Ke mana arah politik kelompok abangan?
Putro Adjie Pratomo, 27 tahun, lahir dan tumbuh besar di lingkungan santri. Tepatnya di kawasan pesisir Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Namun, ia menolak disebut termasuk kategori santri.
“Saya enggak masuk kategori santri,” ujar pria yang bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di kawasan Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah kepada Alinea.id, Selasa (12/9).
Perjalanan hidup membuatnya lebih mengidentifikasikan diri sebagai abangan. Terkait pemilu, ia mengaku lebih condong melabuhkan suara ke partai politik bercorak nasionalis.
“Pertimbangannya lebih ke arah dan pergerakan partainya,” ujar dia.
“Kan kalau partai-partai agama, khususnya Islam, (dugaan saya) rata-rata mau menegakkan syariat Islam.”
Ia menuturkan, Kota Pekalongan masih kuat kultur Nahdlatul Ulama (NU). Di kota kelahirannya itu, menurut Putro, kalau ingin mendulang suara dalam pemilu, partai politik perlu mengusung tokoh agama.
Posisi abangan
Tak jauh berbeda, Faisal Rahman, 27 tahun, mengaku masuk kelompok abangan. Dalam politik, pria yang bekerja di sebuah bank swasta di Kota Tangerang, Banten itu memilih mengesampingkan nilai-nilai agama. Hal itu menjadi alasan ia bakal memilih partai politik nasionalis ketimbang agama.
“Pertimbangannya, pilihan referensi (politik) saya lebih ke sekuler. Tentu yang jadi pilihan partai nasionalis,” ucap Faisal, Selasa (12/9).
Faisal merasa memiliki kedekatan emosional dengan partai politik nasionalis. Ia menilai, partai politik nasionalis tidak berlebihan memperkenalkan citranya.
Pada Maret lalu, lembaga riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei bertajuk “Santri, Abangan, dan Pemilihan Presiden 2024”. Survei itu bertujuan mengetahui pengaruh warga muslim dari etnis Jawa dalam pilpres mendatang, menggunakan konsep yang diperkenalkan antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz—membagi muslim Jawa menjadi kategori santri, abangan, dan priayi.
Dalam survei itu, 52,4% responden mengaku santri, 22,3% abangan, dan 1,4% priayi. Dari 52,4% yang mengaku santri, 60% mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres. Selebihnya, 20% memilih Prabowo Subianto dan 15% Anies Baswedan. Sebanyak 5% tak menjawab atau tidak tahu.
Sedangkan abangan, memilih Ganjar 58%, Anies 14%, dan Prabowo 11%. Sebanyak 16% tidak menjawab atau tidak tahu.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Bambang Hudayana menjelaskan, Geertz membagi kategori santri, abangan, dan priayi usai melakukan penelitian di sebuah desa di Kediri, Jawa Timur pada 1950-an.
Dalam buku Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Geertz menulis, santri adalah kelompok muslim yang taat melaksanakan ritual dasar Islam secara cermat dan teratur. Mereka juga mempraktikkan ajaran Islam dalam organisasi sosial, kedermawanan, serta politik. Mayoritas menjadi pedagang.
Priayi memelihara etiket keraton dan mistisisme Hindu-Buddha. Mereka tak menekankan elemen animistis dan sinkretisme Jawa, tak pula menekankan elemen Islam. Melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Sementara abangan merepresentasikan penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa. Disebutkan Geertz, tradisi keagamaan abangan terdiri dari pesta yang disebut slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, magis, serta praktik pengobatan. Mereka mayoritas bekerja sebagai petani.
Dalam perkembangannya, istilah abangan menyempit menjadi golongan masyarakat yang menganut agama Islam, namun tak konsisten dalam menjalankan perintah agama.
“Riset Clifford Geertz itu disebut aliran. Jadi ada lapisan sosial yang menjalankan dan menjadi kultur, menjadi sesuatu bukan hanya kegiatan keagamaan, tapi kulturnya,” tutur Bambang, Senin (11/9).
Pada masa Orde Baru, menurut Bambang, abangan mendapat stigma dari rezim sebagai kelompok yang dikonotasikan syirik atau agama yang tak jelas identitasnya. Orde Baru pun menganggap abangan dekat dengan PKI.
Lalu, secara keagamaan, abangan “bertransformasi” dan menggunakan istilah Islam Jawa atau kejawen. Pertimbangannya, kata Bambang, membawa bendera budaya tak akan dijatuhkan penguasa.
“Pada era Soeharto, justru orang abangan banyak ditarik ke Golkar. Dulu kan (abangan) simpatisan partai nasionalis sama sebagian PKI, tapi karena takut dan diintimidasi, mereka ikut Golkar,” ujarnya.
Memasuki era reformasi, Bambang menyebut, santri dan abangan masih menjadi varian penting dalam menjelaskan perilaku politik.
“Yang 22,3% (hasil survei SMRC) itu mungkin kelompok abangan yang bertransformasi menjadi Islam Jawa atau kejawen, yang kemudian cenderung memilih partai nasionalis,” tutur Bambang.
Terpisah, peneliti SMRC, Saidiman Ahmad mengatakan, dalam Pemilu 1955 tak ada riset serupa yang dilakukan SMRC. Namun, ada penelitian yang dilakukan Guru Besar Sosiologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo.
Penelitian tersebut menemukan, kelompok abangan lebih banyak, jika dilihat dari perolehan suara partai-partai nasionalis, dibandingkan partai-partai Islam. Pada Pemilu 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) keluar sebagai pemenang, dengan 8,4 juta suara.
“Kalau kita gabungkan (suara partai-partai nasionalis dan partai-partai Islam di Pemilu 1955) hampir sama sebetulnya, tapi sedikit lebih dominan abangan,” kata Saidiman, Senin (11/9).
Partai nasionalis menguat
Bambang mengatakan, partai-partai politik bercorak Islam berlomba-lomba berebut suara dari kelompok santri. Sedangkan kelompok abangan bermuara ke partai-partai politik nasionalis, terutama PDI-P.
Selain PDI-P, ujar Bambang, ada kemungkinan kelompok abangan melabuhkan suaranya ke Partai Gerindra, Partai NasDem, dan Partai Golkar. Alasannya, tiga partai politik itu diasosiasikan sebagai partai nasionalis.
Lebih lanjut, Bambang menuturkan, di luar Suku Jawa, misalnya Suku Sunda, punya kelompok kuat Islam, yang dalam politik lebih banyak memilih PKS. Akan tetapi, masyarakat yang masih menganut kepercayaan lokal, semisal Sunda Wiwitan, diduga lebih dekat dengan partai politik bercorak nasionalis. Situasi tersebut, menurut Bambang, terjadi karena ada anggapan partai politik nasionalis lebih menghargai kebudayaan daerah.
“Di luar Jawa, banyak sekali kelompok atau suku yang masih menganut agama lokal. Pasti kelompok agama lokal ini lebih merasa nyaman dengan partainya orang abangan (nasionalis),” kata Bambang.
Dinamika politik kekinian, jelas Saidiman, terjadi perubahan lantaran jumlah santri lebih banyak dari abangan—berdasarkan hasil survei SMRC. Namun, menurutnya, partai-partai politik nasionalis tetap dominan. Bahkan cenderung menguat.
Situasi tersebut mengindikasikan, walau masyarakat lebih religius, tetapi pilihan politik tetap ke partai-partai nasionalis. “(Fenomena) ini yang disebut gejala sekularisasi,” ujar Saidiman.
Bergesernya pilihan politik kaum santri, kata Saidiman, kemungkinan karena mereka sudah bisa membedakan antara otoritas agama dan politik. Kaum santri tetap menjalankan ritual keagamaan dan menghargai tokoh agama, tetapi ketika masuk bilik suara yang bekerja adalah rasionalitas.
“Mereka (santri) memilih karena kinerjanya, misalnya. Mereka memilih karena dilihat rekam jejaknya, melihat platform-nya, atau tawaran-tawaran kebijakan yang diberikan,” ucap Saidiman.
Meski saat ini abangan lebih sedikit dari santri, tetapi pengaruh suara abangan tetap signifikan pada partai politik nasionalis.
“Kelompok abangan solid ke mereka (partai politik nasionalis). Kemudian dari santrinya terbelah. Santri ini tidak hanya ke partai Islam, tapi ke partai nasionalis,” tutur Saidiman.
Pada Pemilu 2019, Jawa Barat yang dianggap kuat kalangan agamanya, justru Partai Gerindra yang menang dengan 4,3 juta suara. Di Jawa Timur, yang juga dinilai punya basis agama kuat, PDI-P yang unggul dengan 4,3 juta suara.
“Kalau kita membandingkan pemilu ke pemilu, memang partai-partai nasionalis semakin menguat, sementara partai-partai Islam semakin kecil ceruk (pemilihnya),” ucap Saidiman.
Saidiman mengatakan, partai Islam di DPR hanya PPP dan PKS. Dalam Pemilu 2019, PPP memperoleh 4,52% suara dan PKS 8,21% suara. Bila PAN yang mendapat 6,84% suara dan PKB 9,49% dikategorikan sebagai partai Islam, maka total suaranya 29,26%.
Hasil itu jomplang dibandingkan partai-partai nasionalis. Ketika itu, PDI-P memperoleh 19,33% suara, Partai Gerindra 12,57% suara, Partai Golkar 12,31% suara, Partai NasDem 9,05% suara, dan Partai Demokrat 7,77% suara.
“Bahkan, di pemilu kemarin (2019) ada partai Islam lain, yakni PBB (Partai Bulan Bintang), kan tidak masuk ke dalam parlemen. Padahal PBB dianggap sebagai pelanjut Masyumi, yang dahulu (Pemilu 1955) menjadi partai Islam terbesar,” kata Saidiman.
Sementara itu, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menegaskan, suara abangan tak bisa dipandang remeh. “Jumlahnya besar. Buktinya partai Islam tidak pernah mendapatkan dukungan yang sebanyak itu (partai-partai nasionalis),” ucap Siti, Senin (11/9).
Bahkan, menurut Siti, sepanjang diadakannya pemilu di Indonesia, belum pernah ada satu pun partai Islam yang keluar sebagai pemenang. Menurutnya, hal itu disebabkan partai-partai Islam terpecah.
Di samping PPP dan PKS, kini ada Partai Ummat besutan Amien Rais. Lalu, pada Pemilu 2019 ada Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Tahun 2022, tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin mendeklarasikan Partai Pelita. Pada 2021, muncul Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI).
“Jadi fragmentasinya luar biasa, sehingga (perolehan suara di pemilunya) nol koma saja akhirnya,” ujar Siti.
“Kalau menurut saya, seharusnya dievaluasi. Elite-elite dan tokoh-tokoh Islam (harus) punya terobosan bagaimana ketika ikut berpolitik. Belajarlah dari PDI-P dan Golkar.”