Presiden Institut Otonomi Daerah, Prof. Djohermansyah Djohan, menyebut pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi untuk penguatan demokrasi.
“Pilkada dilakukan untuk penguatan demokrasi, terpilihnya pemda yang kompeten dan berintegritas, meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi rakyat, serta terwujudnya Pemda yang efektif dan efisien. Sebetulnya hal itu yang kita cita-citakan saat melakukan pilkada,” jelasnya pada acara Diskusi Media: Refleksi Otonomi Daerah 2020, Rabu (23/12).
Meski demikian, lanjut Prof. Djo, ada beberapa masalah yang sering terjadi sejak dilakukannya pilkada langsung pada 2005, seperti mahalnya biaya politik, pecah kongsi kepala daerah dan wakil kepala daerah, politisi birokrasi, politik dinasti atau kekerabatan, berkembangnya isu calon tunggal, dana pilkada yang menguras APBD, dan berlangsungnya Pilkada 2020 di tengah pandemi.
“Mahalnya biaya kandidat bisa disebabkan oleh mahar politik yang akan diberikan kandidat kepada seluruh kepengurusan yang mempunyai otoritas, untuk membayar saksi TPS, membiayai tim sukses, membiayai kampanye, bahkan untuk membeli suara pemilih dan membiayai perkara perselisihan di MK,” tuturnya.
Prof. Djo berkata, kandidat calon peserta pilkada bisa mendapatkan dana dari berbagai sumber, yaitu kantong pribadi pasangan calon, investor politik dari sebuah perusahaan, fund raising atau penggalangan dana, dan sponsor partai politik.
“Dari berbagai macam kajian, investor politik banyak menanggung biaya pilkada pasangan calon. Misalnya, kandidat butuh Rp100 miliar, Rp82 miliar akan dibiayai oleh investor, lalu Rp18 miliar akan berasal dari kantong pribadi kandidat,” ujarnya.
Kemudian, dia juga menyoroti politik dinasti atau politik kekerabatan yang tumbuh subur hingga dua kali lipat sejak 2014. Pada Pilkada 2014, ada 60 kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai hubungan kerabat. Sementara pada Pilkada 2020, ada 124 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai hubungan kerabat.
“Dalam Pilkada 2020, misalnya ada anaknya Pak Jokowi, Gibran yang mencalonkan Wali Kota Solo dan terpilih. Kemudian, menantu Presiden, Bobby yang mencalonkan Wali Kota Medan dan terpilih juga. Selain itu, anak Pak Ma’ruf Amin, Wali Kota Tangsel, tetapi tidak terpilih,” katanya.
Pun fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah, dia mencatat terus meningkat tiap tahunnya. Pada Pilkada 2015 terdapat tiga pasangan calon tunggal, Pilkada 2017 terdapat sembilan pasangan, Pilkada 2018 terdapat 16 pasangan, dan Pilkada 2020 terdapat 25 pasangan calon tunggal.
“Hal ini tentu saja memprihatinkan, pesta demokrasi tetapi tidak ada calonnya,” ucapnya.
Prof. Djo menambahkan, anggaran penyelenggaraan Pilkada terus mengalami kenaikan. Pada 2015, anggaran yang dihabiskan senilai Rp7,09 triliun, pada 2017 membutuhkan anggaran Rp5,96 triliun, pada 2018 menghabiskan anggaran Rp15,16 triliun, dan Pilkada 2020 menggunakan anggaran sebesar Rp20,46 triliun.
“Semoga ada evaluasi dalam pilkada ke depannya dengan memperbaiki proses penyelenggaraan atau electoral process dan sistem pemillihan sehingga terwu,jud pilkada yang adil dan demokratis,” katanya.