Hasrat terselubung partai politik rebutan kursi Ketua MPR
Kursi Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) menjadi incaran beberapa partai politik. PKB, PPP, PAN, PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, maupun Partai Gerindra secara terbuka menyatakan keinginannya duduk sebagai pimpinan MPR.
Padahal, setidaknya setelah terjadi amandemen UUD 1945, posisi Ketua MPR hanya “angin lalu” yang tugasnya memasyarakatkan Empat Pilar MPR, yakni Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedudukan MPR tak sekuat di masa Orde Baru.
Siti Hasanah di dalam tulisannya “Penguatan Tradisi Musyawarah Mufakat dalam Sistem Kekuasaan Negara: Studi tentang Lembaga MPR di Masa Kini dan akan Datang” yang dipublikasikan dalam prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum (2015) menyebutkan, di masa Orde Baru kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang punya kewenangan sangat luas.
“Di Era Orde Baru, MPR dijuluki sebagai lembaga super body karena kuatnya kedudukan dan luasnya kewenangan yang dimiliki. Dominasi partai politik pendukung penguasa di lembaga ini menjadikan MPR sebagai alat untuk melanggengkan kedudukan penguasa,” tulis Siti.
Tugas pokok MPR saat itu menetapkan UUD, Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN), dan mengangkat presiden serta wakil presiden. MPR kala itu berisi anggota DPR, utusan golongan, dan daerah.
Menurut Siti, reformasi bukan sekadar meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, tetapi juga menyebabkan MPR berada di dalam posisi yang dilematis: dipertahankan sekaligus terpangkas wewenangnya.
Amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 membuat MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi. Lembaga ini tak lagi punya kewenangan memilih presiden dan wakil presiden, serta menetapkan GBHN. Anggota MPR usai reformasi terdiri dari anggota DPR dan DPD. Kedudukannya menjadi setara dengan DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), dan lembaga negara lain.
Parpol rebutan dan rekomendasi anggota MPR
Meski sudah tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, namun tak mengurungkan beberapa partai politik mengincar kursi yang kini dijabat Zulkifli Hasan itu.
Saat dihubungi Alinea.id, Senin (29/7), Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi menganggap, kursi pimpinan MPR sangat penting bagi partai politik, untuk ikut berkontribusi dalam mengawal konstitusi.
Politikus Partai Golkar Ace Hasan Syadzily pun tak menampik, MPR berperan penting dalam menjaga ekosistem politik nasional. Menurutnya, karena alasan tadi Golkar ingin ikut terlibat perebutan kursi Ketua MPR.
Ketua DPP Golkar bidang Media dan Penggalangan Opini itu menjelaskan, MPR punya fungsi strategis untuk menegakkan pilar-pilar demokrasi agar berjalan optimal.
“Sebagai lembaga negara, MPR merupakan simbol kebangsaan. Dalam konteks itu, Golkar menawarkan semua pilar-pilar kebangsaan bisa dijamin jika kursi itu berada di Golkar,” kata Ace saat dihubungi Alinea.id, Senin (29/7).
Partai Gerindra pun tak mau ketinggalan berebut kursi Ketua MPR. Untuk memuluskan jalan tersebut, menurut politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade, pimpinan partainya terus membangun komunikasi dengan partai lain demi mengamankan posisi Ketua MPR.
“Tentu ada komunikasi dari Gerindra dengan partai yang lain. Kan nanti itu pemilihannya sistem paket,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra itu saat dihubungi, Senin (29/7).
Andre tidak menyebut partai politik yang diajak bekerja sama. Menurut dia, peta pertarungan perebutan kursi pimpinan MPR masih sangat dinamis, dan belum dapat ditebak.
“Kita tunggu saja. Proses ini kan sedang berjalan. Pimpinan lagi berkomunikasi,” kata Andre.
Dengan posisi sebagai partai politik yang memperoleh suara tertinggi kedua secara nasional, Andre melihat, Gerindra sangat berpeluang mengisi posisi ini. Namun, Andre membantah keinginan partainya untuk mengisi kursi Ketua MPR dikaitkan dengan syarat rekonsiliasi kubu Jokowi dan Prabowo.
Sementara itu, anggota MPR Fraksi PKS Andi Akmal Pasluddin menggelorakan kembali wacana kewenangan MPR. Menurut dia, di internal MPR sudah berdiskusi dan menulis empat rekomendasi tertulis untuk memperkuat MPR.
Pertama, kata dia, untuk memastikan dan memperjelas arah perjalanan bangsa, maka perlu dibentuk haluan negara yang proses penyusunannya melibatkan lembaga negara yang punya representasi rakyat sempurna, seperti DPR, DPD, dan presiden. Kemudian, ditetapkan melalui amandemen MPR.
Kedua, lanjut Andi, pokok-pokok haluan negara harusnya dirumuskan secara komprehensif dan tidak bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan negara.
“MPR enggak ada niatan menghilangkan pilpres langsung. Enggak ada niatan untuk mengubah sistem presidensial ke parlementer,” ujar Andi dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk “Penataan Kewenangan MPR dalam Perumusan Haluan Negara” di media center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Jumat (26/7).
Rekomendasi ketiga, kata Andi, perlu ada kesepakatan MPR dalam menentukan bentuk hukum pokok-pokok haluan negara, konsekuensi hukum, serta lembaga negara yang diberi wewenang untuk menetapkan haluan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Keempat, sambung Andi, MPR perlu mengesahkan pokok-pokok haluan negara yang disusun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Saya kira ini rekomendasi yang belum final karena masih baru produk lembaga. Nantinya dikembalikan ke seluruh stakeholder partai, presiden, dan masyarakat, bagaimana memandangnya. Apakah mau dilanjutkan atau tidak,” ucapnya.
Jika DPD diperkuat, Andi mengatakan, MPR juga boleh diperkuat. Asal, kata dia, dengan kesepakatan bersama, amandemen keempat tahun 2002 bisa dicabut.
Hanya gengsi dan fasilitas?
Menanggapi rebutan kursi Ketua MPR, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, jabatan itu diperebutkan bukan karena wewenangnya. Namun, hanya persoalan gengsi.
Sebab, kata dia, MPR, DPR, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan presiden, dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia kedudukannya sederajat.
“Mobil dinasnya pun juga sama. Ingat, jabatan itu yang penting gengsi,” tutur Ujang saat dihubungi, Jumat (26/7).
Ujang mengatakan, setelah reformasi, MPR hanya bersifat koordinator. Setelah amandemen UUD 1945 tahap keempat pada 2002, kewenangan dan status kelembagaan MPR yang super body dicabut. Oleh karena itu, ia menuturkan, MPR tak bisa lagi memberhentikan presiden tanpa persetujuan DPR.
“Hari ini kewenangan kenegaraannya hanya pelantikan presiden dan wakil presiden, seremoni pidato presiden setiap tanggal 16 Agustus. Itu saja rutinitas yang berjalan,” ujar Ujang.
Di sisi lain, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, perilaku partai politik rebutan kursi Ketua MPR menunjukkan orientasi partai politik yang pragmatis. Senada dengan Ujang, menurut Lucius, fasilitas yang disiapkan untuk posisi Ketua MPR jadi alasan mengapa diperebutkan.
“Perebutan itu umumnya karena mengincar kemewahan posisi pimpinan dibandingkan dengan anggota biasa. Tak hanya gaji, tunjangan, fasilitas, tetapi juga protokoler sekelas presiden. Itu pasti menggiurkan bagi politisi parpol,” kata Lucius saat dihubungi, Senin (29/7).
Lucius menyebut, upaya partai politik untuk memperoleh manfaat materiel bagi kepentingan mereka lebih menonjol ketimbang alasan konstitusionalnya.
“Alasan tetek bengek lainnya tentu karena urusan proyek Empat Pilar. Proyek ini disediakan anggaran yang cukup besar. Dan tentu dalam praktiknya, pimpinan punya ruang untuk memanfaatkan proyek ini demi kepentingan politik tertentu,” kata dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, perkara siapa yang berhak mendapatkan kursi Ketua MPR, Lucius menyarankan tetap mengacu pada perolehan kursi di parlemen. Jika dasar yang dipakai bukan atas perolehan kursi, dia khawatir rebutan kursi tersebut akan dikotori dengan praktik politik transaksional.
Kewenangan kuat MPR
Selain masalah fasilitas dan segala yang berhubungan dengan materiel, Lucius menilai, posisi Ketua MPR menjadi menggiurkan untuk partai politik karena bisa menjadi pintu masuk mengintervensi kebijakan strategis negara.
“Ketua MPR selalu punya alasan untuk bertemu, berbicara, dan berdiskusi dengan elite-elite utama pembuat keputusan penting republik ini,” kata dia.
Di samping itu, Lucius menganggap, Ketua MPR pun memegang posisi kunci perihal memutuskan amandemen UUD dan impeachment presiden. Hanya saja, dia mengatakan, untuk menjalankan fungsi strategis itu, kemungkinannya sangat kecil.
Pengamat politik dari Lembaga Analisis Politik Indonesia (L-API) Maksimus Ramses Llalongkoe berpendapat lebih keras. Menurutnya, partai politik yang ingin kursi empuk Ketua MPR merupakan upaya merebut kembali kekuasaan.
Dia melihat kembali masa Orde Baru. Dahulu, kata Ramses, Soeharto membuat GBHN karena belum ada undang-undang tentang otonomi daerah. Selain itu, kewenangan dan status MPR di masa Orde Baru merupakan strategi Soeharto melanggengkan kekuasaannya.
“Saya kira MPR tak ada kerjaan. Kalau ini nanti terjadi, maka bisa jadi ada dua kekuatan, kekuatan MPR dan presiden,” ujar Ramses.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis justru memandang, wacana mengembalikan GBHN sebagai landasan berbangsa bisa menambah “seksi” posisi Ketua MPR. Menurut Margarito, sidang-sidang pengesahan jika wacana GBHN itu berlanjut, berdampak positif bagi masyarakat. Alasannya, representasi politik masyarakat lewat MPR bisa terlibat dalam penentuan arah pembangunan bangsa ke depan.
"Haluan kita bernegara tidak ditentukan oleh presiden sendiri, tetapi oleh rakyat secara keseluruhan. Dalam hal ini diwakili oleh MPR," ujarnya saat dihubungi, Senin (29/7).
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, kewenangan MPR sangat strategis. Sebab, keberlanjutan pemerintah ditopang kekuatan MPR.
Salah satu kewenangan MPR, kata dia, memberhentikan dan memilih presiden dan/atau wakil presiden, saat berhalangan tetap.
“Peran strategis itu tak bisa diduduki partai politik yang tak sejalan dengan pemerintah,” ujar Feri saat dihubungi, Senin (29/7).
Feri khawatir, bila maksud rekonsiliasi diwujudkan dengan bagi-bagi kursi, termasuk kursi Ketua MPR, akan mengancam posisi Presiden Joko Widodo. Apalagi, jika kursi Ketua MPR diberikan ke Partai Gerindra.
"Bayangkan jika Gerindra jadi pimpinan MPR, isu setara 212 atau pelanggaran konstitusi Jokowi akan mendapatkan tempat, ya lebih bagus untuk ditindaklanjuti dengan pemberhentian," kata Feri.