Vivere pericoloso demokrasi Indonesia
Kualitas demokrasi elektoral memburuk dengan tiba-tiba pada era Pemilu 2024. Cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berlebihan dalam proses kontestasi elektoral menjadi salah satu penyebab utamanya. Jika tidak disikapi serius, mimpi Indonesia emas pada 2045 tidak akan kesampaian. Indonesia bahkan bisa mengalami regresi menjadi negara otoriter.
Demikian benang merah diskusi publik bertajuk "Demokrasi di Ujung Tanduk" yang digelar di ruang seminar Gedung, Widya Graha, Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN) di Jalan Gatot Subroto, Rabu (7/2). Hadir sebagai pembicara sejarawan Asvi Warman Adam, dan tiga pakar ilmu politik dari BRIN, yakni Dewi Fortuna Anwar, Siti Zuhro, dan Firman Noor.
Siti Zuhro mengatakan indikasi memburuknya kualitas demokrasi elektoral tergambar jelas dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Kedua lembaga itu ia anggap "masuk angin" lantaran lebih sering tunduk kepada tekanan penguasa dan partai politik ketimbang mematuhi aturan terkait kepemiluan.
"Kalau penyelenggaranya sudah tidak dipercaya, tentu menimbulkan ketidakpercayaan dari seantero Indonesia. Tidak ada penalti (kepada penyelenggara), selain peringatan keras. Peringatan keras kok tidak ada penaltinya? Ini hukum betul betul ditekuk," kata Wiwi, sapaan akrab Siti Zuhro.
Belum lama ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU dan komisioner lainnya. KPU dianggap melanggar etika lantaran menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto sebelum merevisi PKPU terkait pencalonan.
Gibran mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi syarat usia bagi capres dan cawapres. Yang berusia di bawah 40 tahun kini boleh mencalonkan diri asalkan pernah menjabat sebagai kepada daerah. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran.
Berkaca pada situasi saat ini, Wiwi pesimistis konsolidasi demokrasi Indonesia menuju demokrasi yang matang bakal berjalan lancar. Ia memprediksi bakal terjadi krisis legitimasi jika pasangan Prabowo-Gibran sukses memenangi pilpres di tengah polemik pelanggaran etika dan kuatnya indikasi keberpihakan penguasa terhadap pasangan nomor urut 2 itu.
"Tahun 2045, katanya, kita menuju Indonesia emas. Tapi, kalau kita semua tidak menggawangi, akan menjadi Indonesia perunggu. Saya diwawancarai, 'Kalau yang menang (pasangan nomor urut) 2, itu seperti apa legitimasinya?' Saya bingung. Langsung disimpulkan seperti itu. Inilah tahun vivere pericoloso (hidup penuh bahaya) bagi demokrasi kita," kata Wiwi.
Mengutip kajian ilmiah ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Jeffrey Winters soal oligarki Indonesia, Firman Noor mengatakan kemunduran demokrasi "dicicil" sejak lama. Menurut dia, demokrasi memburuk seiring menguatnya oligarki di lingkaran Istana sejak 9 tahun lalu atau saat Jokowi mulai berkuasa.
"Winters sudah memperingati kita mengenai potensi oligarki dan dia betul. Tetapi, semua itu seolah tidak digubris oleh penguasa dan para loyalisnya (Jokowi) yang sebagian juga kalangan akademisi itu sekarang kena prank. Hampir satu dekade ini, kegelisahan kalangan akademisi itu tidak digubris dengan saksama," kata Firman.
Menurut Firman, demokrasi Indonesia jauh dari matang. Ia menyebut ada banyak kelemahan dalam demokrasi Indonesia, semisal faktor budaya yang tidak terpelihara dengan baik, faktor institusional atau terkait keberadaan lembaga demokrasi yang tidak dirawat, dan persoalan-persoalan terkait demokrasi prosedural aturan main.
"Itu semua sebetulnya akan baik-baik saja dan berjalan dengan mantap di konteks Indonesia kalau ditopang oleh faktor kepemimpinan nasional yang baik. Sayangnya, kita tidak memiliki itu. Dalam konteks indonesia, the prime factor-nya atau kelemahan yang paling utama ialah faktor kepemimpinan nasional," kata dia.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyikapi situasi demokrasi elektoral saat ini secara lebih personal. Ia bercerita sedang menggarap sebuah buku mengenai warisan positif era pemerintahan Jokowi sebelum skandal MK terkuak ke publik. Dalam draf buku itu, Asvi mengklaim hendak memuji pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, impian Bung Karno yang mampu direalisasikan Jokowi.
"Mungkin kesimpulannya akan berbeda dengan apa yang saya rencanakan sebelumnya, bahwa kini ada seorang presiden yang mau melakukan apa saja itu untuk mendukung anaknya (Gibran). Itu yang saya tolak. Saya menolak keberpihakan presiden kepada salah satu seorang calon," kata Asvi.
Menurut Asvi, keberpihakan Jokowi terhadap Prabowo-Gibran sulit untuk dibantah. Ia mencontohkan viralnya adegan makan bakso antara Jokowi dan Prabowo di Magelang, Jawa Tengah, serta polemik simbol dua jari yang ditunjukkan Iriana Jokowi saat menumpang mobil kepresidenan saat kunjungan kenegaraan di Salatiga.
Keberpihakan Jokowi, lanjut Asvi, tidak etis lantaran sang presiden juga mempolitisasi bansos demi mengarahkan dukungan publik kepada Prabowo-Gibran. Jokowi bisa melakukan itu lantaran punya tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi, yakni di kisaran 70-80%.
"Ini yang, menurut saya, sudah mencapai urusan individu dan saya menolak. Kita harus memilih berdasarkan berdasarkan rekam kerja dan rekam kesehatan dari ketiga calon itu. Tetapi, tidak berdasarkan atau merujuk dari seorang yang populer seperti Jokowi. Saya menolak calon yang disodorkan dengan cara seperti ini," kata dia.
Tergelincir
Dewi Fortuna menganalisis situasi Indonesia dari tren kemunduran demokratisasi di berbagai negara di dunia. Menurut Dewi, Indonesia bisa tergelincir mundur kembali menjadi negara otoriter jika proses demokratisasi tidak berjalan dengan baik.
Di lingkup Asia Tenggara, Dewi mencontohkan kegagalan total konsolidasi di Myanmar. Saat ini, Myanmar kembali dikuasai junta militer setelah sebelumnya "membolehkan" tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi berkuasa selama periode 2016-2021.
Situasi serupa juga dialami Thailand. "Thailand yang dulu jauh lebih maju daripada Indonesia. Mereka punya konstitusi yang terbuka dan sebagainya... Tetapi, militer masuk lagi dan kita lihat Thailand yang tadinya sudah menjadi fully democracy sekarang ini turun menjadi hybrid," kata Dewi.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi, Indonesia setipe dengan Filipina. Kedua negara gagal mematangkan demokrasi lantaran terdapat banyak aspek dalam demokrasi yang mengalami kemunduran. Salah satunya ialah soal kebebasan berpendapat.
"Ketiga, yang established democracy. Di Amerika Serikat dengan terpilihnya (Donald) Trump dan di beberapa negara Eropa. Di Eropa, orang-orang yang sangat sayap kanan dan rasis itu menang secara elektoralnya. Padahal, mereka antidemokrasi. Itu yang kita lihat saat ini. Sistem demokrasi saat ini sangat tidak menyenangkan," kata dia.