Jokowi di antara KAMI, KITA, dan KALIAN
Mantan Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Maman Imanulhaq bergerak kilat. Sehari setelah Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dideklarasikan, Maman mengumpulkan para relawan dan sejumlah tokoh di Gedung Joeang, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/8).
Di gedung itu, Maman mengumumkan berdirinya Kerapatan Indonesia Tanah Air atau yang disingkat KITA. KITA, kata Maman, ialah koalisi independen yang hadir tujuan mulia merawat dan mengawal masa depan Indonesia bersama-sama.
Meskipun dideklarasian tak lama setelah KAMI dan sama-sama menggunakan pronomina jamak sebagai nama identitas gerakan, Maman mengklaim, KITA bukan tandingan dari KAMI. "Tidak ada kami. Tidak ada kamu. Yang ada kita. Yang ada kita Indonesia," kata Maman saat menyudahi acara deklarasi.
KAMI dideklarasikan di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Jaraknya hanya tiga kilometer dari Gedung Joeang. Tak seperti deklarasi KITA, KAMI diumumkan ke publik secara meriah. Ada lebih dari 200 tokoh dari berbagai bidang yang hadir. Mereka disatukan oleh musuh yang sama: kebijakan Jokowi selama pandemi.
Dimotori mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, KAMI juga didukung oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, eks Menko Maritim Rizal Ramli, ekonom Ichsanuddin Noorsy, pakar hukum tata negara Refly Harun, politikus PAN Amien Rais, dan para petinggi Masyumi Reborn.
Kepada Alinea.id, Maman mengatakan, ia menghormati sikap Din dan kawan-kawan saat mendeklarasikan KAMI. Namun demikian, ia berharap keberadaan KAMI tidak memicu polarisasi di masyarakat. Apalagi, KAMI didirikan untuk mengkaji dan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah selama pandemi.
"Pembelahan opini--di saat kita butuh bekerja sama menghadapi pandemi--jelas mengganjal spirit kebangsaan kita," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Maman tak ingin berspekulasi mengenai motif berdirinya KAMI. Ia hanya berharap tidak ada kepentingan politik elektoral di belakang layar. "Apa pun motifnya, jiwa kenegarawanan para tokoh sangat diperlukan untuk Indonesia saat ini. Kami ingin para tokoh bangsa ini berjiwa negarawan, bukan yang haus kekuasaan," ujar dia.
Dalam deklarasinya, KAMI menyatakan delapan tuntutan untuk Jokowi, di antaranya menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi Covid-19, bertanggung jawab atas resesi ekonomi yang terjadi, dan menjalankan negara sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Jika berbasis tokoh-tokoh yang hadir dan tuntutan-tuntutan yang dibawa saat deklarasi, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PDI-Perjuangan Arif Wibowo mengatakan, sulit menafikan berdirinya KAMI kental aroma kepentingan politik.
"Ini tokoh-tokoh nasional. Ada intelektual, ada tentara, dan macam-macam. Mereka muncul mendeklarasikan diri dengan pernyataan yang, menurut kami, pernyataan itu bukan kritik namanya. Tapi, sudah pasti adalah manuver politik," ujarnya.
Lebih jauh, Arif mengatakan, pentolan-pentolan KAMI menggunakan isu pandemi Covid-19 untuk mendapat perhatian publik. Ia menyebut langkah itu tak elok. "Apalagi, di 2024 ada pemilu. Jelas, itu manuver politik untuk kekuasaan," imbuh dia.
KAMI sekadar gerakan moral?
Ketua Komite KAMI Ahmad Yani membantah ada tujuan politik yang ingin dicapai dengan mendeklarasikan KAMI. Menurut dia, KAMI lahir secara alamiah sebagai bentuk kekecewaan terhadap penanganan Covid-19 oleh pemerintah Jokowi.
"Kami enggak berpikir untuk politik 2024. Kami tidak berpikir politik praktis. Yang kita pikirkan ini adalah menyelamatkan bangsa dari ancaman Corona. KAMI ini gerakan moral bukan gerakan politik," ujar Yani kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (24/8).
Yani mengatakan, KAMI hanya terkesan sebagai gerakan politik oposisi terhadap pemerintahan. Namun, itu hanya pada tataran tujuan. Secara teknis, KAMI tidak memiliki kekuatan politik untuk menekan pemerintahan.
"Kami enggak pernah menyatakan diri kami oposisi. Sebab kalau oposisi itu memiliki kekuatan memaksa, memiliki kekuatan ultimatum. Kami tidak punya (kekuatan itu). KAMI ini gerakan moral politik," ujar salah satu penggagas Masyumi Reborn itu.
KAMI akan mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah selama pandemi. Nantinya, hasil kajian KAMI akan disampaikan ke pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. "Seharusnya peran ini kan diambil DPR. Tapi, sekarang DPR-nya sudah bagian dari pemerintah. Tidak ada DPR yang melakukan koreksi," kata dia.
Soal eksponennya yang rata-rata pernah punya jabatan di pemerintahan Jokowi sebelumnya, Yani menegaskan, KAMI bukan didirikan oleh barisan sakit hati. Menurut dia, tidak ada residu Pilpres 2019 di dalam tubuh KAMI.
"Bagaimana bisa (disebut) barisan sakit hati? Masih ada orang (KAMI) yang menjabat jadi direktur yang saat Pilpres 2019 kemarin. Pilpres itu kan Prabowo (Subianto), bukan KAMI. Jadi, enggak relevan," kata dia tanpa merinci lebih jauh.
Terpisah, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyambut baik lahirnya KAMI. Menurut Mardani, kerja PKS sebagai oposisi tunggal bakal lebih ringan dengan lahirnya kelompok-kelompok seperti KAMI.
"PKS bahagia dengan kian banyaknya elemen masyarakat yang masuk dalam barisan oposisi. Pemerintah sangat perlu oposisi agar dapat selalu berada dalam rel yang benar dan akurat," ujar Mardani.
Menurut Mardani, saat ini kinerja DPR dan pemerintah perlu diawasi sungguh-sungguh. Terlebih, mayoritas fraksi di DPR sudah seolah menjadi "milik" Jokowi. "Baik legislatif dan eksekutif sangat perlu kritik dan pengawasan optimal dari masyarakat," imbuh dia.
Lebih jauh, Mardani mengatakan, KAMI memang tak bisa menjadi oposisi seutuhnya layaknya partai politik di DPR. Kendati demikian, PKS siap membuka pintu kerja sama dengan KAMI. "Walau kita ada di medan yang berbeda," kata dia.
Alat merawat eksistensi
Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam membenarkan anggapan bahwa KAMI tidak punya kekuatan nyata jika diposisikan sebagai oposisi pemerintah. Pasalnya, KAMI tidak bisa mengintervensi atau membatalkan kebijakan pemerintah secara formal.
"Ada lembaga legislatif (untuk oposisi). Tetapi, kalau bicara penyeimbang opini, KAMI bisa dikatakan jadi sebuah wadah atau motor penyeimbang opini. Bahkan, (KAMI) bisa menjadi pembentuk opini," ujar Arman kepada Alinea.id, Senin (24/8).
Arman sepakat ada kepentingan politik elektoral yang memengaruhi pembentukan KAMI. Ia menyebut KAMI digunakan untuk memopulerkan nama-nama yang potensial bertarung di Pilpres 2024 yang tidak berpartai atau tak punya kendaraan politik.
Setidaknya ada dua nama dari KAMI yang potensial didorong maju pada Pilpres 2024, yakni Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo. "Saya melihat ini adalah sebuah birokratisasi politik. Di balik KAMI ini ada nuansa penyiapan panggung pertarungan politik untuk meningkatkan popularitas," ujar dia.
Analisis serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo. Ia menilai, KAMI dideklarasikan sebagai ajang unjuk gigi dan merawat eksistensi para tokoh yang berpeluang maju di Pilpres 2024.
"KAMI ini panggung awal mereka. Di partai, mereka juga tidak punya kepanjangan di sana. Tokoh-tokoh yang ada di KAMI ini pun tidak berada di dalam partai yang ada di parlemen sehingga dibutuhkan panggung untuk eksis hingga 2024," ujarnya.
Karyono sepakat Gatot menjadi salah satu tokoh KAMI yang paling populer. Nama Gatot mudah diasosiasikan sebagai salah satu kandidat karena pernah digadang-gadang bakal diusung di Pilpres 2019. "Nah, entah nanti figur siapa yang mau diusung, Gatot atau Anies," kata dia.
Tak lama setelah KAMI dan KITA, lahir juga kelompok yang dinamakan Kawanan Alternatif Lain Indonesia Antar Netizen atau KALIAN. Dideklarasikan oleh Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Adamsyah Wahab di Twitter, KALIAN dibentuk dengan tujuan tunggal: Indonesia tanpa Jokowi.
Soal KITA dan KALIAN, Karyono menyatakan, kedua gerakan itu dilahirkan hanya sekadar sebagai gimmick politik. "Jadi, ini hanya bentuk lain dari kritik atas munculnya KAMI," ujarnya.