Anggota Komisi III DPR, Habiburrokhman, mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada PN Surabaya mengajukan banding atas vonis bebas dua terdakwa tragedi Kanjuruhan. Keduanya, yakni mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang AKP Kompol Wahyu Setyo Pranowo.
"Kalau bebas berarti siapa yang bertanggung jawab? Kok bisa seperti itu? Kita dorong (JPU) untuk banding," kata Habiburrokhman kepada wartawan, Jumat (17/3).
Habiburrokhman mengatakan, tragedi Kanjuruhan yang memakan ratusan korban jiwa itu pasti ditemukan kesalahan. Dia menilai, vonis PN Surabaya tersebut menciderai rasa keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat luas.
"Kalau tidak ada yang bertanggung jawab tentu ini kita tidak menunjukkan empati kepada masyarakat, kepada korban," tutur politikus Partai Gerindra itu.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam keras atas hasil putusan sidang tragedi Kanjuruhan.
Selain memvonis bebas dua terdakwa, tiga terdakwa lainnya dijatuhi hukuman ringan, yakni AKP Has Darmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur), divonis 1 tahun 6 bulan penjara; Abdul Haris (Ketua Panpel Pertandingan Arema FC) divonis 1 tahun 6 bulan; dan Suko Sutrisno (Security Officer) divonis hanya 1 tahun penjara.
"Kami menilai bahwa vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya juga seadil-adilnya serta dapat mengungkap aktor high level dibalik tragedi ini," kata peneliti Kontras, Rozy Brilian kepada Alinea.id, Jumat.
Menurut Rozy, sejak awal pihaknya telah mencurigai proses hukum ini yang tampak tidak secara sungguh-sungguh mengungkap kasus ini. Kontras menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan dalam Tragedi Kanjuruhan.
"Selain itu, kami juga turut melihat bahwa proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process). Dugaan kami turut didorong dengan berbagai keganjilan selama persidangan yang kami temukan," katanya.
Keganjilan-keganjilan yang dimaksud antara lain aktor yang diproses secara hukum hanyalah aktor lapangan, terbatasnya akses terhadap pengunjung atau pemantau persidangan di awal-awal sidang, terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring, diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, hakim dan JPU cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil, minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan, komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian, intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan.
"Adanya pengaburan fakta penembakan gas air mata kebagian tribun penonton, hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter baik di dalam maupun di luar stadion yang tidak diungkap secara utuh," ucapnya.
Rozy mengatakan, pihaknya menilai, proses persidangan ini telah menunjukan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak benar-benar berpihak kepada korban dan keluarga korban kejahatan. Dijatuhkannya vonis yang jauh dari rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban telah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
"Selain itu, proses peradilan ini juga memalukan Indonesia di mata dunia Internasional yang menunjukan potret buruk dan hancurnya negara hukum Indonesia karena hukum dipermainkan sedemikian rupa," tuturnya.