Jalan terjal caleg pesohor menembus Senayan
Sejak resmi didaftarkan jadi bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR RI, musikus Doadibadai Hollo langsung "turun gunung." Selama tiga bulan terakhir, mantan penggawa band Kerispatih hampir saban hari berkunjung ke tempat-tempat nongkrong di penjuru Depok dan Bekasi, Jawa Barat.
"Tiga hari seminggu saya mendatangi tempat-tempat seni dan komunitas musik untuk menyampaikan ide saya mengenai hak cipta dan kesejahteraan musisi," ucap Badai, sapaan akrab Doadibadai, saat berbincang dengan Alinea.id, belum lama ini.
Badai ditempatkan di dapil Jawa Barat VI yang meliputi Kota Depok dan Kota Bekasi. Ia mengantongi nomor urut 3 dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Di dapil itu, Badai bakal bersaing dengan sejumlah petahana, semisal Mahfudz Abdurrahman (PKS), Sukur H. Nababan (PDI-P), dan Intan F. Fauzi (PAN).
Berkompetisi di dapil yang tergolong neraka, Badai mengakui langkahnya untuk melenggang ke Senayan bakal sulit. Ia sadar tak mungkin hanya mengandalkan popularitas sebagai pesohor saja. "Saya harus berkeringat ke lapangan," ujar Badai.
Di kafe-kafe dan sejumlah ruang publik di kedua kota itu, Badai memamerkan talentanya sebagai musisi. Komunitas seniman dan para pelaku sektor industri musik indie merupakan basis pemilih yang ia sasar. Badai merasa isu mengenai kesejahteraan seniman paling memungkinkan ia dekati secara emosional dan profesional.
"Saat ini, isu ini bergulir dan banyak menyita perhatian teman-teman seniman dan generasi muda yang aktif di dunia seni. Kalau bicara sama ibu-ibu, saya bicaranya soal pendidikan dan kesehatan masyarakat dan bantuan sosial, termasuk juga penyelesaian tanah sengketa di Depok dan Bekasi. Isu itu termasuk grand design advokasi saya selama lima tahun ke depan," ucap Badai.
Selain manggung di kafe-kafe, Badai juga rutin berkampanye di ruang publik di Depok dan Bekasi saban tanggal 15. Angka itu merupakan nomor urut PSI di Pemilu 2024. Di jagat maya, ia juga mulai rutin tampil di YouTube dan podcast ternama untuk mempromosikan diri.
"Saya sekarang banyak bicara di YouTube dan podcast mengenai pemikiran saya soal hak cipta dan industri musik. Saya katakan saya ingin masuk Komisi X DPR karena komisi itu yang cocok dengan pemikiran saya sebagai komposer dan pencipta lagu," ucap Badai.
Meski kompetisinya bakal alot, Badai mengaku tak tergoda politik uang. Ia juga tak berencana "menyerbu" basis-basis suara milik caleg-caleg partai lain. Badai berharap basis-basis pemilih yang telah ia rintis dan gagasan-gagasan yang ia tawarkan bakal mampu mengantarkannya ke Gedung DPR RI.
"Jadi, saya juga enggak target sudah berapa ratus desa atau segala macam. Kalau kita sebar ke 1.000 titik, tapi yang pasti jadi cuma 200 titik, ya, ngapain? Kalau memang titik itu cuma 200 titik, ya, kita logis saja manfaatkan itu," ucap Badai.
Jika lolos ke Senayan, Badai mengaku sudah punya sejumlah gagasan dan program yang ingin ia garap, semisal menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, mendorong kenaikan tarif royalti bagi musikus, dan membangun sentra-sentra pertunjukan budaya di tiap daerah untuk promosi karya seni.
"Selain itu, saya juga ingin ada lembaga bantuan hukum untuk seniman yang tidak punya uang untuk mengurus kasusnya. Mereka bisa dibantu secara probono (tanpa biaya) oleh lawyer-lawyer entertainment atau lawyer yang punya fokus langsung ke undang-undang copyright secara probono," ungkap Badai.
Kerja-kerja politik serupa juga tengah dilakoni Surya Utama, pesohor yang akrab dikenal publik dengan nama Uya Kuya. Di Pemilu 2024, Uya didapuk PAN sebagai caleg di dapil DKI Jakarta II yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri.
Sebagai caleg anyar, Uya menyadari perlu kerja esktra keras untuk merebut hati para pemilih di ibu kota. Sejak resmi berbaju PAN, Uya mengaku sudah menyambangi setidaknya 5.00 titik di dapil DKI II untuk mempromosikan dirinya sebagai caleg.
"Sebenarnya daerah-daerah yang saya datangi adalah daerah yang memang sejak 2015 saya datangi. Makanya, masyarakat di sana sudah ada yang organik menjadi pendukung saya," ujar Uya kepada Alinea.id, Jumat (28/7).
Uya mengamini statusnya sebagai selebritas bukan jaminan untuk memenangi kontestasi politik. Kerja-kerja di lapangan juga dibutuhkan untuk menjamin tingkat keterpilihan yang tinggi.
"Karakter pemilih di Jakarta itu realistis. Enggak cuman modal popularitas, lalu bisa terpilih. Pasti dia (pemilih) akan lihat dulu apa yang kita lakukan," ucap alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI) itu.
Uya tercatat telah rutin mengadvokasi isu-isu yang berkaitan dengan publik sejak beberapa tahun lalu. Via Youtube, ia terekam kerap menyuarakan persoalan-persoalan perlindungan buruh migran, ketenagakerjaan, dan kemiskinan warga Jakarta.
"Semula, saya sama istri (Astrid Khairunisha) enggak mau terlibat dalam politik. Tapi, setelah saya menyuarakan kasus Ferdy Sambo bersama Kamaruddin Simanjuntak, saya banyak dapat tekanan. Akhirnya, akhir 2022 kemarin, kami memutuskan masuk partai biar lebih kuat," ujar Uya.
Saat ini, Uya juga membuka ruang pengaduan melalui media sosial bagi warga DKI. Ruang pengaduan itu dikelola sendiri oleh Uya dan sang istri. Biasanya, Uya meminta nomor kontak para pengadu sebelum mendatangi langsung warga ke tempat tinggap mereka.
Cara itu, menurut Uya, cukup efektif untuk mendekatkan dia dengan para pemilih. "Begitu kita sudah diketahui bakal mendatangi suatu tempat, fans saya yang terbentuk secara organik itu mengorganisir. Jadi, sudah ramai ketika saya datang. Bahkan, sering ada permintaan. Ada beberapa RW yang minta saya datang," kata Uya.
Seperti Badai, Uya mengamini kontestasi di pentas pileg rentan politik uang. Dalam sejumlah momen pertemuan tatap muka dengan warga, ia juga kerap "dipalak". Namun, Uya menolak hal tersebut. Ia lebih menawarkan kontrak politik berupa advokasi persoalan-persoalan publik yang dihadapi pemilih.
"Seperti perlindungan bagi buruh migran, perlindungan tenaga kerja, soal KJP, biaya sekolah soal BPJS, sampai urusan administrasi kependudukan. Saya selalu bilang ke calon pemilih, 'Jangan cuma gara-gara amplop duit gocap (lima puluh ribu) atau cepe (seratus ribu), ibu-ibu dan bapak-bapak dibohongi selama 5 tahun ke depan'," kata Uya.
Jika lolos ke Senayan, Uya mengaku tertarik bertugas di Komisi III yang membidangi hukum dan HAM. Selama ini, ia merasa banyak bersentuhan dengan persoalan hukum yang memerlukan mitra di kejaksaan dan kepolisian. "Kalau enggak, saya mau ke Komisi IX mengadvokasi isu buruh migran, ketenagakerjaan, dan perburuhan," imbuhnya.
Jalan terjal
Statistik dari pemilu ke pemilu menunjukkan popularitas saja tak cukup bagi para pesohor untuk menembus Senayan. Pada Pemilu 2019, misalnya, tercatat ada sebanyak 96 selebritas dari 8 partai yang mencalonkan diri jadi anggota DPR. Namun, hanya 14 orang yang sukses menduduki kursi legislator DPR.
Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2009, jumlah pesohor yang mengikuti kontestasi masing-masing berjumlah 59 orang. Pada 2014, hanya 16 orang yang terpilih jadi anggota DPR RI. Adapun pada Pemilu 2009, hanya 18 caleg selebritas yang sukses berkantor di Senayan dari total 59 pesohor.
Pada Pemilu 2024, setidaknya ada 76 caleg dari kalangan selebritas yang bakal berlaga. PAN menjadi parpol pengusung caleg pesohor terbanyak dengan jumlah 17 caleg, diekor PDI-P dengan 14 caleg dan Perindo dengan 11 caleg.
Meskipun sudah populer, peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar menilai caleg pesohor juga harus bekerja keras untuk meraup suara di pemilu. Tanpa kerja-kerja lapangan, ia pesimistis caleg pesohor bisa lolos ke DPR.
"Dalam beberapa pemilu, keterpilihan mereka itu tidak besar. Tidak sampai 50% caleg yang terpilih. Jadi, sebagian besar tumbang. Suaranya terbuang ke partai. Buat partai politik, itu menguntungkan karena menyumbangkan gembar-gembor partai politik yang dibantu oleh pesohor itu," kata Usep kepada Alinea.id.
Menurut Usep, setidaknya ada tiga aspek yang bisa membuat seorang caleg terpilih sebagai legislator di parlemen. Pertama, reputasi. Kedua, kekuatan jaringan yang dapat menggalang suara di dapil. Terakhir, modal politik yang bisa memuaskan pemilih.
"Paling enggak, tiga hal itu harus ada. Untuk memenuhi (reputasi) itu, caleg pesohor perlu membangun rekam jejak yang positif di daerah pemilihan, semisal dia pernah punya pengalaman membantu masyarakat di sana," imbuh Usep.
Aspek reputasi, lanjut Usep, juga perlu ditopang dengan jaringan politik yang kuat. Pasalnya, jaringan politik di dapil bisa jadi penghubung ke basis-basis pemilih. "Melalui mereka, caleg bisa membuka trust di kalangan calon pemilih," ucap Usep.
Tak kalah penting ialah penggelontoran kapital. Bukan untuk politik uang dan memperburuk pemilu, kapital bisa disebar caleg untuk program-program prorakyat, semisal penyediaan ambulans gratis atau peningkatan fasilitas kesehatan. "Masyarakat itu antusias. dengan perjuangan-perjuangan seperti itu," kata dia.
Terkait kualitas, Usep memandang, caleg pesohor perlu membuktikan kompetensinya dalam kampanye politik. Caranya, dengan menawarkan ide dan gagasan yang matang serta sejalan dengan kebutuhan masyarakat di dapil. "Sebab, publik sudah kadung melihat caleg pesohor dengan stigma orang yang buta politik," kata dia.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro sepakat caleg pesohor bakal kesulitan bersaing di pentas pileg jika hanya bermodal popularitas. Menurut dia, politik uang masih bakal jadi salah satu faktor penentu kemenangan seorang caleg.
"Jadi, bohong besar kalau bilang hanya terkenal saja bisa terpilih. Karena itu (keterpilihan) itu juga ikut ditentukan oleh seberapa besar kekuatan modal untuk memberikan uang kepada para pemilih," kata Zuhro kepada Alinea.id, Senin (24/7).
Kendati sudah populer, Zuhro menilai caleg dari kalangan pesohor juga bakal kelabakan ketika berhadapan dengan caleg petahana di dapil. Selain sudah punya jaringan politik di dapil, caleg-caleg petahana juga punya rekam jejak di parlemen dan bisa dengan mudah mengklaim program-program pemerintah sebagai hasil kerja keras mereka.
"Calon-calon incumbent itu selalu minta program ke negara. Mereka itu sering menagih mana program negara untuk dapil-dapil kita. Jadi, naif kalau caleg percaya bisa terpilih dengan hanya dengan menyanyi atau unjuk ketrampilan. Sebab, suara pemilih sangat ditentukan oleh politik transaksional," jelasnya.
Pemetaan dan tim darat
Peneliti Charta Politika Ardha Ranadireksa merinci tiga aspek terkait elektabilitas yang mesti dipenuhi seorang caleg untuk bisa lolos ke parlemen. Pertama, tingkat keterkenalan. Kedua, tingkat kesukaan. Terakhir, tingkat keterpilihan.
Menurut Ardha, caleg dari kalangan pesohor umumnya sudah memiliki modal awal berupa popularitas. Namun, popularitas itu belum tentu mengindikasikan elektabilitas yang tinggi.
"Agar terpilih, para caleg selebritas itu tidak cukup hanya dikenal saja. Artinya, mereka perlu bergerak untuk disukai. Sebab, sosok terkenal, tapi tidak disukai, ya, tidak akan dipilih," ucap Ardha kepada Alinea.id.
Untuk bisa sukses di pemilu, Ardha memandang para pesohor juga harus membangun basis-basis konstituen dan jaringan politik di dapil. Selain itu, mereka juga wajib memetakan kantong-kantong suara caleg-caleg lainnya di dapil.
"Para pesohor ini juga harus membentuk tim yang bergerak di darat. Mereka juga harus paham pemetaan. Setidaknya, mereka paham memetakan daerah mana yang mungkin perlu diambil suaranya atau ditambah," ucap Ardha.
Di lain sisi, Ardha menilai partai politik juga perlu memberikan bekal yang cukup kepada para caleg pesohor untuk menghadapi persaingan di dapil. Sejauh ini, caleg pesohor kerap masih dianggap sebagai orang yang buta politik oleh publik.
"Sebenernya caleg tersohor ini bisa jadi starategi partai untuk mengangkat nama partai ini. Walaupun belum tentu juga partai ingin caleg pesohor ini lolos ke parlemen. Aldi Taher itu, misalnya, bisa mengangkat nama partai karena orang bisa mengasosiasikannya ke Perindo," ucap Ardha.