close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rapat paripurna penngesahan UU MD3/AntaraFoto.
icon caption
Rapat paripurna penngesahan UU MD3/AntaraFoto.
Politik
Rabu, 21 Februari 2018 14:15

Kekagetan presiden tak halangi berlakunya UU MD3

Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut UU MD3 tetap akan berlaku per Maret 2018 meski tanpa tanda tangan Presiden Jokowi.
swipe

Senin, 12 Februari lalu, rapat paripurna DPR sepakat mengesahkan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Meski diwarnai aksi walk out Fraksi PPP dan Fraksi Nasdem, rapat yang dihadiri Menkumham Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah itu menyepakati sejumlah poin perubahan pada UU MD3, seperti penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD. Poin lain terkait kewenangan parlemen dalam pemidanaan terhadap penghinaan yang dianggap menghina martabat legislatif serta perlunya izin presiden dalam pemeriksaan anggota dewan oleh aparat penegak hukum.

Namun, delapan hari berselang, Yasonna menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan menandatangani UU MD3 tersebut. Orang nomor satu di Indonesia itu kaget terkait pengesahan regulasi yang mengatur lembaga legislatif.

"Jadi Presiden cukup kaget juga, makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan menandatangani, " jelas Yasonna H Laoly seperti dikutip dari Antara, Rabu (21/2).

Kader PDIP itu mengaku telah memaparkan dinamika UU MD3, termasuk latar belakang serta dialog panjang dengan parlemen. Yasonna menambahkan, Presiden Jokowi awalnya tidak mengetahui isi perubahan UU MD3 tersebut. Meski demikian, ia memastikan UU MD3 bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Cara menyanggah ke MK. Ingat, saat saya keluar paripurna, daripada melelahkan, lebih baik kami gugat ke MK,” sambungnya.

Sementara Ketua DPR Bambang Soesatyo mengungkapkan UU MD3 tetap berlaku meski seandainya tak ditandatangani Presiden Jokowi. Menurutnya, revisi UU MD3 sudah melalui pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR sesuai mekanisme dan melibatkan pemerintah. Namun, politikus Partai Golkar itu optimistis Kepala Negara akan menandatangani regulasi yang sudah disepakati oleh anggota parlemen.

"UU itu dibahas dengan pemerintah dan DPR. Saya masih berkeyakinan Jokowi akan tanda tangan, walaupun tidak sesuai mekanisme UU itu bulan Maret akan berlaku," ujarnya.

Menanti ketegasan Presiden Jokowi

Kekagetan Presiden Jokowi atas pengesahan UU MD3 dinilai sebagai cerminan buruknya manajemen pemerintahan. Secara hukum, sikap tersebut tidak berdampak apa-apa karena tidak menghalangi berlakunya UU Perubahan UU MD3.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono memaparkan, sebenarnya presiden telah bersepakat terhadap semua substansi dalam RUU tersebut. Merujuk Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945, disebutkan bahwa suatu rancangan undang-undang tidak akan menjadi Undang-Undang jika tidak dibahas dan mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden.

(Rapat paripurna anggota DPR.AntaraFoto

Selain itu, berdasarkan Pasal pasal 49 ayat (2) UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan presiden dapat menugaskan menteri untuk mewakili presiden membahas suatu RUU bersama DPR. “Dengan logika yang demikian, maka tidak bisa di kemudian hari apabila ada persoalan maka presiden menyatakan tidak ikut bertanggung jawab atas RUU karena pada dasarnya menteri bertindak atas nama presiden,” terang Bayu saat berbincang dengan Alinea.

Menurutnya, sikap presiden yang tidak segera mengesahkan UU MD3 justru akan menghambat publik untuk dapat segera menguji ke MK. Hal ini dikarenakan hukum acara MK mensyaratkan hanya UU yang telah disahkan presiden dan diundangkan yang dapat jadi obyek pengujian di MK.

Sedangkan jika presiden memang menolak UU MD3, Bayu menyarankan Kepala Negara untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menghapus pasal-pasal dalam UU Perubahan UU MD3 yang ditolak mayoritas publik.

Menurutnya, jalan membuat Perppu ini dijamin oleh Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tafsir putusan MK tahun 2009 atas makna "kegentingan yang memaksa”.

“Dalam kasus yang hampir sama sejarah kenegaraan kita mencatat pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan Perppu sesaat setelah mengundangkan UU Pilkada karena mayoritas publik menolak pengaturan dalam UU Pilkada yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD,” tandasnya.

img
Syamsul Anwar Kh
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan