Sebanyak 17 provinsi akan menggelar Pemilihan Gubernur secara serentak pada pertengahan tahun ini. Sejak tahun lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memetakan kerawanan isu suku, agama, ras dan antargolongan. Bawaslu belum memiliki instrumen pengawasan yang terstandarisasi dan terukur sebagai pendeteksi dini politisasi isu SARA dalam pelaksanaan pemilu dan Pilkada.
Namun, berdasarkan laporan penelitian berjudul ‘Potensi Penggunaan SARA dalam Pilkada Serentak 2018’, disebutkan bahwa terdapat dua pandangan dalam melihat isu SARA ketika Pilkada. Kelompok pertama menyebut SARA sebagai sesuatu yang alamiah, panggung politik adalah tempat mempertaruhkan identitas atau refleksi pertarungan identitas.
Pendapat kedua, menyebut isu SARA sebagai by design dan dijadikan komoditas politik untuk memperoleh keuntungan. Adapun yang melatarabelakangi kemunculan isu SARA ialah adanya ketimpangan sosial-ekonomi, rekayasi elit politik untuk memperoleh keuntungan, pemahaman toleransi yang belum tuntas, kecerobohan individu dalam komunikasi dan media massa.
Merujuk pada pendapat kedua, kemudian diprediksi isu yang bakal muncul di tiap daerah.
Di Sumatera Utara (Sumut) misalnya, pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU), Iqbal Fauzan, menyebut aktor politik membagi masyarakat dalam kelompok putra daerah dan non-putra daerah. Identitas suku melekat dalam konteks tersebut. Adapun suku dominan di Sumut ialah Batak, Melayu, Karo, Nias dan Jawa. Sedangkan kajian dari Fitra pada 2016, banyak terpampang baliho yang menegaskan kecenderungan ini.
Terkait hal ini, juga pernah terjadi pada 2010 ketika Pilwalkot Medan. Petarungan antara pasangan Sofyan Tan-Nellu Armayanti melawan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin menggambarkan politik SARA lebih dominan ketimbang politik substantif.
Sementara di Jawa Barat (Jabar) politisasi isu SARA bakal terkait dengan kesukuan atau antargolongan. Merujuk pada Pilgub 2013, yang muncul adalah isu seputar komunisme. Meski demikian, psikologi sosial masyararakat di Jabar tak mudah diadu domba dan dipengaruhi isu negatif. Aktivis Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW), Euis Siti Julaeha menyebut sepanas apapun suhu politik, tak akan mengendap dalam akar sosial masyarakat.
Selanjutnya di Jawa Tengah, pembagian masyarakat oleh Clifford Geertz dalam kelompok abangan, santri dan priyayi menemukan bentuk nyata. Apalagi peninggalan kerajaan berbasis Islam, Hindu, dan Budha masih terasa kental di Jateng. Namun, sosiolog dari Universitas Diponegoro (Undip), M Yulianto menilai sikap ‘tetanggaan’ yang hidup di masyarakat, mengandung unsur laku welas asih, toleransi, dan hormat-menghormati, membuat isu SARA tak akan laku di Jateng.
Kemudian di Jawa Timur (Jatim), aktivis Fatayat NU, Aina Amalia mengkhawatirkan isu SARA yang menyerang perempuan. Kasus seperti ini pernah terjadi pada Pilkada Jatim sebelumnya, ada sejumlah aktor yang menarik konstituen perempan untuk kepentingan Pilkada. Hal ini berimbas pada konflik horisontal di tingkatan masssa perempuan.
Namun, kuatnya pengaruh NU, menjadi determinan bahwa isu SARA bakal susah terjadi di Jatim
Untuk Kalimantan Barat (Kalbar), isu identitas kesukuan bisa jadi bakal menonjol ketimbang agama. Di Kalbar, teradapat lima entis mayoritas yakni Dayak, Melayu, Jawa, Tionghoa, dan Madura. Lalu ada entis lain seperti Bugis, Sunda, Batakm dan Banjar. Berdasarkan pegalaman, isu SARA pernah dipakai saat Pilkada Kubu Raya. Salah satu tokoh adat, Frans Asok mengungkapkan sudah ada potensi elit politik akan bermain dan mengkondisikan agar Kalbar tidak aman.