Istri petahana di Pilkada 2020: Menang karena kapasitas atau sekadar 'boneka' suami?
Ipuk Fiestiandani mulai tidak sabar menunggu hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Banyuwangi. Meski sudah unggul, istri dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas itu mengaku masih menahan diri untuk merayakan kemenangan di Pilbub Banyuwangi.
"Kami memilih menunggu hasil rekapitulasi dari KPU meski kami sudah memiliki gambaran positif tentang hasil penghitungan suara di Pilkada Banyuwangi," ujar Ipuk saat dihubungi Alinea.id, Rabu (16/12).
Ipuk maju berpasangan dengan Sugirah di Pilbup Banyuwangi. Bertarung melawan pasangan Yusuf Widyatmoko-Muhammad Riza (Yusuf-Riza), Ipuk-Sugirah tinggal selangkah lagi dinobatkan jadi penguasa di Bumi Blambangan, julukan Banyuwangi.
Berdasarkan data Sirekap di situs KPU per 16 Desember 2020, Ipuk-Sugirah mengantongi 50,8% suara. Di lain kubu, pasangan Yusuf-Riza baru meraup 49,2%.
Namun, Sirekap KPU hari ini memastikan pasangan Ipuk-Sugirah memenangi kotestasi elektoral dengan raupan 438.847 suara atau 52,4% dari total suara yang masuk. Pasangan Yusuf-Riza hanya mendapatkan 398.113 suara atau sekitar 47,5%.
Di Pilkada 2020, Ipuk-Sugirah diusung PDI-Perjuangan, Gerindra, Golkar, NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Demokrat. Dengan kemenangan ini, Ipuk bakal meneruskan kepemimpinan Anas di Banyuwangi. Sang suami sudah dua periode jadi bupati.
Ipuk mengaku bukan perkara mudah maju jadi calon kepala daerah dengan status sebagai istri petahana. Ia kerap dicibir hanya mendompleng pamor sang suami. Apalagi, ia juga tak punya rekam jejak di birokrasi dan minim pengalaman di dunia politik.
"Akan tetapi, sebagian orang mendukung kami karena mereka tahu kapasitas kami. Saya sudah sepuluh tahun menjadi Ketua PKK dan banyak turun ke desa-desa. Pastinya akan saya jawab dengan kinerja saja nanti bilamana saya memimpin Banyuwangi," ujar Ipuk.
Ipuk berjanji bakal membuktikan kapabilitasnya sebagai penguasa nanti. Serangkaian program pemulihan ekonomi di sektor pertanian, perikanan, pariwisata, dan UMKM telah ia susun.
"Sebab sektor-sektor tersebut yang efeknya bisa langsung dirasakan rakyat. Karena bila mengandalkan industri, banyak industri yang tutup akibat pandemi dan banyak yang mengurangi lapangan kerja," ucap Ipuk.
Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam menilai wajar bila Ipuk dituding mendompleng pamor sang suami untuk bisa berkuasa di Banyuwangi. Ia memandang Ipuk memang sengaja didorong untuk melanjutkan pemerintahan Anas.
"Artinya kepentingan pribadi yang dikemas dalam sebuah konteks dinasti. Saya kira ini akhirnya menjadi sebuah kepentingan, untuk bisa bermain proyek dan bisa mengatur hal-hal yang sifatnya strategis," ucapnya kepada Alinea.id, Senin (14/12).
Kemenangan pasangan Ipuk-Sugirah, lanjut Arman, tak terlepas dari kuatnya sikap permisif pemilih Banyuwangi. Publik Banyuwangi cenderung menilai calon pemimpin dari sisi popularitas ketimbang kapasitas dan kapabilitas.
"Pemilih itu belum masuk ke tataran rasionalitas terkait dengan program, kemampuan dan kapasitas. Siapa yang memiliki faktor (popularitas) itu? Bisa istri petahana, keluarga, kemudian Ketua DPRD. Pokoknya sekitar itu saja," ucap Arman.
Sepanjang berkuasa, Anas terbilang minim kasus. Pada 2012, ia pernah dilaporkan sejumlah LMS lokal ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat korupsi dalam proyek pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) dan sebuah SMA di Banyuwangi. Kasus-kasus itu tidak jelas kelanjutannya.
Meski begitu, Arman mengatakan, anggapan bahwa politik dinasti dibangun untuk menutupi borok keluarga atau kerabat sulit untuk dihapus dari persepsi publik. Aroma kepentingan politik dalam estafet kekuasaan antara kerabat juga muskil dinafikan.
"Jadi, bisa saja untuk menutupi berbagai borok atau kesalahan yang memang telah terjadi, bisa saja dia hanya jadi boneka. Semisal elemen dinasti ini tidak mampu menjalankan pemerintahan, ya, pasti
jadi boneka saja pada akhirnya," ujarnya.
Arman mengatakan, dinasti politik sebenarnya bisa dirobohkan jika parpol membenahi pola seleksi calon kepala daerah. "Kalau dibatasi lagi dengan poin-poin aturan kapasitas dan kapabilitas yang ketat, saya kira, secara natural mereka (calon-calon dari dinasti politik) akan tereleminasi," ucapnya.
Ditanya soal tudingan bahwa ia sekadar diplot sebagai tameng untuk sang suami, Ipuk tegas membantah. Menurut Ipuk, Anas tak punya perkara-perkara yang mencoreng kinerjanya sebagai Bupati Banyuwangi selama dua periode.
"Kami bukan tidak memahami soal apa yang diduga orang-orang yang menuduh kami menutupi perkara-perkara itu. Tapi, apa yang mau ditutupi? Saya juga tidak merasa menutupi apa pun. Masalah dinasti bagi kami ini sudah clear. Kami berjuang untuk menarik masyarakat supaya memilih kami," tegas dia.
Parpol janji tidak lepas tangan
Total ada 29 istri petahana yang bertarung di Pilkada Serentak 2020. Berbasis data Sirekap KPU, setidaknya ada lima istri petahana berstatus sebagai calon kepala daerah yang dipastikan keluar jadi pemenang.
Selain Ipuk, ada nama Kustini Sri Purnomo, Eva Dwiyana, dan Etik Suryani. Kustini ialah istri Bupati Sleman Sri Purnomo, sedangkan Eva merupakan istri Wali Kota Bandar Lampung Herman HN. Adapun Etik ialah istri Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya.
Selain itu, ada pula nama Sri Mulyani. Sri Mulyani ialah istri mantan Bupati Klaten pada periode 2005-2015 Sunarna. Bedanya dengan yang lain, Sri Mulyani sudah empat tahun memimpin Klaten.
Pada 2016, Sri Mulyani dilantik menjadi Bupati Klaten setelah Sri Hartini diberhentikan dari jabatannya sebagai bupati karena terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, Sri Mulyani menjabat sebagai wakil Sri Hartini.
Pada pilkada kali ini, kelimanya merupakan calon-calon yang diusung PDI-P.
Kepada Alinea.id, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo menegaskan kemenangan mereka bukan hanya sekadar karena pamor sang suami. PDI-P, kata dia, sudah menggelar uji kepatutan dan kepantasan sebelum mengeluarkan rekomendasi untuk Ipuk cs.
"Silakan diragukan. Tapi, mereka jelas punya pengalaman. Selama suaminya menjadi petahana, dia (para istri) terlibat dalam kegiatan-kegiatan bersama petahana. Jadi, ada transfer informasi pengetahuan soal tata kelola pemerintahan daerah," jelas Arif.
Selain pengalaman mendampingi suami, Arif mengatakan, para istri petahana yang diusung PDI-P telah melewati serangkaian pendidikan politik yang dirancang partai. Karena itu, ia tak khawatir Ipuk cs bakal kebingungan saat memimpin daerah mereka.
"Secara formil, sebelum mereka bertarung, sudah ada sekolah calon kepala daerah terkait dengan pemerintahan. Setelah mereka terpilih juga nanti ada sekolah lagi untuk mereka. Tujuannya supaya mereka mahir dalam menyusun program dan kebijakan," tutur Arif.
Soal kapabilitas para istri petahana, Arif mengatakan, itu baru akan teruji setelah mereka memimpin. Ia menegaskan, partai juga akan menggelar evaluasi berkala. "Jadi, tidak dibiarkan lepas begitu saja," imbuhnya.
Rawan korupsi dan malaadministrasi
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochamad Nurhasim mengatakan ada banyak faktor yang menyebabkan politik dinasti tumbuh subur di Indonesia. Salah satunya ialah sistem pemilu langsung yang sarat dengan politik transaksional.
"Model pilihan yang sifatnya langsung ini yang lebih mengutamakan elektabilitas ketimbang kapasitas," ujar Nurhasim saat dihubungi Alinea.id, Senin (14/12).
Faktor lainnya ialah gejala oligarki di pusat yang menyebar ke daerah. Dalam hal ini, elite-elite politik pusat menitipkan kerabat mereka untuk diusung maju jadi kepala daerah. "Sehingga yang diusulkan, ya, dari keluarga-keluarga mereka atau dinasti politik mereka," jelas dia.
Pada Pilkada 2020, gejala itu, misalnya, terlihat dari majunya keponakan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Saraswati Djojohadikusumo dan putri Wapres Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah di Piwalkot Tangsel serta diusungnya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Surakarta.
Dominasi politik dinasti, kata Nurhasim, juga mengindikasikan melemahnya kekuatan masyarakat sipil di daerah karena intervensi elite-elite politik lokal. Hal itu menyebabkan tokoh-tokoh independen sulit muncul menyaingi popularitas kerabat petahana.
"Mencari kelompok yang tidak terkontaminasi politik itu agak sulit sekarang. Partisipasi mereka (masyarakat sipil) kini menjadi partisipasi yang bersifat simbolik dan kontraktual," jelas dia.
Selain berimbas buruk bagi kualitas demokrasi lokal, Nurhasim sepakat estafet kekuasaan berbasis dinasti politik potensial bermasalah. Ekses negatifnya, semisal pembangunan di daerah berjalan lamban karena penguasa tak menguasai tata kelola pemerintahan serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Jabatan-jabatan strategis dikuasai kekuatan yang berputar di sekeliling oligarki yang sangat kuat di tingkat lokal, melalui istrinya, anaknya, serta keluarga lainnya. Biasanya, kalau sudah dikuasai dan mengerucut ke kelompok tertentu, rawan praktik korupsi," ucap dia.
Terkait maraknya istri petahana yang maju di pilkada, Nurhasim sepakat, keputusan mereka untuk maju tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik dan ekonomi sang suami. Tak tertutup kemungkinan sang istri digunakan sebagai tameng untuk menutupi "borok" sang suami saat berkuasa.
"Ini skenario melanggengkan sumber-sumber ekonomi, seperti proyek dan penguasaan hak-hak yang penting di masing-masing wilayah serta untuk mengamankan posisinya, baik secara hukum maupun secara kesalahan prosedur, di saat dia (sang suami) memimpin," ujarnya.
Supaya fenomena itu tak terus berulang di setiap pilkada, Nurhasim mengusulkan agar seleksi calon diperketat. Parpol, kata dia, bisa mengadopsi pemilihan pendahuluan atau konvensi yang lazim digelar jelang pemilu di Amerika Serikat dan sebagian negara di Eropa.
"Tidak masalah, misalnya, kerabat mencalonkan diri. Asalkan kandidasinya melibatkan banyak pihak dari unsur partai, baik itu kader ataupun konstituen partai. Jadi, tidak ditentukan ketua umum semata. Pemilihan pendahuluan itu bertujuan menyeleksi calon dengan melibatkan vote dari setiap anggota partai," ucapnya.