Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mengklaim tidak takut untuk membuktikan adanya calon menteri yang dimintai uang Rp500 miliar oleh sebuah partai politik (parpol).
Hanya saja, kata Humphrey, letak persoalan bukanlah soal membuktikan pernyataannya benar atau tidak. Akan tetapi, hal ini justru momen bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turun tangan menyelidiki informasi yang disampaikannya itu.
"Ini merupakan percikan sebenarnya bagi berbagai pihak, termasuk juga Istana. Termasuk juga Pak Jokowi, tentu dia harus meneliti sekarang," kata Humphrey di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (29/11).
Humphrey mengklaim permintaan mahar Rp500 miliar untuk jadi menteri Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma'ruf Amin bukan omong kosong atau sekadar mencari sensasi belaka. Hanya saja, dia tidak dapat memastikan apakah hal tersebut sudah terjadi atau belum.
"Kemungkinan itu sudah terjadi, Wallahualam. Tapi yang saya nyatakan itu memang benar karena orang itu yang bicara langsung kepada saya," katanya.
Lebih dari itu, Humphrey mengatakan, tujuan ia menyampaikan hal tersebut sebenarnya atas dorongan untuk memperbaiki demokrasi di Tanah Air. Menurut dia, politik transaksional sudah menjadi momok, bahkan hingga masuk ke Istana.
"Saya berkali-kali jelaskan, tujuan saya mengutarakan itu adalah untuk mengubah pandangan ini. Bahwa terjadi juga praktik, katakanlah transaksional itu sampai di Istana atau sudah dicoba untuk ke Istana," kata dia.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya telah membantah pernyataan Humphrey. "Enggak mungkin. Untuk apa kasih uang Rp500 miliar hanya sekadar jadi menteri. Kan ini secara logika juga tidak masuk akal," kata Pramono di Istana Kepresidenan awal pekan ini.
Pramono juga menilai pernyataan Humphrey tersebut tidak logis. Dia menegaskan, rekrutmen calon menteri dilakukan secara teliti dan hati-hati oleh Presiden Jokowi. Setiap calon yang diusulkan partai juga belum tentu diterima.
Pramono juga menegaskan jika ada transaksi yang jumlahnya mencapai Rp500 miliar, maka itu bisa dideteksi dengan mudah oleh aparat penegak hukum.