Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan ratusan penjabat (pj) kepala daerah di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (30/10). Dalam pidato singkatnya, Jokowi mengingatkan agar para kepala daerah membantu tugas-tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah dalam penyelenggaraan pemilu.
Ia juga menginstruksikan agar para kepala daerah menjaga netralitas selama kontestasi politik. "Tak boleh ada intervensi apa pun. Anggaran segera, disegerakan. Dan, juga, saya minta, jangan sampai memihak, " ujar Jokowi.
Usai bertemu para penjabat kepala daerah, Jokowi lantas mengundang tiga bacapres yang bakal berlaga di Pilpres 2024, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan untuk makan bareng di Istana. Kepada mereka, Jokowi berpesan agar para kandidat menjaga supaya pemilu berlangsung damai.
Jokowi diisukan sedang membangun dinasti politik dengan 'mengirimkan' putra tertuanya, Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo. Gibran bisa jadi cawapres setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi persyaratan batas usia capres dan cawapres. Putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, besan Jokowi.
Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan tak percaya Jokowi bakal netral dalam pemilu. Apalagi, putranya ikut serta dalam kontestasi politik. Ia menyebut instruksi Jokowi kepada para kepala daerah justru bermakna sebaliknya.
"Apa yang diucapkan Jokowi itu berarti sebaliknya. Dia bilang kepada para penjabat harus netral. Tapi, itu mengandung arti sebaliknya, yakni agar mendukung calon tertentu," kata Djohan kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (2/11).
Secara khusus, Djohan mencatat pernyataan Jokowi yang akan mengevaluasi kinerja kepala daerah dalam penyelenggaraan pemilu per tiga bulan. Bersandar pada Machiavelianisme Jawa, menurut Djohan, pernyataan Jokowi itu bisa dimaknai peringatan bagi para penjabat.
"Itu seolah-olah mengancam. Bisa diartikan, 'Kalau kamu enggak patuh dan taat kepada kita, kamu bisa saya berhentikan'. Itu dalam pengertian politik Jawa. Jokowi itu, antara panggung depan dan panggung belakang, berbeda," kata Djohan.
Total ada 271 penjabat kepala daerah yang telah ditunjuk Jokowi untuk berkuasa di daerah hingga 2024. Para kepala daerah itu diperkirakan memimpin sekitar 230 juta jiwa atau sekira 89% dari jumlah penduduk Indonesia.
Orang-orang dekat Jokowi ditunjuk sebagai penguasa daerah strategis dalam konteks pemilu. Di Jawa Barat dengan jumlah pemilih sekitar 35 juta orang, Jokowi menempatkan Bey Machmudin sebagai gubernur. Sebelumnya, Bey menjabat sebagai Deputi Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden.
Di Jawa Tengah dengan jumlah pemilih sekitar 28 juta jiwa, Jokowi menugaskan Irjen Nana Sudjana sebagai gubernur. Nana menjabat sebagai Kapolres Solo saat Jokowi jadi Wali Kota Solo pada 2010. Adapun Jawa Timur saat ini masih dipimpin Khofifah Indar Parawansa, eks Menteri Sosial (Mensos). Khofifah dikabarkan bakal bergabung di tim pemenangan Prabowo-Gibran.
"Sulit mereka (para penjabat) tidak dijadikan alat pemenangan. Apalagi, ini yang maju anaknya presiden sebagai cawapres. Pj ini tentu untuk menjaga jabatannya akan menjaga calon yang didukung Presiden. Mereka pasti tidak ingin kehilangan jabatannya," ucap Djohan.
Jokowi, kata Djohan, boleh saja memihak salah satu paslon. Sesuai Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, presiden, wapres, dan kepala daerah memang berhak terlibat dalam kampanye kandiat. Syaratnya, tidak menggunakan fasilitas negara dan menjalani cuti di luar tanggungan.
Jika Jokowi cuti setidaknya selama 75 hari masa kampanye, Djohan yakin potensi penjabat kepala daerah dugunakan sebagai alat pemenangan kandidat capres-cawapres bisa diminimalisasi. Paling tidak penjabat kepala daerah tidak mesti takut dipecat bila tidak memenangkan Prabowo-Gibran.
"Maka, pasal tadi dikuatkan ayatnya yang menyatakan bahwa apabila petahana atau presiden itu anaknya maju sebagai kandidat maka presiden harus cuti di luar tanggungan negara. Itu mesti di atur dalam perppu supaya cepat. Kalau melalui DPR, nanti lama. Padahal, sebentar lagi kampanye," kata Djohan.
Segendang sepenarian, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Supraman berpendapat penjabat kepala daerah sangat rentan dijadikan alat pemenangan pasangan yang didukung Jokowi. Ia mengamini kebanyakan kepala daerah merupakan orang kepercayaan Jokowi.
"Parahnya lagi, sistem pengawasannya internal oleh Kementerian Dalam Negeri untuk yang sudah menjabat. Jadi, setiap 3 bulan itu mesti dilakukan pemantauan anggaran untuk tahun depan karena Pj ini bertanggung jawab melalui presiden," kata Arman.