Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meluncurkan hasil analisis big data tentang kinerja pemerintah bidang ekonomi politik. Hasil analisis tersebut menunjukkan sejumlah pertentangan di tengah masyarakat yang ditimbulkan oleh kebijakan tidak populer Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom Senior Indef, Didik J. Rachbini menjelaskan, dari 1,22 juta percakapan terkait Jokowi di sosial media yang dihimpun Indef, sebanyak 49,9% menunjukkan sentimen negatif.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil Jokowi dianggap tidak populer dan bertentangan dengan kepentingan publik, dan bahkan memicu konflik di tengah masyarakat.
"Presiden berarti menjadi sumber pertentangan di media sosial dan di lapangan, seperti amandemen UU KPK kan pertentangannya keras," katanya dalam video conference, Minggu (15/11).
Dia menjelaskan, tak hanya UU KPK yang menimbulkan sentimen negatif di dunia maya, namun juga kebijak seperti akselerasi Undang Undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker), dinasti politik di pilkada 2020, dan juga utang luar negeri yang membengkak hingga Rp1.530 triliun.
Didik mengungkapkan, berdasarkan ilmu politik, tidak ada pemimpin yang berani mengambil kebijakan non-populis ketika tingkat popularitasnya berada di bawah 70%-80%, sedangkan Jokowi, berdasarkan riset itu, hanya memiliki tingkat popularitas 50,1%.
"Hampir tidak pernah ada pimpinan yang ambil kebijakan kontroversi dengan sentimen negatif tinggi dan indikasi popularitas yang rendah, di bawah 80-70%. Kalau itu diteruskan gawat," ujarnya.
Kegawatan itu, dijelaskan Didik, dengan memberikan gambaran efek yang dapat ditimbulkan di tengah masyarakat jika Jokowi terus mengeluarkan kebijakan yang tidak populer.
Dia mengatakan, pertentangan di tengah masyarakat akan semakin meluas, publik terbelah, bahkan dapat memicu konflik sosial. Kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum kemudian juga melemah.
"Itu memaksakan kita sebagai negara terbelah, seolah-olah dia itu populer. Pertentangannya itu diciptakan sendiri dari kantor presiden. Kalau presidennya smart dia di tengah pertentangan dia akan melakukan sosialisasi sekuat tenaga," ucapnya.
Namun, sambungnya, alih-alih meredam sentimen negatif dan menghindari pertentangan di tengah masyarakat Jokowi malah terus memicu sentimen negatif dengan pola komunikasi yang buruk.
"Dia tidak menjadi presiden rakyat dia hanya menjadi presiden pendukungnya. Ini enggak boleh main-main data ini menunjukkan sentimen negatif ke presiden itu sangat besar," tuturnya.
Pada akhirnya, menurut Didik, jika Jokowi dan jajarannya terus mengeluarkan kebijakan yang tidak populer dan memicu sentimen negatif di tengah masyarakat, pemerintahannya hanya akan sibuk mengurus konflik yang diciptakannya sendiri.
"Jadi tidak ngurusin kebijakannya, ngurusin konfliknya. Pemerintah itu sekarang ngurusin konflik, ngurus komunikasi yang tidak baik. Pemerintahlah pencipta konflik kontroversial saat ini," tegasnya.