Ironi kebut legislasi di tengah pandemi
Ruang rapat paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, jauh lebih lengang ketimbang biasanya, Kamis (2/4) siang itu. Mayoritas kursi mewah anggota dewan tak terisi. Sesuai protokol physical distancing yang dikeluarkan pemerintah, anggota DPR yang hadir duduk berjauhan.
Di tengah hujan kritik, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang didampingi Wakil Ketua Rachmad Gobel memimpin rapat paripurna. Mengutip laporan Sekretariat Jenderal DPR, Azis menyebut rapat dihadiri 31 anggota DPR secara fisik dan 278 anggota DPR secara virtual.
"Maka, izinkan kami dari meja pimpinan menyatakan kuorum telah tercapai," ujar Azis sembari mengetuk palu tanda disahkannya rapat paripurna siang itu.
Dalam surat Setjen DPR bernomor PW/04718/DPR RI/IV/2020, ada tujuh agenda pembahasan rapat hari itu. Agenda utama ialah membahas rancangan undang-undang (RUU) bawaan dari masa sidang sebelumnya alias carry over.
Selain itu, DPR juga membahas revisi Peraturan DPR RI Tentang Tata Tertib. Revisi dilakukan supaya anggota DPR tidak perlu bertatap muka dalam pembahasan RUU. Tanpa banyak argumen, revisi itu dibahas dan disahkan di rapat.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan, itu bukan kali pertama DPR menggelar rapat secara virtual. Sebelum revisi tatib disahkan, rapat paripurna dan sejumlah rapat komisi pun pernah digelar secara virtual seizin pimpinan DPR.
"Kalau sekarang, dalam kondisi tertentu maka rapat bisa dilakukan secara virtual. Apa kondisi tertentu? Yakni, keadaan darurat, kegentingan yang memaksa, keadaan bahaya atau pun bencana yang ada saat ini," kata Awiek, sapaan akrab Baidowi, kepada Alinea.id di Jakarta, Minggu (5/4).
Awiek mengatakan, pandemi Covid-19 tak menjadi halangan bagi DPR untuk tetap bekerja profesional. Menurut dia, tiga fungsi DPR tetap bisa dijalankan oleh para politikus Senayan, baik secara fisik maupun virtual.
"Semua tugas-tugas DPR, baik itu legislasi, anggaran maupun pengawasan, semua bisa dilakukan secara fisik atau virtual. Kehadiran secara fisik harus memenuhi protokol kesehatan dunia," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Menurut Awiek, sudah ada sejumlah keputusan penting yang disepakati anggota DPR dalam rapat-rapat virtual dengan mitra kerja mereka di pemerintahan. "Kayak penghapusan ujian nasional itu kan virtual. Penundaan pilkada juga diputuskan dalam rapat virtual," jelasnya.
Lebih jauh, Awiek mengatakan, anggota DPR justru kian rajin ikut rapat dengan mekanisme baru itu. Hampir setiap rapat virtual mencapai kuorum. "Kayak kemarin di Komisi VI, 30 orang yang hadir dari 54. Kan sudah lebih dari separuh itu. Cuma, ini ada batasannya, yakni dalam kondisi tertentu. Nanti kalau sudah normal, kembali rapat secara fisik," kata dia.
Mayoritas rapat virtual dilakukan menggunakan aplikasi Zoom. Menurut Awiek, selain gangguan sinyal, tak ada kendala berarti yang dialami anggota DPR saat rapat virtual.
"Ya, tersendat sedikit. Tapi, tidak substansial itu. Paling yang tersendat kan gambar, tapi suara kan tetap terdengar. Kan esensinya kan suara. Gambar menyatakan bahwa benar si A yang ngomong," kata Awiek.
DPR dinilai salah fokus
Kinerja DPR hingga kini masih terus jadi sorotan. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2019, DPR merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan terendah. Sebanyak 61% responden menyebut tak percaya pada DPR.
Rendahnya kepercayaan terhadap DPR dan parpol tak lepas dari kinerjanya yang kurang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, jeblok dari sisi kuantitas dan kualitas legislasi. Itu setidaknya terlihat dari rutinnya produk legislasi digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Kedua, maraknya anggota DPR yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran terjerat kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 254 anggota dewan menjadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019. Dari angka tersebut, 22 orang di antaranya anggota DPR.
Namun demikian, peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesi (Formappi) Lucius Karus--yang biasanya pedas mengkritik capaian legislasi DPR--meminta DPR fokus mengawasi penanganan Covid-19 terlebih dulu. Menurut dia, capaian legislasi bisa dikesampingkan sementara hingga pandemi berlalu.
"Peran mereka sangat krusial dalam memastikan penanganan pandemi Corona ini bisa segera berakhir. Tentu saja keterlibatan mereka bersama dengan pemerintah dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang relevan agar penanganan Corona bisa dilakukan secara cepat," kata Lucius kepada Alinea.id, Senin (6/4).
Tahun ini, sebanyak 50 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sejumlah RUU kontroversial juga berencana dibahas dan disahkan anggota DPR, di antaranya revisi Kitab Undang-Undang Pidana, RUU Permasyarakatan dan Omnibus Law Cipta Kerja.
Dari segi prioritas, Lucius mengatakan bukan waktu yang tepat jika DPR ngotot mengebut kinerja di bidang legislasi. Apalagi, RUU yang rencananya dibahas tak secara langsung berhubungan dengan situasi darurat saat ini.
"Yang paling penting dan mendesak bagi DPR sekarang bukan soal apa yang sudah sejak awal mereka rencanakan, tetapi apa yang bisa disumbangkan oleh parlemen melalui dukungan kebijakan tertentu yang bisa membuat bangsa kita optimistis sekalipun sedang dilanda pandemi," kata dia.
Tak hanya menuntut DPR untuk fokus pada penanganan pandemi, Lucius juga berharap kalangan anggota DPR memperlihatkan empati dengan mengurangi kegaduhan di ruang publik karena perdebatan-perdebatan yang muncul dari proses politik.
Agar kinerja legislasi tak anjlok parah, Lucius menyarankan supaya DPR memanfaatkan rapat-rapat virtual untuk memperbaiki naskah akademik dan draf RUU. Terlebih, pemerintah pun bakal tidak akan maksimal membahas RUU jika perhatiannya terbelah untuk menangani pandemi.
"Pembahasan RUU tetap harus menunggu situasi kembali pulih. Karena proses pembahasan harusnya membuka partisipasi yang luas bagi publik untuk turut serta dalam memberikan masukan terhadap substansi RUU," kata dia.
Awasi penanganan pandemi
Analis politik Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno sepakat agar DPR fokus mengawasi penanganan pandemi. Menurut dia, DPR harus ikut berkontribusi mendukung upaya-upaya pemerintah menghentikan penyebaran Covid-19.
"Kalau bagi kita, kemanusiaan di atas segala-galanya melampaui politik. Di tengah wabah Corona seperti ini, saya kira DPR harus menjadi garda terdepan selain Presiden untuk bahu-membahu (menghentikan) wabah Corona ini. DPR kan pejabat publik," kata Adi kepada Alinea.id, Jakarta, belum lama ini.
Lebih jauh, Adi mempertanyakan getolnya DPR menggelar rapat di tengah pandemi. Apalagi, rapat-rapat itu hampir selalu kuorum. Padahal, kalangan anggota DPR dikenal kerap absen dalam rapat-rapat penting di gedung parlemen.
"Biasanya kan DPR sebelumnya enggak rajin-rajin amat gitu lho. DPR ini kan, dari periode ke peridode, proses legislasinya paling banyak disorot. Tidak sesuai dengan harapan. Ini periode sekarang, di tengah wabah, rajin banget rapat," ujar Adi.
Menurut Adi, sejak wabah Covid-19 merebak, sikap DPR secara institusional belum terlihat. Terkecuali fraksi-fraksi atau pun anggota perorangan, DPR terkesan menyerahkan sepenuhnya penaganan Covid-19 kepada pemerintah.
Padahal, dalam hierarki pemerintahan, DPR memiliki tanggung jawab yang sama dengan Presiden. Meskipun kinerja legislasi bakal sedikit jeblok, Adi meyakini, sekecil apa pun kontribusi DPR dalam penanganan Covid-19 bakal mendapat pujian dari publik.
"Kalau semua fraksi setuju menyatakan bahwa DPR, selama beberapa bulan ke depan, rapat hanya khusus membahas Corona itu baru mantul (mantap betul). Jadi, DPR untuk rapat, ya, rapat khusus tentang Corona. Ekonomi bisa dibangun, hukum bisa dibangun, tapi nyawa enggak bisa dikembalikan," tutur dia.
Usul serupa datang dari peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Charles Simabura. Menurut dia, DPR bisa menonaktifkan sementara fungsi legislasi di hingga pandemi Covid-19 berlalu.
"Dalam kondisi saat ini, fungsi legislasi DPR dinonaktifkan sementara. Kita saja yang salat Jumat disuruh nonaktif dulu. Padahal, ini urusannya dunia (dan) akhirat," kata Charles di Jakarta, Minggu (5/4).
Untuk sementara, menurut Charles, fokus DPR bisa dialihkan untuk sejumlah hal krusial. Pertama, mengawasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Kedua, mengawasi pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang bakal diterapkan pemerintah untuk meredam penyebaran Covid-19. "Awasi juga proses keluar masuk barang, termasuk awasi anggaran (penanganan Covid-19) yang hampir Rp400 triliun," kata dia.