Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati menilai kenaikan harga kedelai menambahkan catatan merah di awal tahun 2021, selain resesi ekonomi. Menurutnya, kenaikan ini telah berdampak pada industri pangan tahu dan tempe.
Kenaikan tersebut, lanjut dia, menjadi tanda bahwa Indonesia masih bergantung pada impor bahan dasar pembuatan tempe dan tahu itu.
"Kondisi ini menguak fakta mencengangkan bahwa hingga saai ini, Indonesia masih sangat mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku utama pembuatan tempe tahu," kata Anis dalam keterangannya, Rabu (6/1).
Anis kemudian memberikan lima catatan kritis ihwal kenaikan harga kedelai di pasaran tersebut. Pertama, data yang selalu menjadi faktor utama masalah dalam merumuskam kebijakan.
"Indonesia adalah negara agraris, tetapi sektor pertaniannya tidak berkembang, bahkan terus mundur. Salah satunya karena kebijakan pangan nasional yang tidak didasarkan pada data yang kuat dan mengikat semua pemangku kepentingan," tegas Anis.
Kedua, peningkatan produksi kedelai lokal dan pengendalian impor dinilai harus dilakukan. Baginya, momentum kenaikan harga kedelai menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri.
"Sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani kedelai. Sebagaimana kita tahu bahwa kondisi petani kedelai terlibas oleh kebijakan pasar bebas tahun 1995. Awalnya produksi lokal bisa memenuhi 70-75% kebutuhan kedelai, tetapi saat ini terbalik karena sekitar 70-75% kini dipenuhi dari impor," tutur Anis.
Ketiga, politikus PKS ini menilai harus ada evaluasi penggunaan dana desa untuk mengembangkan potensi di daerah. Menurutnya, program yang diselenggarakan dari dana desa harus memiliki daya ungkit untuk membangkitkan ekonomi pedesaan.
"Seharusnya dana desa bisa dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Dan salah satunya adalah untuk pengembangan kedelai lokal," terang Anis.
Keempat, Anis menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki tata niaga kebutuhan pangan. Juga memperhatikan pentingnya kolaborasi aktif antara kementerian dan lembaga terkait untuk menciptakan stabilitas harga pangan.
"Kenaikan kedelai adalah salah satu dari masalah yang sebenarnya merupakan kejadian berulang. Dan ini juga harus diantisipasi untuk bahan pokok lainnya misalnya beras, telur, daging, cabe, bawang dan masih banyak produk pangan lainnya," ucap dia.
Terakhir, Anis mendesak pemerintah dapat menindak tegas para spekulan yang melakukan praktik penimbunan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta dapat mencabut Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pihak yang terbukti melanggar aturan tanpa kecuali.
"Sanksi tegas ini menjadi pelajaran atau shock therapy bagi para spekulan agar tidak lagi melakukan aksi penimbunan karena dapat menyebabkan harga menjadi tidak wajar," tukas Anis.
Diketahui, sejak awal 2021 harga kedelai melambung tinggi. Alhasil, tempe dan tahu menghilang dari pasaran karena mogoknya para produsen untuk melakukan produksi beberapa hari belakangan ini.
The Food and Agriculture Organization (FAO) menilai, salah satu faktor utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia adalah lonjakan permintaan kedelai dari China kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar dunia.
Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Berdasarkan data FAO, harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar US$ 461 per ton atau naik 6% dibanding bulan sebelumnya yang tercatat US$ 435 per ton.