Gejala otoritarianisme dinilai kian menguat di tubuh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin. Analis politik dari CEO Voxpol Research Center & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menyebut rezim Jokowi kian "sadis" membungkam suara-suara kritis yang dialamatkan pada pihak penguasa.
Ia mencontohkan ancaman hukuman penjara hingga 4 tahun bagi aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti. Haris dan Fatia dianggap mencemarkan nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan karena mengkritik kepentingan bisnis Luhut di Papua.
Teranyar, keluarga Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang di Pontianak, Kalimantan Barat, dilaporkan mendapat intimidasi dari aparat. Intimidasi itu diduga terkait aktivisme politik Melki di kampus.
"Begitu banyak lawan politik yang sudah tiarap dan dibungkam. Ada yang dirundung media sosialnya, Ketua BEM UI diancam keluarganya. Haris Azhar dan Fatia hanya karena mengkritik soal bisnis dan korporasi yang dibangun oleh Luhut kemudian harus menghadapi sanksi pidana 4 tahun penjara," kata Pangi kepada Alinea.id, Rabu (15/11).
Belum lama ini, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya mengumumkan bakal berhenti bermain media sosial X untuk sementara waktu. Tidak jelas apa alasan pria yang akrab disapa Toto itu pamit dari X. Namun, Toto sempat mengklarifikasi soal foto dia bersama Prabowo yang beredar di medsos.
"Maaf saya harus twit klarifikasi sebelum off dari dunia maya. Sedang disebar foto saya dengan Prabowo, itu adalah foto bulan Februari saat saya diajak ketemu beliau, diminta bantu dan saya menolak. Dan tidak akan mungkin saya bantu pasangan yang lahir dari keputusan MK seperti itu," tulis Toto di akun @yunartowijaya, Senin (13/11).
Di X, Toto merupakan salah satu kritikus keras manuver-manuver Jokowi. Ia bahkan turut mempopulerkan "Mahkamah Keluarga" jauh sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan merevisi batas usia capres-cawapres. Putusan MK memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, maju sebagai pendamping Prabowo di Pilpres 2024.
Politikus PDI-Perjuangan Adian Napitupulu dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto juga seolah jadi "sasaran tembak". Keduanya dilaporkan ke polisi karena rutin mengkritik skandal putusan MK dan menuding Jokowi menjalankan nepostime dengan merestui Gibran.
"Saya pikir demokrasi makin hari makin gelap dan suram. Dia (Jokowi) secara pelan-pelan membunuh demokrasi. Kemudian membungkam lawan-lawan politik. Mereka difitnah, terus (mungkin akan) dipenjara," kata Pangi.
Pangi menyayangkan Jokowi yang dipilih rakyat melalui proses demokratis justru terkesan mengarahkan negara ke bentuk otoritarianisme era Orde Baru. Ia khawatir Indonesia gagal melompat menjadi negara demokrasi yang matang.
"Kita dihadapkan pada pemilu yang tidak netral dan penuh dengan intrik. Pemilu yang menghalalkan segala cara, termasuk abuse of power. Institusi perangkat hukum dan penyelanggara agak terkesan tidak bisa imparsial dan tidak bisa netral. Bahkan, ada yang merangkap sebagai pemain sekaligus menjadi wasit," kata Pangi.
Pangi berpandangan gejala represif dan intimidasi terhadap lawan-lawan politik Jokowi yang terjadi belakangan tidak bisa dibiarkan dan perlu dilawan. "Ini berbahaya. Demokrasi sedang dibunuh pelan-pelan," kata Pangi.
Kecemasan serupa juga disuarakan politikus muda Perindo Manik Marganamahendra. Menurut dia, gejala otoritarianisme yang sedang berjangkit di tubuh pemerintahan Jokowi harus dilawan. Secara khusus, ia menyinggung kriminalisasi terhadap Ketua BEM UI dan jurnalis Aiman Witcaksono yang kini jadi salah satu caleg di Perindo.
"Hari ini yang kena Melki dan Aiman, lalu Haris Azhar dan Fatia. Tapi, besok bisa jadi kita sendiri yang kena atau generasi Z itu sendiri yang kena. Jadi, sebelum hak demokrasi kita dirampas, kita harus berbicara dan mengkritisi ini. Supaya kita tidak hidup dalam otoritarianisme," kata Manik kepada Alinea.id, Rabu (15/11).
Belum lama ini, Aiman dilaporkan oleh juru bicara Aliansi Elemen Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Fikri Fakhrudin ke Polda Metro Jaya. Aiman dilaporkan lantaran menyebar informasi mengenai beberapa komandan Polri yang diduga memenangkan pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Manik juga menyinggung proses pencalonan Gibran yang memicu kontroversi. Eks Ketua BEM UI itu mengatakan Gibran bak politikus otoriter yang menghalalkan segala cara untuk bisa menggapai kekuasaan.
"Muda itu tidak serta merta direpresentasikan dengan usia, tapi juga proses. Saya khawatir anak muda itu jadi muak karena hukum dikangkangi. Gejala ini enggak boleh dianggap enteng. Dampaknya bisa jauh lebih serius dari sekadar tindakan represif dan intimidasi yang saat ini terjadi," kata Manik.