Kasus penculikan aktivis oleh Prabowo "nendang" lagi
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, kali keempat maju pada pemilihan presiden (pilpres). Sayangnya, rekam jejaknya, khususnya saat aktif di militer, kini tidak banyak disinggung. Padahal, perlu dicermati secara saksama oleh pemilih agar bisa mendapatkan gambaran utuh.
Inilah yang mendasari eks aktivis '98, Azwar Furgudyama, merilis bukunya berjudul Buku Hitam Prabowo Subianto jelang Pilpres 2024. Buku terdiri dari 7 bab yang membahas tentang penculikan aktivis, kerusuhan Mei 1998 dan dugaan keterlibatan Prabowo, upaya Prabowo "mengudeta" Presiden BJ Habibie, hingga rekam jejaknya di Timor Leste dan Papua.
"Kita tidak bisa mengabaikan jejak masa lalunya untuk bisa lebih jelas menilai apakah ia layak untuk memimpin bangsa ini atau tidak. Kita tidak boleh hanya terpukau dengan tampilan artifisial, seperti narasi gemoy yang ramai belakangan," katanya.
"Sebagai aktivis '98, kita dihadapkan oleh panggilan kesejarahan saat masa transisi dan membangun masa depan, yang tentu saja kita semua tidak ingin kembali ke masa Soeharto. Ini penting diketahui oleh semua pihak," imbuhnya.
Menurut Azwar, kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat oleh Prabowo merupakan masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, bertalian dengan hak asasi warga untuk hidup aman, terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, represi, hingga penculikan.
Sialnya, ungkap dia, keterlibatan Prabowo dalam berbagai kasus pelanggaran HAM, seperti penculikan aktivis, kerap dituding sebagai isapan jempol atau kaset rusak yang diputar ulang jelang pemilihan umum (pemilu). Baginya, isu ini terus muncul lantaran belum adanya proses hukum terhadap Prabowo, apalagi bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatannya amat jelas.
"Selain keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pemberhentiannya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mei 1998 juga mendesak agar ia dibawa ke peradilan militer. Bahkan, yang sulit terbantahkan adalah pengakuan Prabowo sendiri, bahwa ia memang menculik para aktivis," bebernya.
Dalam putusannya, ungkap Azwar, DKP menyatakan Prabowo melakukan tindak pidana penculikan. Pelanggaran tersebut tidak saja tak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan Perwira TNI, tetapi turut merugikan kehormatan bangsa dan negara.
Sementara itu, Prabowo mengklaim hanya menculik 9 aktivis dan semuanya sudah dibebaskan. Namun, menurut kesaksian korban yang dibebaskan, masih ada beberapa aktivis lain yang turut diculik dan belum jelas rimbanya hingga kini. "Artinya, 13 orang itu ada dalam satu kelompok dengan mereka yang kemudian dibebaskan, sebagaimana yang kami paparkan juga dalam buku ini," jelasnya.
"Melihat rekam kelam Prabowo, sulit untuk tidak mengatakan bahwa ia bisa jadi akan menoleransi kekejaman-kekejaman serupa jika menjadi presiden. Saat di militer saja ia telah melampaui kewenangannya, tidak mengikuti prosedur, dan menyingkirkan pertimbangan kemanusiaan demi stabilitas,” sambungnya.
Singgung cawe-cawe Jokowi
Lebih jauh, Azwar menerangkan, Buku Hitam Prabowo Subianto juga menyinggung tentang cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2024. Ia meyakini Jokowi turut berperan secara tidak langsung dalam terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dapat maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo.
Eks aktivis Forum Kota (Forkot) itu berpandangan, putusan tersebut kontroversial karena lahir dari proses yang menabrak etik dan sarat konspirasi. Ini diperkuat dengan adanya Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) Nomor MKMK/L/11/2023, di mana hakim MK cum adik ipar Jokowi, Anwar Usman, dinyatakan melanggar etik berat sehingga dicopot dari jabatannya.
"Putusan kontroversial itu sarat kepentingan politik, terutama karena MK diketuai Anwar Usman, paman Gibran, yang diduga turut melobi dan mengintervensi hakim konstitusi lain agar mengabulkan uji materi pasal dalam UU Pemilu serta menambah norma [hukum] baru. Dan Gibran amat sangat jelas adalah pihak yang memetik manfaat atas itu," urainya.
Azwar melanjutkan, upaya Jokowi meloloskan Prabowo-Gibran sebagai kandidat Pilpres 2024 merupakan mengancam masa depan demokrasi Indonesia yang susah payah dibangun sejak 1998. Diamnya Prabowo atas hal ini dinilai mengonfirmasi bahwa dirinya tidak peduli soal cara-cara bobrok untuk meraih kekuasaan selama menguntungkannya.
"Ini bukan hanya soal meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden atau narasi anak muda seperti yang dikampanyekan, tetapi menyangkut muruah hukum di negeri ini, salah satu aspek penting demokrasi," tegasnya. "Bila MK saja dapat diintervensi, lalu apakah mungkin seluruh instrumen demokrasi elektoral ini bisa bekerja dan berjalan fair?"
Pada kesempatan sama, pengamat militer Centra Initiative, Al Araf, menilai, kembalinya Prabowo Subianto sebagai salah satu kontestan Pilpres 2024 berpotensi mengembalikan junta militer di Indonesia dan mengancam demokrasi yang diperjuangkan saat reformasi 1998. Ia lantas membandingkan sistem prareformasi dengan saat ini.
"Salah satu semangat reformasi adalah memisahkan peran [dwifungsi] TNI untuk kembali kepada fungsi utamanya, yaitu pertahanan. Di masa Soeharto, diktator militer begitu kuat dan mencengkeram kebebasan sipil. Bahkan, tidak sedikit aktivis demokrasi yang meregang nyawa untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebebasan sipil. Mengapa saat ini potensi kemunculan itu besar? Contohnya, kontroversi penambahan komando daerah militer (kodam) di 38 provinsi yang sebenarnya tidak ada urgensinya. Masalahnya justru bukan itu, tetapi bagaimana memenuhi standar pertahanan militer (MEF) kita dapat terpenuh. Itu sebenarnya yang diharapkan. Sekarang, melalui Prabowo, potensi kembalinya junta militer semakin besar saat berpasangan dengan putra sulung presiden di Pilpres 2024," tuturnya.
"Tampaknya ada upaya untuk mengembalikan muruah Soehartoisme dalam konteks pemilu, di mana Prabowo Subianto, yang mempunyai riwayat kelam, bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka, saat ayahnya masih aktif menjabat presiden," imbuh dia.
Al Araf pun mengajak semua kelompok masyarakat sipil untuk melakukan konsolidasi agar potensi itu tidak terjadi sekaligus memastikan proses demokrasi dapat terus berjalan. "Ini potensi akan nyata terwujud bila elemen sipil tidak bersuara, tidak bergerak, serta tidak melakukan konsolidasi. Sebab, saat ini, semangat reformasi '98 bukan hanya tercederai, tetapi berpotensi mati bahkan terbatasnya iklim kebebasan berdemokrasi nantinya akan jauh lebih sulit dari masa Soeharto dulu."
Sudah basi
Terpisah, eks aktivis '98 sekaligus Ketua Relawan Prabowo Mania 08, Immanuel Ebenezer, sesumbar bahwa apa yang dituliskan dalam Buku Hitam Prabowo Subianto, khususnya menyangkut pelanggaran HAM berat dan penculikan aktivis, sudah basi atau kedaluwarsa. Kilahnya, Menteri Pertahanan (Menhan) itu selalu lolos verifikasi kontestasi pilpres.
Ia justru menuding kembali naiknya isu tersebut semata-mata karena kepentingan politik praktis. "Maraknya penyebaran berita-berita yang mendeskreditkan beliau jelas dihembuskan dengan dasar muatan politik jelang pilpres."
Noel, sapaannya, melanjutkan, jika ditelusuri lebih dalam, mayoritas pihak-pihak yang dirugikan dalam kejadian '98 sudah berada di dalam barisan Prabowo. Pun demikian dengan elite militer yang mengadilinya, mendukung bahkan masuk Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
"Kalau memang para pendukung penegak HAM di Indonesia sungguh serius untuk memperjelas proses hukum pelanggaran HAM di masa lalu, saya tantang untuk menuntut pasangan calon andalannya untuk juga berani ambil sikap dalam menyoroti kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, seperti halnya peristiwa Sabtu kelabu, 27 Juli 1996," ucapnya.