Kaus 2019 Ganti Presiden ramai menjadi perbincangan. Simbol seperti itu juga pernah dipakai oleh sejumlah negara dalam menjatuhkan lawannya.
Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, ramainya kaus tanda pagar #2019GantiPresiden jangan dipandang sebelah mata oleh Joko Widodo. Terlebih lagi, banyak terjadi dari berbagai negara dimulai dengan simbol.
Seperti yang terjadi di Thailand, kaus merah yang sampai bisa menumbangkan Dinasti keluarga Shinawatra. Bahkan, Jokowi saja dengan menggunakan kemeja kotak-kotak hingga menjadi identitas dirinya.
"Jadi jangan anggap remeh kaus yang berbicara. itu bisa menjadi semangat bagaimana mereka mengakumulasikan diri, menyatukan kehendak melalui simbol yang menyatakan bahwa kita sedang ingin mengganti presiden," katanya, Senin (9/4).
Terlebih lagi, mulainya gerakan people power tersebut ditandai dengan gerakan moral dan bisa menjadi sebuah sinyal yang kuat atas kehendak untuk mengganti presiden.
Simbol kemeja kotak-kotak yang sejak awal digunakan Jokowi bisa membuat Joko Widodo menjadi seorang presiden. Sehingga, kaos atau simbol-simbol seperti itu selain mengangkat, bisa juga menjatuhkan seseorang dari tahta kepemimpinannya.
Dia juga berpendapat, rakyat merupakan pemilik kedaulatan individu. Sehingga, setiap individu yang memiliki kedaulatan tersebut jika dikumpulkan dan menyerahkannya kepada seorang bisa menjadi pemimpin negara.
Alasannya, menjadi seorang presiden juga merupakan hasil akumulasi kedaulatan individu.
Oleh karena itu, kalau pemegang kedaulatan menyampaikan keinginannya untuk mengganti seorang presiden, yang dulu pernah diberikan sebuah kedaulatan, dengan menarik kembali dukungannya pada orang tersebut, itu merupakan hak dari individu tersebut.
Hak untuk menentukan nasib, termasuk didalamnya untuk menentukan nasib seorang pemimpin.
Jadi tidak salah, saat memilih pemimpin masyarakat tidak hanya untuk menjadikan dia seorang presiden tapi juga turut menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia lima tahun ke depan.
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubaidillah Badrun mengatakan, dirinya sempat kaget melihat Joko Widodo yang bersemangat dalam menanggapi isu kaos tersebut. Mestinya, Jokowi tidak perlu menunjukan hal-hal semacam kekhawatiran semacam itu.
"Semacam ekspresi agar kemudian gerakan itu tidak meluas. Tapi, lebih dari itu saya kira sebagai presiden, dirinya harus melihat fakta tersebut bagian dari sebuah demokrasi," ujarnya.
Menurut dia, respon-respon yang menandakan kekhawatiran, tidak harus ditunjukkan oleh presiden. Ekspresi ini dinilai bagian dari perjalanan demokrasi yang tengah dipraktikkan saat ini.
Hal tersebut, sambungnya, memungkinkan masuknya ruang kebebasan berekspresi, masuk di dalam masyarakat secara liar. Sehingga, dengan adanya hastag ganti presiden, itu hal biasa dalam sistem demokrasi, sama saja dengan tagar jokowi dua periode.
Untuk itulah, kata dia, sebetulnya hal tersebut adalah pernik demokrasi atau risiko dari jalan politik demokrasi liberal yang dipilih pemerintah.