close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019)/Foto Antara/Galih Pradipta.
icon caption
Seorang warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019)/Foto Antara/Galih Pradipta.
Politik
Rabu, 17 Februari 2021 08:57

Belajar dari kasus Jiwasraya-ASABRI, pemerintah perlu benahi tata kelola BUMN

Jangan sampai penunjukan Direksi dan Komisaris BUMN karena balas budi.
swipe

Pemerintah diminta untuk benahi tata kelola perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pasca-munculnya kasus dugaan skandal megakorupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Adanya kasus dugaan rasuah di perusahaan asuransi pelat merah itu mencerminkan tata kelola perusahaan BUMN penuh persoalan.

"Terus bermunculannya kasus yang menimpa perusahaan BUMN menandakan bahwa pengelolaan BUMN masih sangat perlu diperbaiki lagi. Dan ini menjadi PR besar Pemerintah untuk dapat memperbaiki tata kelola BUMN, agar kedepannya BUMN yang ada dapat memberikan kontribusi bagi negara dan juga rakyat Indonesia," kata anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina, dalam keterangnnya, Rabu (17/2).

Nevi melanjutkan, kontribusi perusahaan BUMN untuk memberikan deviden ke negara masih terbilang minim. Padahal, kata dia, ada 142 perusahaan BUMN dan sekitar 800 anak perusahaan di bawah naungan BUMN yang tercatat hingga akhir tahun 2019.

"Menurut data yang dipublikasikan oleh Laporan Keuangan pemerintah Pusat (LKPP) pada tahun 2018 total penerimaan pemerintah dari pembayaran deviden BUMN hanya sebesar Rp45,06 triliun, dan itu sekitar Rp38,74 triliun atau setara dengan 85,97% dari total dividen yang diterima pemerintah ternyata hanya berasal dari 10 BUMN saja," paparnya.

Politikus PKS ini menilai perlu ada pembenahan tata kelola perusahaan BUMN perlu diawali dengan merombak jajaran direksi dan komisaris. Sebab, lanjutnya, terdapat contoh dalam kasus dugaan korupsi di tubuh ASABRI yang bermuara dari kesepakatan manajemen dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat untuk mengatur dan mengendalikan portofolio investasi ASABRI dalam bentuk saham dan reksa dana.

"Banyak hal yang sangat disayangkan, salah satunya kesepakatan yang diambil oleh kedua orang yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi tersebut justru membuat rugi perusahaan dan sebaliknya yang diuntungkan adalah kedua pihak tersebut," kata Nevi.

"Pembenahan tata kelola BUMN seharusnya diawali dengan pembenahan jajaran Direksi dan Komisaris yang ada di perusahaan BUMN, mengingat posisi mereka memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalankan BUMN," imbuh Nevi.

Nevi mengingatkan, penunjukan direksi dan komisaris lerlu memperhatikan Pasal 16 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Dalam ketentuan itu, pengangkatan direksi dan komisaris BUMN harus berdasarkan pertimbangan integritas, jujur, perilaku yang baik, keahlian, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan.

"Oleh karenanya untuk mengawali perbaikan tata kelola BUMN, penunjukkan Direksi dan Komisaris BUMN harus benar-benar melihat pertimbangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. Jangan sampai direksi dan komisaris ditunjuk karena balas budi pemerintah, sehingga faktor kapasitas dan integritas diabaikan," tegas Nevi.

Dalam perkara dugaan korupsi PT ASABRI ini telah ditetapkan delapan orang tersangka, yakni mantan Dirut ASABRI 2011-2016 Adam Rahmat Damiri, mantan Dirut ASABRI 2016-2020 Soni Widjaya, terdakwa kasus korupsi Jiwasraya Heru Hidayat dan Benny Tjokro.

Kemudian, Lukman Purnomosidi selaku Dirut PT Prima Jaringan, inisial Hari Setiyono selaku mantan Direktur Investasi ASABRI, Bachtiar Effendy mantan Direktur Keuangan ASABRI, Ilham W Siregar selaku mantan Kepala Divisi Investasi ASABRI.

Penyidik mengenakan para tersangka dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kemudian subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU 33 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan