Jalan sunyi Mbak Tutut Soeharto
Saat Titiek Soeharto dan Tommy Soeharto berjibaku mengembalikan trah cendana ke panggung politik, Tutut memilih menetapi jalan sunyi. Alih-alih bergabung dengan Golkar atau Berkarya—partai baru besutan si bungsu—perempuan kelahiran 23 Januari 1949 ini justru hijrah ke jagat maya, dan menulis keresahan di blog pribadinya, tututsoeharto.id.
Tak ada pesan untuk menggiring opini publik agar memilih adik-adiknya menduduki kursi pemerintahan. Ia justru asyik menjahit kenangan soal bapak, ibu, dan romansa yang berkelindan di keluarga mereka.
Dalam sebuah tulisan, ia mengisahkan hari-hari terakhir jelang lengsernya Soeharto dari RI-1, Mei 1998. Pagi-pagi sekali, kenangnya, Soeharto sudah berpakaian rapi dan resmi, lalu duduk di ruang keluarga di rumah Cendana. Hari itu, ia dijadwalkan menyampaikan pidato di Istana Merdeka, menjawab tuntutan demonstran pro-demokrasi yang menginginkannya mundur.
Tutut yang saat itu menjadi Menteri Sosial di kabinet Soeharto, bersikeras menemani sang ayah.
Bapak melihat saya berpakaian rapi bertanya pada saya, “Arep nang endi kowe (mau kemana kamu)?”
“Mau nderek (ikut) bapak ke istana,” saya menjawab lirih.
Bapak agak kaget, lalu beliau mengatakan, ”Kamu di rumah saja, ini acara resmi kenegaraan.”
“Tapi saya mau ikut bapak,” saya bersikeras memohon.
“Lihat di TV saja nanti, kan sama saja, lagi pula ini bukan acara keluarga,” bapak pun bersikeras.
Saya tetap pada pendirian saya, “Kali ini saya mau ikut bapak, saya mau menemani bapak.”
Tutut mengenang hari di mana Soeharto turun, sebagai momen paling sentimental di hidupnya. Menahan tangis, anak sulung Soeharto itu menemani bapaknya menyerahkan jabatan.
Di lain waktu, ia mengaku hatinya berbunga mengingat bagaimana sang ayah melancarkan rayuan pada ibunya, Siti Hartinah. Dalam curahan hatinya bertajuk “La Wis Kadung Ngelamar”, ia menceritakan betapa Soeharto sangat mengagumi istrinya, Bu Tien. Kendati Soeharto memang sempat kaget menyaksikan perbedaan warna kulit Bu Tien saat pertama dikenalkan, namun cintanya tak luntur.
"Kowe ngerti, Wuk, waktu bapak dikenalin ke ibu.. terus nglamar kae, ibu baru saja sembuh dari sakit kuning, kulitnya kuning, kurus, ketok menik menik, dadi bapakmu rodo kesengsem. Ternyata kok sekarang ibu agak hitam (karena aktif di Palang Merah). Bapakmu kecele .. (hi hi hi), ora menik menik, ning menuk-menuk saiki,” kata ibu sambil tertawa geli.
Percakapan dengan kedua orang tuanya, menit-menit jelang runtuhnya kekuasaan Soeharto, hanya sebagian kecil yang diceritakan Tutut di blog pribadinya. Hobi menulis blog yang ditekuni sejak Maret 2018 ini telah menghasilkan empat kisah sisi lain keluarganya. Ada “La Wis Kadung Nglamar”, “Bapak Kami Melarang Dendam”, “Kamu Harus Kuat”, dan “Ibuku Memang Jempol”.
Langgam tulisannya relatif renyah dan cenderung mudah dipahami. Tutut memang sengaja menyajikan tulisan itu dalam bentuk percakapan sehari-hari. Penggunaan Bahasa Jawa pun sengaja tidak ia ubah dalam sejumlah kisah-kisah penting Cendana. Meski begitu, panjang tulisannya terlampau singkat, mengingat ada banyak mozaik ingatan yang sebenarnya bisa ia uraikan lebih panjang.
Potret Soeharto, istri, dan Tutut./ dokumen pribadi Tutut
Selain berkisah tentang Soeharto, ia juga mengumpulkan sejumlah berita yang terkait dengan ia dan keluarganya. Di antaranya, bagaimana media menulis pernikahan anaknya, aktivitas sosialnya, termasuk keputusan keluarga menjadikan kediaman lawas di Yogyakarta sebagai museum.
Dalam laman cendananews disebutkan, hobi menulis dan mengumpulkan tulisan yang berkisah soal keluarganya memang sudah diniatkan Tutut. Ia mengaku sadar, di era banjir informasi saat ini, ada perubahan pola tingkah laku publik dalam mengakses informasi.
“Anak-anak sekarang lebih familiar dengan media sosial, makanya saya memilih membagi gagasan, pengetahuan, dan wawasan di sana,” tulisnya.
Ia menandaskan, tak tertarik dengan gelanggang politik yang riuh saat ini. Oleh karena itu, saat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengkritik Soeharto, sebagai Presiden RI yang punya jejak hitam pelanggar HAM, ia merespons sepi. Tim riset Alinea mencatat, jawaban Tutut terkait isu itu relatif singkat dan mengembalikan penilaian Soeharto pada publik langsung.
Keengganan larut dalam isu politik ini juga membuat Tutut justru sibuk menulis ratusan lagu. Hingga kini, Tutut telah menciptakan 120-an lagu. Sebagian di antaranya dikabarkan akan dirilis pada Januari 2019, melalui sebuah konser tunggal Mbak Tutut.
Ia juga pernah merilis lagu religi bertajuk “Ramadan”, hasil gubahan pada Mei 2015 lalu, dan belakangan dinyanyikan Dharmansyah.
Gantung sepatu?
Soeharto lengser, Mei 1998./ Dokumen pribadi Tutut
Kiprahnya menggubah lagu dan menjadi blogger, akunya, menjadi pernyataan sikap enggan terlibat lebih lanjut pada dunia politik. Tutut sendiri sudah akrab dengan bidang ini sejak era Orde Baru. Kala itu ia menjadi Menteri Sosial di kabinet yang dibesarkan sang ayah.
Seperti jamaknya saudara yang lain, Tutut juga menjajal dunia politik dengan aktif berkiprah di Golkar. Karier politik di partai beringin itu dikukuhkan lewat dukungannya secara terang-terangan pada Prabowo Subianto dalam pilpres 2014. Di partai yang didirikan ayahnya ini, Tutut menjabat sebagai wakil ketua umum di era Bakrie 2014-2019.
Berbelok dari Golkar yang tak memberinya ruang lebih, ia sempat beberapa kali kedapatan mengikuti rangkaian agenda kampanye Anies-Sandi, dalam Pilkada DKI. Sebelumnya pada 2004 ia digadang-gadang jadi calon presiden Partai Karya Peduli Bangsa yang didirikan oleh KSAD TNI Jenderal Hartono. Tutut juga disebut-sebut turut ambil bagian dari pendirian parpol Garuda, yang dipimpin Ahmad Ridha Sabana, Direktur TPI, yang notabene adalah perusahaan Tutut.
Hasrat Tutut kala itu berpartisipasi dalam panggung kekuasaan bukan tanpa alasan. Ia berharap oligarki tumbuh kembali dalam alam demokrasi di tanah air. Majalah TEMPO bahkan menulis, alasan Tutut dan keluarga Cendana lain bangkit adalah ingin mewujudkan Indonesia yang kembali pada UUD 1945 sebelum amandemen, di mana kekuasaan presiden berlaku seumur hidup.
Jadi, apakah hobi Tutut menulis blog dan menciptakan lagu, menjadi isyaratnya untuk gantung sepatu dari bidang politik. Lalu menyerahkan mandat ini pada adik-adiknya? Kita tunggu saja.