Jalan terjal mencapai keterwakilan perempuan di parlemen
Ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PKS pada Pemilu 2019, Kurniasih Mufidayati mengaku mendapat dukungan yang besar dari partai politiknya. Ia mengatakan, berkat dukungan itu, dirinya lolos ke parlemen.
“Support dari struktur dan pimpinan, bukti perhatian dari PKS terhadap potensi calon anggota dewan dari perempuan itu sangat besar,” ucap Wakil Ketua Komisi IX DPR tersebut kepada Alinea.id, Selasa (4/4).
Menurut Kurniasih, PKS punya perhatian terhadap penempatan perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg). “Setiap periode pemilu itu selalu menempatkan perempuan-perempuan terbaik PKS di beberapa dapil (daerah pemilihan) yang sudah kita prioritaskan dan potensi suara PKS-nya agar besar,” katanya.
Selain itu, dukungan juga diwujudkan dengan memberikan nomor urut satu dan dua kepada caleg perempuan di dapil-dapil prioritas PKS. Hasil Pemilu 2019 sendiri menempatkan delapan kader perempuan PKS di DPR. Angka itu setara 16% dari total 50 kursi yang diperoleh PKS. Persentase tersebut naik dibanding Pemilu 2014, yang hanya menempatkan 2,5% kader perempuan PKS dari 40 kursi.
Strategi partai politik
Walau hasil Pemilu 2019 menambah keterwakilan perempuan di DPR dari PKS, tetapi Kurniasih mengatakan hal itu belum mencapai batas minimal 30%, seperti amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Kita targetkan mudah-mudahan bisa memenuhi 30% dari jumlah anggota fraksi PKS secara keseluruhan di periode 2024-2029,” ujar Kurniasih.
Riset lembaga Cakra Wikara Indonesia menunjukkan, hasil Pemilu 1955 mencatat anggota DPR perempuan hanya 17 dari total 272 kursi parlemen. Jumlah anggota DPR perempuan terbanyak ada pada Pemilu 2019, yakni 117 orang dari total 575 kursi.
Lebih lanjut, Kurniasih mengatakan, target keterwakilan perempuan tak hanya untuk DPR. Namun juga DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pembinaan, pembekalan komunikasi dan cara kampanye, hingga kiat mendapat dukungan dilakukan demi memenuhi target. Saat ini, kata Kurniasih, total kader perempuan dari PKS yang menjadi anggota DPR dan DPRD sebanyak lebih dari 200 orang.
Wasekjen Partai NasDem Hermawi Taslim mengatakan, di partainya atensi khusus terhadap perempuan bukan hanya konsep, tetapi juga aksi. “Dalam AD/ART NasDem ada sayap khusus perempuan. Namanya Garnita (Garda Wanita) Malahayati yang punya struktur sendiri di seluruh Indonesia,” kata dia, Selasa (4/4).
“Saat ini, jumlah DPD-nya sama dengan struktur partai, yakni 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota.”
Ia menambahkan, NasDem juga mendorong partisipasi perempuan dengan bukti memberikan jabatan strategis. Contohnya, menugaskan Lestari Moerdijat sebagai Wakil Ketua MPR. Selain itu, ada Siti Nurbaya yang menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam Pemilu 2024, Hermawi menyampaikan, partainya menargetkan minimal 37% kader perempuannya melenggang ke DPR dan DPRD. Perolehan kursi NasDem untuk caleg DPR perempuan di Pemilu 2019 meningkat dibanding 2014. Pada 2014, anggota DPR perempuan hanya 11,43% dari total 35 kursi yang diperoleh partai itu.
Persentase keterwakilan perempuan dari NasDem paling tinggi di antara partai peserta Pemilu 2019 lainnya, yakni 32,20%. NasDem menempatkan 19 kursi perempuan dari total 59 kursi partai.
Partai Golkar juga mengalami peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPR. Pemilu 2014, persentase kader perempuan Golkar yang duduk di DPR adalah 17,58% dari total 91 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2019 menjadi 22,35% atau 19 kursi dari 85 kursi yang diperoleh partai.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Hetifah Sjaifudian, pada Pemilu 2014 caleg perempuan dari partainya sekitar 30%. Lalu, meningkat jadi 38% di Pemilu 2019. Meningkatnya jumlah caleg ini, dianggap berkorelasi dengan naiknya jumlah kader perempuan Golkar di DPR.
“Harus ada strategi untuk meningkatkan jumlah perempuan yang siap berkontestasi dan dicalonkan,” kata Hetifah, Selasa (4/4).
Akan tetapi, masalahnya tak sedikit kader perempuan yang aktif di Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) dan organisasi sayap lainnya, tak mau maju sebagai caleg saat ditawarkan, dengan alasan tak siap.
“Motivasinya harus ditingkatkan, disugesti positif, dan difasilitasi juga,” tuturnya.
Memfasilitasi caleg perempuan itu, sebut Hetifah, bisa dengan menempatkannya di dapil yang jadi ladang suara Golkar dan memberi nomor urut satu atau dua. “Lebih banyak orang yang terpilih kalau nomor urutnya satu atau dua,” ucap Wakil Ketua Komisi X DPR itu.
Hetifah mengatakan, keberadaan perempuan di DPR penting karena lebih memiliki empati untuk kaumnya. Bisa jadi, katanya, ada korelasi antara jumlah anggota DPR perempuan dengan lambatnya proses legislasi terkait perempuan.
Misalnya, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan pada 2022. Padahal, sudah digagas sejak 2012. Contoh lainnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah 19 tahun tak kunjung disahkan DPR.
Tantangan keterwakilan perempuan
Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia menuturkan, sejak 1999 hingga 2019 kursi di parlemen bertambah 15%. Namun, persentase kursi perempuan sejak 2004 hanya bertambah 12%.
Meski begitu, tren pencalonan perempuan untuk DPR memang meningkat. Pada 2009 total caleg perempuan 33%. Lalu menjadi 39,98% pada 2019. Dilihat dari jumlah kursi di DPR, peningkatan terjadi dari Pemilu 2019 sebesar 17,32% menjadi 20,52% pada 2019, dengan adanya pergantian antarwaktu (PAW) perempuan.
Menurutnya, nomor urut caleg sangat menentukan. Ia menjelaskan, berdasarkan riset Perludem, 60% calon terpilih adalah nomor urut satu dan dua.
“Tapi dari riset yang kami lakukan di tahun 2020, perempuan biasanya ditempatkan di nomor urut tiga, enam, dan sembilan,” katanya, Selasa (4/4).
“Hanya sedikit perempuan ditempatkan di nomor urut satu dan dua.”
Nurul mengungkapkan, keberadaan perempuan terkesan hanya memenuhi syarat. Menjelang pemilu, partai mengubah kepengurusan pusatnya dengan memasukkan 30% perempuan. Selesai pemilu, saat musyawarah nasional atau kongres, susunan kembali diubah.
“Tidak lagi ada perempuan 30%. Hanya PKB yang baik sebelum maupun sesudah (pemilu),” katanya.
Oleh karenanya, mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sulit, sekalipun sudah ada aturanya di UU Pemilu. Sebabnya, aturan itu hanya dilihat sebagai syarat administrasi untuk ikut pemilu.
Senada, Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati pun mengatakan, peraturan yang ada baru sebatas pencalonan semata. Dari setiap penempatan tiga caleg, harus ada satu caleg perempuan. Jika partai politik tak memenuhi ketentuan tersebut, bisa didiskualifikasi sebagai peserta pemilu di dapil yang tak memenuhi syarat itu.
“Terkadang partai politik mencalonkan perempuan hanya sekadar untuk tidak didiskualifikasi sebagai peserta pemilu,” kata dia, Selasa (4/4).
Sementara peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyampaikan, seharusnya partai politik punya keberpihakan kepada perempuan dengan memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk berpartisipasi dalam politik.
“Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen bisa menjadi indikator rendahnya peran perempuan di partai politik,” ucapnya, Selasa (4/4).
Kurangnya keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu, menurutnya, menunjukkan partai politik belum melihat peran strategis perempuan di parlemen. Di sisi lain, Zuhro berpendapat, negara belum tegas mendorong upaya keterwakilan perempuan di parlemen. Hal itu tergambar dari kebijakan negara terkait partai politik.
“UU Parpol (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011) belum menyentuh secara serius aturan kuota dengan angka sebagai rujukan persentase kehadiran perempuan dalam struktur pendiri, pengurus, dan rekrutmen partai,” ujarnya.
Lemahnya peraturan mengikat partai dalam menjamin keterwakilan perempuan di dalam internal kepengurusan, berdampak pada rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen.
“Dominasi laki-laki sebagai pengurus partai juga berdampak pada tidak terakomodasinya kepentingan perempuan untuk menjadi pembuat kebijakan di dalam parlemen,” ucapnya.
Khoirunnisa menyampaikan, sebetulnya yang dibutuhkan perihal keterwakilan perempuan di parlemen adalah komitmen di internal partai politik. Hal ini berkaitan dengan keinginan partai dalam menempatkan perempuan di posisi-posisi strategis partai.
“Sehingga bisa memberikan akses kepada perempuan untuk mendapatkan posisi di legislatif,” katanya.
Jalan terjal perempuan menuju parlemen tergambar pula dari riset Perludem soal voter suppression di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Dijelaskan Nurul, saat itu politisi perempuan jadi sasaran disinformasi yang disertai ujaran kebencian.
Misalnya, pada Pemilu 2019, Perludem mendapati konten-konten yang menyerang politisi perempuan dari PSI. Narasinya, kata Nurul, perempuan bodoh dan diolok-olok dengan narasi misoginis serta seksis.
“Kita enggak tahu, apakah sebetulnya perempuan politisi di DPR mendapatkan diskriminasi dalam lamanya waktu untuk bicara, pendapatnya diremehkan, atau di-challenge,” katanya.
Sedangkan soal perekrutan bakal caleg perempuan, riset Perludem pada Pemilu 2014 dan 2019 menunjukkan partai “asal comot”. Nurul mengatakan, partai asal comot karena sulit mencari perempuan yang mau jadi caleg. Alasannya, banyak perempuan yang tidak percaya diri dan tak punya modal ekonomi.
“Nah, solusinya, partai politik sangat bisa bekerja sama dengan organisasi-organisasi perempuan, organisasi masyarakat, agar organisasi-organisasi ini bisa merekomendasikan nama-nama perempuan potensial untuk menjadi kader partai, yang kemudian bisa dilatih untuk menjadi calon,” ujar dia.
Adapun, dalam meningkatkan keterwakilan di DPR, Nurul berpendapat, perlu terlebih dahulu ditentukan target perempuan menjadi anggota legislatif. Jika total jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang dan targetnya 30%, artinya ada 173 anggota parlemen perempuan.
“Maka, dibagi secara proporsional ke setiap partai politik. Partai-partai besar misal, harus menargetkan 35 perempuan terpilih dari semua dapil DPR,” tutur Nurul.
Cara lain, membangun hubungan antara gerakan perempuan politik dengan gerakan perempuan secara luas. Tujuannya, transformasi politik yang inklusif dan berspektif gender. Lalu, pendekatan kepada media.
“Pemberitaan media, terutama media televisi arus utama, sangat berperan dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi,” ujarnya,
“Tapi media televisi arus utama di Indonesia, masih timpang dalam memberikan ruang bagi perempuan politisi.”