembaga survei politik, sebagai calon presiden (capres) potensial di Pilpres 2024, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Hasil survei Poltracking Indonesia yang dilakukan pada 1-7 Agustus 2022 misalnya, menempatkan Ganjar di urutan pertama capres potensial dengan elektabilitas mencapai 26,6%. Ditempel Prabowo dengan elektabilitas 19,7% dan Anies dengan 17,7%.
Selain tiga nama tadi, ada sejumlah nama yang meramaikan survei kandidat capres mendatang. Salah satunya politikus PDI-P sekaligus Ketua DPR Puan Maharani. Sayangnya, dalam survei Poltracking Indonesia tersebut, Puan hanya punya elektabilitas 2,2%.
Hasil survei yang diadakan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 3-9 Oktober 2022 menunjukkan hal serupa. Ganjar memiliki elektabilitas 24%, Prabowo 21%, dan Anies 18,7%. Sedangkan Puan hanya 2,1%.
Mengukur hasil survei
Politikus PDI-P Hendrawan Supratikno enggan berkomentar banyak terkait elektabilitas Puan yang sulit dijadikan modal bertarung di Pilpres 2024. Ia juga belum bisa memutuskan strategi yang bakal ditempuh partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu untuk mendongkrak elektabilitas Puan.
Ia hanya berkata, dalam setiap persoalan partai, sudah ada mekanisme yang mengatur penyelesaiannya. “Sudah ada peraturan partai,” ujar Hendrawan kepada Alinea.id, Selasa (1/11). “Saya fokus dengan konstituen.”
Sementara politikus PDI-P lainnya, Johan Budi Sapto Pribowo tak sependapat bila hasil survei dijadikan acuan mengukur prestasi capres. Ia menilai, elektabilitas saat ini adalah buah dari popularitas yang tersemai lewat media sosial, bukan prestasi. Kelemahan Puan, katanya, hanya soal kalah populer dengan calon lain di media sosial.
Johan berdalih, Puan tak punya tim media sosial secanggih capres lainnya. "Beda dengan capres lain yang memoles citra di media sosial, sehingga muncul persepsi orang ini sederhana dan merakyat," kata Johan, Rabu (2/11).
Menurut Johan, Puan bukan tipikal politikus yang doyan main media sosial. Ia lebih memilih bergerak dengan cara konvensional, mendatangi lumbung suara yang potensial.
"Untuk bisa mendongkrak elektabilitas, Mbak Puan strateginya bekerja saja sudah sebagai Ketua DPR (atau) ke daerah-daerah, sambil nunggu keputusan Ketua Umum (PDI-P Megawati Soekarnoputri),” ucapnya.
Lebih lanjut, Johan berpendapat, tingkat elektabilitas Puan yang melempem di papan survei, bukan pertanda tak bisa menantang capres favorit. Kata dia, elektabilitas bukan satu-satunya ukuran menang karena banyak kasus calon yang diunggulkan survei justru kalah begitu pemungutan suara.
“Jangan salah, banyak faktor yang membuat orang menang. Contoh Jokowi waktu Pilkada DKI Jakarta, popularitasnya itu rendah dibanding petahana Fauzi Bowo,” ujarnya.
“Tapi kalah Fauzi Bowo. Saat Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok itu kepuasan publik tinggi, tapi kalah dengan Anies.”
Direktur Riset Indonesia Presidentiial Studies (IPS) Arman Salam memandang, Puan masih terlalu percaya diri mampu memenangkan pertarungan Pilpres 2024, hanya bermodal dukungan PDI-P—partai pemenang Pemilu 2019.
Padahal, menurut Arman, untuk memenangkan pilpres, sangat terkait dengan figur calon. Dari hitung-hitungannya, Puan sangat mungkin kandas lebih awal jika cuma bermodal elektabilitas 2%.
"Figur Puan Maharani yang saat ini masih berjalan di tempat angka dukungannya,” tutur Arman, Senin (31/10).
Selain tak ada jaminan calon yang didorong partai besar bakal sejalan terhadap perolehan dukungan, Arman melihat, prestasi yang dianggap publik spektakuler juga ikut memengaruhi angka dukungan seorang capres.
Jika Pilpres 2024 diikuti lebih dari dua pasangan calon, ia mengatakan, sangat sulit bagi Puan untuk bersaing. Puan lebih berpeluang bila hanya ada dua pasangan calon. Itu pun mesti dengan pertimbangan yang jeli, siapa lawan yang akan tampil sebagai penantang.
Kalau masih ingin bersaing, Arman memandang, Puan harus sesegera merancang strategi yang tak biasa untuk mendongkrak elektabilitas. Putri Megawati tersebut, lanjut Arman, juga butuh dukungan banyak tokoh di luar PDI-P.
"Harus ada langkah strategis dan out of the box," kata Arman.
Kinerja di DPR
Memegang jabatan sebagai Ketua DPR, seharusnya menjadi modal Puan untuk melakukan terobosan demi masuk ke dalam nama capres potensial. Namun, lembaga yang dipimpinnya itu nyatanya masuk dalam institusi negara dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah.
Hal itu tergambar dari hasil survei Indikator Politik pada Juni 2022. Dalam survei itu, DPR berada di angka 62,6% di bawah TNI dengan 93,5%, Presiden 79,6%, Polri 77,3%, dan Kejaksaan Agung 74,5%.
Tak jauh berbeda, Populi Center menempatkan DPR/DPRD di angka 57,7% hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang diadakan 9-17 Oktober 2022. DPR berada di bawah TNI (81,7%), Presiden (76,6%), KPK (66,2%), KPU (64,2%), Bawaslu (63%), Mahkamah Agung (62,3%), Badan Pemeriksa Keuangan/BPK (60,2%), Mahkamah Konstitusi (59,7%), Kejaksaan Agung (59.3%), dan Polri (58,5%).
Puan sendiri dilantik sebagai Ketua DPR pada 1 Oktober 2019. Jabatannya akan berakhir pada 2024. Sebelumnya, ia menjabat Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada 2014-2019.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut, kinerja DPR di bawah Puan makin memburuk. Hal itu tecermin dalam rendahnya capaian di bidang legislasi. Menurut Lucius, Puan seharusnya menjelaskan, dari 254 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, hanya 18 di antaranya yang merupakan RUU Prolegnas Prioritas.
“Selain itu juga diperparah dengan minimnya partisipasi publik dalam proses pembahasannya,” ujar Lucius, Minggu (30/10).
“Bahkan, MK (Mahkamah Konstitusi) mengatakan, satu UU produk DPR sekarang inkonstitusional bersyarat karena cacat prosedural berupa partisipasi minim publik selama pembahasan.”
Dalam peran pengawasan, Lucius memandang DPR di bawah pimpinan Puan terbilang lembek terhadap pemerintah. Malah menonjolkan diri sebagai “tukang stempel” pemerintah. Pada bidang anggaran, DPR pun dinilai tak punya gebrakan berarti, terbilang hanya mengikuti keinginan pemerintah.
“Gambaran kinerja seperti di atas jelas tak memberikan nilai plus bagi Puan yang kebetulan menjadi Ketua DPR periode ini," kata Lucius.
Menurut Lucius, dibandingkan kepemimpinan DPR di bawah Bambang Soesatyo atau Bamsoet, Puan kalah pencapaian. Bamsoet, ujar Lucius, terbilang sukses merancang terobosan, misalnya membuat rapat-rapat DPR terbuka untuk publik. Walau masih ada proses legislasi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Dengan fungsinya sebagai koordinator pelaksanaan fungsi DPR, sulit untuk mengatakan Puan berhasil menjadi koordinator yang baik bagi pencapaian kinerja DPR yang fantastis," kata Lucius.
Ia menyayangkan, Puan tak banyak melakukan terobosan penting selama menjabat sebagai Ketua DPR. Padahal, kinerjanya sebagai ketua lembaga legislatif, potensial mengerek elektabilitas.
"Inisiatif membuat infrastruktur digital untuk memaksimalkan partisipasi publik sama sekali tak terlihat dilakukan Puan. Inisiatif lain juga tak ada," ucap Lucius.
Di sisi lain, Johan tak sepakat bila prestasi Puan diukur dengan mengacu pada capaian undang-undang yang berhasil disahkan DPR. “Sebab di DPR ada 9 fraksi dan dalam membuat undang-undang ada keterlibatan pemerintah,” ujar Johan.
Soal dianggap belum memiliki terobosan seperti yang dilakukan Bamsoet, Johan pun merasa penilaian tersebut kurang adil. Pasalnya, selama kepemimpinan Puan, DPR turut mengembangkan visi keterbukaan dengan lebih baik.
"Artinya, kalau terobosan Pak Bamsoet tidak dilanjutkan juga itu kan masalah. Tapi Mbak Puan lebih memilih melanjutkan,” ujarnya.
“Bahkan dikembangkan Mbak Puan dengan lebih terbuka lagi ke publik internasional.”
Namun, Lucius melihat, DPR di bawah Puan sejauh ini terbilang stabil, tanpa guncangan politik berarti. Sedikit-banyak hal itu terjadi karena gaya kemepimpinannya yang tak banyak mengumbar kata-kata, yang bisa memicu konfrontasi antarfraksi.
"Kewibawaannya sebagai seorang pemimpin bisa meneduhkan lembaga dengan penghuni semuanya adalah politisi," kata Lucius.
Di samping itu, bagi Johan, tiada gejolak di DPR selama kepemimpinan Puan lebih adil dijadikan acuan kesuksesannya memimpin DPR. "Bagi saya itu sebuah kesuksesan mengelola organisasi," kata Johan.