Bau busuk kejar tayang revisi KUHP
Kabar mengenai rencana DPR melanjutkan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diketahui Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Sultan Rivandi dari pemberitaan di media massa. Membaca berita itu, Sultan kontan berang.
"Mestinya DPR menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19. Bukan malah memanfaatkan situasi," ucap Sultan kepada Alinea.id di Jakarta, Sabtu (4/4).
September 2019 lalu, Sultan bersama sejumlah rekannya di UIN Jakarta ikut turun ke jalan menolak rencana pembahasan dan pengesahan revisi KUHP yang bergulir di Gedung DPR. Selama berhari-hari, mereka menyambangi kawasan parlemen untuk memprotes beleid yang dipenuhi pasal bermasalah itu.
Gelombang unjuk rasa yang kerap dilabeli aksi "Reformasi Dikorupsi" itu sukses. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pengesahan revisi KUHP ditunda. Belakangan, anggota DPR 2014-2019 juga sepakat memundurkan pembahasan beleid itu ke periode berikutnya.
Kini, wacana pembahasan draf revisi KUHP kembali digulirkan. Dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Kamis (2/4) lalu, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin bahkan sesumbar revisi KUHP bisa dibahas dan disahkan dalam sepekan.
Sultan menyebut rencana tersebut kental nuansa kepentingan politik. Apalagi, aksi unjuk rasa untuk mengawal pembahasan bakal sulit dilakukan mengingat pemerintah telah melarang kerumunan lebih dari lima orang untuk mencegah penularan Covid-19.
"Bila (revisi KUHP) dipaksakan, berarti ada intrik memanfaatkan keadaan manusia yang sedang lemah. Kami sarankan jangan membuat masyarakat marah," ujar Sultan.
Anggota Komisi III DPR dari fraksi Gerindra Habiburokhman membela rencana menghidupkan kembali pembahasan revisi KUHP. Menurut dia, pembahasan tak boleh berhenti hanya karena alasan darurat pandemi Covid-19.
"Jangan dibenturkan antara kerja DPR reguler dengan respons terhadap pandemi Corona. Keduanya harus sama-sama bisa berjalan. Yang penting, proses tersebut harus transparan dan memenuhi semua ketentuan hukum," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (5/4).
Habiburokhman mengklaim Gerindra telah sepakat bila revisi KUHP dibahas pada masa sidang 2020. "Enggak ada masalah bila dibahas karena DPR memang harus tetap bisa menjalankan tupoksinya," ujar dia.
Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil setali tiga uang. Menurut Nasir, revisi KUHP bisa dibahas asalkan DPR tetap mematuhi protokol social dan physical distancing yang dikeluarkan pemerintah.
"RKUHP itu lebih baik dibahas. Tapi, harus mencari format pembahasannya seperti apa. Karena mengumpulkan orang pada saat ini juga bukan hal mudah. Oleh sebab itu, kami serahkan ke pimpinan DPR untuk mencari formulasi juga agar tidak menjadi lama pembahasan ini," ucapnya.
Menurut Nasir, mau tidak mau revisi KUHP harus dibahas. Jika tidak, draf revisi UU peninggalan era kolonial itu bakal terus menjadi ganjalan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun DPR setiap tahun.
"Tentu saja kita enggak mau berlama-lama. Beberapa isu yang waktu itu disebut kontroversial itu harus dibahas kembali. Dibicarakan kembali sehingga kemudian norma-norma di RKUHP nanti itu kompatibel dan bisa diterapkan," ujarnya.
DPR tak satu suara
Suara berbeda diutarakan anggota Komisi III DPR dari fraksi Demokrat Didik Mukrianto. Menurut Didik, tak elok jika revisi KUHP dibahas saat Indonesia tengah dibekap pandemi.
"Seharusnya DPR mengutamakan dulu keselamatan masyarakat. Tunda dulu pembahasan UU termasuk RUU KUHP hingga Indonesia terbebas dari Covid-19," ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (5/4).
Menurut dia, draf revisi KUHP masih membutuhkan sosialisasi dan uji publik yang lebih luas supaya tidak terus diselimuti kontroversi. Ia pun memandang publik bakal sulit dilibatkan dalam pembahasan dalam situasi seperti saat ini.
"RKUHP ini kehadirannya sangat dibutuhkan saat sekarang dan ke depan, bukan hanya sebagai upaya dekolonialisasi, tapi juga sebagai ikhtiar membangun criminal justice system yang baik untuk bangsa ini. Untuk itu, dukungan masyarakat dan legitimasi publik menjadi faktor penting pengesahan RUU KUHP ini," tutur dia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding juga berpendapat serupa. Kepada Alinea.id, ia mengatakan, sebaiknya pembahasan revisi KUHP ditunda hingga situasi lebih kondusif.
"Justru kita berharap agar pemerintah dan DPR bersama-sama memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19 agar dapat diatasi penyebarannya supaya tidak lebih banyak menelan korban jiwa," kata Sudding.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai rencana DPR untuk membahas revisi KUHP di tengah pandemi berisiko menggerus kepercayaan publik terhadap parlemen. Apalagi, publik hampir pasti tidak bisa terlibat aktif dalam pembahasan.
"Pandemi ini tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengesahkan RUU yang masih mengandung banyak permasalahan dan tidak dibahas secara inklusif," ujar Erasmus kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut catatan ICJR, setidaknya ada 13 kelompok pasal bermasalah dalam draf revisi KUHP pada 2019. Pasal-pasal itu, di antaranya mengatur soal hukum yang hidup di masyarakat, penghinaan terhadap presiden, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, tindak pidana korupsi, dan makar.
Erasmus menilai ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal itu perlu direvisi terlebih dahulu sebelum masuk meja pembahasan. Ia pun meminta DPR dan pemerintah melibatkan pihak-pihak yang bakal terdampak oleh pasal-pasal dalam revisi UU tersebut.
"Selama ini pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana, tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak seperti, bidang kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi," terang dia.
Ketimbang memaksakan pembahasan, Erasmus menyarankan agar DPR membuka ruang diskusi secara daring untuk memfasilitasi koreksi terhadap subtansi pasal-pasal kontroversial di draf UU tersebut. "Untuk menyosialisasikan, mendapatkan masukan, dan menjangkau pelbagai pihak seluas-luasnya," imbuh dia.
Publik tak akan tinggal diam
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch. Nurhasim menilai pembahasan revisi KUHP tidak mendesak. Menurut dia, KUHP yang berlaku saat ini masih cukup memadai sebagai pegangan hukum dalam mengatur ketertiban publik di tengah pandemi.
"Harus dilihat urgensinya. Pembahasan percepatan UU itu kan terjadi bila ada kekosongan hukum. Sementara ini, KUHP yang ada masih memadai untuk mengatur tertib sosial, tertib politik, dan lain sebagainya," jelas Nurhasim.
Menurut dia, publik tak menuntut DPR agar segera menyelesaikan revisi KUHP atau mengejar target legislasi. Karena itu, ia menduga ada agenda terselubung yang tengah dikejar kalangan politikus Senayan jika revisi KUHP benar-benar dikebut.
"Makanya, mereka (bisa saja) sengaja mau bahas (revisi) di saat orang-orang mobilitasnya terhambat. Biar enggak didemo lagi. Bila seperti itu, RKUHP nasibnya sama kayak RUU KPK," kata dia.
Lebih jauh, Nurhasim mengingatkan, DPR dan pemerintah bakal "menuai badai" jika revisi KUHP dibahas dan disahkan tanpa perubahan berarti terhadap pasal-pasal kontroversial. Revisi kejar tayang model itu juga potensial digugat ke Mahkamah Konstitusi.
"Karena RKHUP ini kan akan punya dampak yang sangat besar kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu dibicarakan secara hati-hati. Apalagi, ada banyak pasal kontroversialnya," terang dia.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur sepakat langkah DPR menggulirkan kembali rencana membahas KUHP di tengah pandemi sebagai upaya mengurangi resistensi publik.
"Cara ini sudah tidak sesuai dengan mandat konstitusi di mana diisyaratkan harus ada partisipasi publik, keterbukaan, dan keterlibatan masyarakat. Ini benar-benar keterlaluan. Di saat kita fokus membahas Covid-19, ini malah membahas UU yang mengandung resistensi," ujar dia.
Proses pembahasan bernuansa aji mumpung itu, lanjut Isnur, potensial menjadikan revisi KUHP bernasib sama dengan revisi UU KPK, yakni diloloskan dengan segudang pasal bermasalah.
"Bila (model seperti) itu berulang lagi, ini sama saja dengan tidak menyelesaikan masalah dan justru memancing masyarakat untuk bergerak," kata Isnur.