close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan dalam acara Silatnas DPP Apdesi di Istora Senayan, Jakarta. Foto: Alinea.id/Twitter @jokowi.
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan dalam acara Silatnas DPP Apdesi di Istora Senayan, Jakarta. Foto: Alinea.id/Twitter @jokowi.
Politik
Rabu, 15 Juni 2022 11:11

Hendardi kritik Jokowi: Sibuk politik praktis, visi bernegara jauh dari harapan

Kesibukan Jokowi menjalani profesi sebagai politikus mengakibatkan agenda pemerintahan juga diabaikan para menteri.
swipe

Ketua Setara Insititute Hendarti menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sibuk berpolitik praktis, sementara pencapaian visi-misi bernegara semakin jauh dari harapan. Hal ini berkaitan dengan kehadiran Jokowi di sejumlah acara yang berhubungan dengan perhelatan Pilpres 2024, termasuk membiarkan Menteri BUMN Erick Thohir mempromosikan diri sebagai calon presiden (capres) di 2024.

Hendardi menjelaskan, setelah orkestrasi kampanye tiga periode untuk jabatan presiden gagal atau tertunda menjadi agenda politik nasional, proses dan tahapan Pemilu 2024 pun segera dimulai. Menurutnya, aktor-aktor politik telah dan akan terus berakrobat untuk memikat rakyat pemilih hingga hari pencoblosan tiba. 

"Bukan hanya elite politik di luar pemerintahan, para menteri kabinet Jokowi juga memainkan peran politik sama. Dalam waktu lebih kurang dua tahun ke depan, rakyat akan disuguhi sirkus politik yang nyaris tidak menyentuh kepentingan utama warga negara," kata Hendardi dalam keterangannya, Rabu (15/6).

Hendardi menegaskan, di tahun politik seperti ini, Jokowi sebagai pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat diuji integritasnya untuk tetap memimpin pencapaian misi bernegara. Misi itu sendiri terdiri dari melindungi hak-hak warga negara, memajukan kesejahteraan rakyat, dan mencerdaskan kehidupan warga melalui berbagai program pembangunan yang telah dicanangkan.

Kendati begitu, dia mengatakan, sangat memprihatinkan ketika Presiden Jokowi justru menjadi sentrum kegaduhan politik yang mengganggu pencapaian misi bernegara. 

"Setelah melalui tangan para pembantunya menjajakan gagasan tiga periode, Jokowi aktif menghadiri acara-acara kebulatan tekad dari berbagai kalangan, yang pada intinya meletakkan Jokowi sebagai praktisi politik yang tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Jokowi bahkan tampak menikmati keriuhan yang digelar Projo, HIPMI, bahkan di perayaan Hari Lahir Pancasila di NTT, dengan melempar berbagai term ‘ojo kesusu’, ‘ojo dumeh’ dan lain sebagainya," ucap Hendardi.

Hendardi berpendapat, obsesi Jokowi untuk menunjuk suksesor dirinya yang oleh sejumlah pihak diarahkan pada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo telah mengikis kewibawaan lembaga kepresidenan. Apalagi, terang dia, calon suksesor itu belum teruji kepemimpinannya dalam menyejahterakan rakyat. 

"Justru di tengah kontestasi semacam ini Presiden seharusnya menjadi solidarity maker, mengefektifkan kepemimpinan dan menjadi wasit yang adil," tuturnya.

Menurut Hendardi, kesibukan Jokowi menjalani profesi sebagai politikus mengakibatkan agenda-agenda pemerintahan juga diabaikan para menterinya. Sementara, kebijakan-kebijakan baru yang diatur dengan regulasi presiden, seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penanganan Kemiskinan Ekstrem, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2022 tentang Perubahan PP Nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan, justru semakin menggambarkan paradoks kepemimpinannya. 

"Program percepatan kemiskinan sulit dijalankan karena ego sektoral para menteri yang tidak bisa didisiplinkan Jokowi. Pendekatan penanganan kemiskinan juga sering berupa giat karitatif dalam bentuk bantuan-bantuan yang tidak akuntabel tanpa menyentuh aspek substantif akar kemiskinan, yakni ketidakadilan akses sumber daya, ketidakadilan akses atas tanah, ketidakadilan akses perbankan dan lain sebagainya," ujar Hendardi.

Sementara, tegas Hendardi, terkait PP 23/2022, Jokowi salah satunya melarang direksi BUMN mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif. Menurutnya, Presiden Jokowi tidak memahami bahwa membatasi hak asasi manusia itu harus berdasarkan undang-undang. Di sisi lain, justru Jokowi membiarkan para komisaris BUMN yang terus berpolitik. 

"Bahkan juga membiarkan Menteri BUMN (Erick Thohir) terus menerus mempromosikan dirinya sebagai calon presiden dengan berbagai instrumen milik negara. Sementara Jokowi tidak berbuat apa-apa atas aspirasi yang menentang politisasi pengisian penjabat kepala daerah, agar sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi," ucap Hendardi.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan