Kampanye di media sosial: Absennya regulasi dan potensi polarisasi
Perkembangan media sosial memengaruhi nyaris semua aspek kehidupan masyarakat. Tak terkecuali politik. Media sosial, seperti YouTube, Twitter, Facebook, atau Instagram dimanfaatkan sebagai “mesin” kampanye partai politik atau kandidat yang bertarung dalam pemilu.
Menurut hasil riset lembaga penelitian kebijakan publik The Indonesia Institute (TII) bertajuk Penataan Kampanye Politik di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang Informatif dan Edukatif yang dipublikasikan beberapa waktu lalu, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye diawali dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
Saat itu, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan kampanye masif lewat video di YouTube, serta narasi di Twitter dan Facebook. Media sosial memungkinkan pasangan kandidat itu menjangkau jutaan pemilih, terutama anak muda.
TII, mengutip laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mendapati ada 210 juta penduduk Indonesia yang terkoneksi dengan internet dalam periode 2021-2022. Penetrasi internet itu mencapai 77,02%. Meningkat tajam dibanding pada 2018 sebesar 64,80% dan periode 2019-2020 73,70%.
Situs web We are Social mencatat, periode 2014-2023 angka pengguna media sosial di Indonesia mengalami peningkatan, dari 62 juta pada 2014 menjadi 167 juta pada 2023.
“Media sosial telah menjadi alat kampanye pada pemilu dan pilkada. Namun, penggunaan media sosial juga memunculkan dampak negatif, yaitu penyebaran ujaran kebencian,” tulis TII dalam laporannya.
Absennya regulasi
Selain ujaran kebencian, media sosial pun rentan penyebaran hoaks. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan, periode Agustus 2018-November 2019 ada 3.901 hoaks yang disebar di media sosial. Kategori politik mendominasi, sebanyak 973 kasus. Pada April 2019, berita bohong menyasar calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu.
Menanggapi dampak positif dan negatif dari penggunaan media sosial untuk kampanye, Manajer Riset dan Program TII Arfianto Purbolaksono mengatakan, TII belum menemukan ada aturan spesifik tentang kampanye politik di media sosial.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu, definisi media sosial belum mengakomodir perkembangan karakteristik media sosial tersebut.
“Sehingga, ketika bicara soal bagaimana nanti pengaturannya yang dilakukan KPU dan pengawasannya yang dilakukan Bawaslu, itu belum berjalan secara sinkron,” katanya kepada Alinea.id, Senin (17/4).
Dalam PKPU 23/2018 disebutkan, akun media sosial untuk kampanye peserta pemilu paling banyak 10 per aplikasi. Namun di Perbawaslu 28/2018, selain mengawasi 10 akun, Bawaslu juga mengawasi akun media sosial yang tak didaftarkan ke KPU.
Jika bicara harmonisasi, kata Arfianto, maka hal tersebut tak terjadi. Sekalipun Bawaslu mencantumkan akan mengawasi 10 akun yang terdaftar. Ia menjelaskan, ada perbedaan penafsiran antara KPU dengan Bawaslu.
“Di aspek regulasi, juga terkait mekanisme pemberian sanksi. Terutama sanksi untuk pelanggaran kampanye di medsos. Dari temuan kami, diperlukan sanksi yang cukup memadai, sehingga menimbulkan efek jera,” ucap Arfianto.
Perihal itu, Arfianto berpandangan, harus diperkuat sanksi administratif. “Sanksi administratif bisa peringatan atau paling beratnya didiskualifikasi,” ucap dia.
Dari aspek implementasi kebijakan, Arfianto mengatakan, masih ada masalah komunikasi, koordinasi, dan sumber daya. Hal itu terjadi bukan hanya di antara KPU dan Bawaslu, tetapi juga di internal masing-masing penyelenggara pemilu. TII menemukan, ada perbedaan persepsi antara pusat dan daerah.
“Akhirnya menyebabkan implementasi kebijakannya tidak berjalan dengan baik. Bahkan, di daerah banyak yang mengeluhkan belum jelas (penjelasanya),” kata dia.
Soal aspek sumber daya, TII menemukan tantangan di sektor kewenangan terkait pengawasan kampanye di media sosial. Media sosial berkelindan dengan Kominfo dan lembaga lain yang punya aturan tersendiri.
Akibatnya, dalam implementasi pengawasan, terjadi perbedaan pendekatan. Kominfo sendiri menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Ketika ada pelanggaran kampanye di medsos, ya harusnya ini masuk ke wilayah atau ranah pemilu,” ujarnya.
“UU Pemilu (Nomor 7 Tahun 2017) tidak memberikan payung hukum bagi mereka (penyelenggara pemilu) untuk menjangkau hal tersebut.”
Masalah sumber daya manusia, berlaku untuk KPU dan Bawaslu. “Sarana dan prasarana serta SDM-nya masih kurang. Artinya, selama ini masih ditangani Kominfo” ucapnya.
Di sektor birokrasi, hingga kini belum ada unit khusus untuk menangani kampanye di media sosial. Tantangan lain yang dihadapi penyelenggara pemilu adalah maraknya akun bot (robot) di media sosial. Banyak unggahan hoaks dan ujaran kebencian disebar akun-akun bot.
Ia menyarankan agar KPU dan Bawaslu berkomunikasi dengan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kominfo untuk menertibkan akun-akun bot tersebut. Regulasinya dibuat dalam bentuk aturan di PKPU dan Perbawaslu.
“Sebelum ke sana, KPU, Bawaslu, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) menyamakan persepsi dulu ketika ingin mengatur lebih teknis tentang kampanye medsos,” ucapnya.
Dalam diskusi di Kantor KPU, Jakarta pada Kamis (13/4), Koordinator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU August Mellaz menyampaikan, KPU memang akan merevisi peraturan terkait kampanye di media sosial.
Anggota Bawaslu Totok Hariyono membenarkan ada pembahasan revisi aturan kampanye di media sosial. Bawaslu, katanya, mendorong agar KPU merumuskan kembali tata cara kampanye.
“Kita sudah lakukan beberapa kali pertemuan (dengan KPU), tapi masih belum ada titik temunya,” ujar Totok, Senin (17/4).
Namun, menurut Totok, Bawaslu mendorong pengaturan kampanye di semua ranah, tak hanya di media sosial. Lantaran masih pembahasan, hingga kini belum diputuskan apakah pengawasan kampanye berpedoman pada PKPU 23/2018 atau PKPU baru hasil revisi.
“Semuanya kita diskusikan, sehingga nanti kalau keluar peraturan KPU yang baru, tidak sepotong-sepotong,” katanya.
“Semua pasti ada sanksinya jika memenuhi unsur-unsur tindak pelanggarannya. Itu kan perlu didiskusikan bareng.”
Pengawasan
Sementara itu, pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya mendukung niat revisi aturan kampanye khusus di media sosial. Berkaca dari Amerika Serikat, jika tak diatur kampanye di media sosial bisa mengakibatkan masyarakat terpecah belah.
“Jadi, mengapa kita bilang medsos itu menyebabkan perpecahan atau lebih tepatnya polarisasi yang makin tajam? Karena sebenarnya, walaupun ada medsos yang sengaja mengeksploitasi ini, tapi secara nature atau sifat dasarnya, medsos dan media-media lain di luar Facebook, mereka memanfaatkan algoritma,” katanya, Senin (17/4).
Algoritma, terang Alfons, sebenarnya tak jahat. Karena hanya menaikan peluang akses terhadap konten. Akan tetapi, dalam politik, hal itu bisa jadi masalah. Misalnya, mengakibatkan polarisasi pada Pemilu 2019, antara pendukung Jokowi yang disebut cebong dan pendukung Prabowo Subianto yang disebut kampret.
“Orang suka video cebong, maka disuguhi video cebong terus. Begitu juga sebaliknya. Jadi, cebong makin cebong, kampret makin kampret,” kata dia.
“Bahayanya jadi ada polarisasi, ada perpecahan. Hal-hal itu yang memang secara ideal harus diawasi.
Idealnya pengawasan kampanye di media sosial dilakukan setiap jam, sehingga ketika diketahui ada konten yang mengarah hoaks atau ujaran kebencian, bisa segera ditindaklanjuti.
Mengingat banyaknya akun media sosial dibandingkan sumber daya manusia penyelenggara pemilu, Alfons menyarankan penyelenggara pemilu memanfaatkan peserta pemilu untuk saling mengawasi dengan membuat wadah pengaduan.
Sedangkan masalah akun-akun bot, Alfons mengatakan, bisa ditindaklanjuti dengan melibatkan berbagai lembaga, seperti Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan kepolisian.
Terpisah, Ketua Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menyampaikan, aturan kampanye di media sosial harus mengikuti prinsip kesetaraan, transparansi, dan akuntabilitas. Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
“Pertama, soal batasan biaya kampanye online. Saat ini, tidak ada batasan biaya yang diperbolehkan dalam kampanye pemilu lewat medsos di Indonesia,” ujarnya, Senin (17/4).
Pratama menjelaskan, aturan pembatasan biaya itu diperlukan agar tak ada ketidakadilan dalam proses kampanye. Ia mencontohkan, di Amerika Serikat ada lembaga independen bernama The Federal Election Commission (FEC), yang salah satu tugasnya melaporkan keuangan dan batas sumbangan kampanye.
“Kedua, perlu mengatur batasan waktu kampanye di medsos,” ujarnya. “Ketiga, soal transparansi informasi.”
Ia menerangkan, peserta pemilu mesti menyertakan informasi tentang siapa yang membayar iklan dan melapor keuangan kampanyenya. Bahkan, di Facebook sudah diatur soal iklan politik yang harus mencantumkan kartu identitas pengiklan.
“Hal itu dianggap sebagai pertanggungjawaban konten iklan bahwa konten bebas dari hoaks dan juga sebagai penanda orang tersebut pembayar iklan di Facebook,” tuturnya.
“Di Indonesia, regulasi dari Facebook ini sudah berjalan sejak pilkada di akhir tahun 2020.”
Selain itu, perlu diperhatikan terkait perlindungan data pribadi. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi harus diinternalisasi KPU dalam setiap aturan kampanye, termasuk di media sosial.
“Artinya, saling serang antarakun jangan sampai (ada) eksploitasi data pribadi hanya bertujuan saling memojokkan,” kata dia.
“Bila ini terjadi, KPU dan Polri seharusnya bisa menegakkan aturan dengan berbagai instrumen hukum yang ada.”
Lebih lanjut, kata Pratama, masyarakat dan penyelenggara pemilu pun dapat melakukan pemantauan algoritma lewat teknologi, seperti artificial intelligence (AI) atau machine learning (ML). Pemerintah, KPU, dan elemen masyarakat bisa pula berkolaborasi dengan platform media sosial untuk memperkuat pengawasan.
“Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam pengawasan kampanye pemilu di medsos, dengan melaporkan konten kampanye yang mencurigakan atau melanggar aturan ke Bawaslu atau lembaga terkait lainnya,” ucap Pratama.