Eskalasi kekerasan dan terlunta-luntanya pengungsi akibat kekerasan di Papua dianggap tidak mendapat perhatian cukup dari pemerintah hingga akhir penghujung 2021. Hingga saat ini, ribuan pengungsi hanya mengharapkan perlindungan pihak gereja di Papua, sementara pemerintah dari pusat hingga ke daerah disebut seolah menjadi penonton.
"Hampir setiap hari kita menerima video perang dan pengungsian dan itu betapa mengerikan, kemudian mereka lari ke gereja. Pertanyaannya di mana negara, pemerintah dari level nasional sampai lokal? Atau institusi lain yang melindungi HAM sampai masyarakat harus mengungsi ke gereja?" kata Elvira Rumkabu, akademisi Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua dalam diskusi diskusi daring LP3ES secara daring bertajuk "Refleksi Akhir Tahun: Penegakan Hukum, HAM, Demokrasi", Jumat (31/12).
Menurut Elvira, sejak peristiwa Nduga tahun 2018, rakyat Papua terus dihadirkan berbagai episode kekerasan khususnya di wilayah Pegunungan Tengah seperti Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Mimika sampai Madrat di Provinsi Papua Barat. Kata dia, eskalasi kekerasan yang menyebabkan warga menjadi pengungsi sebenarnya bukan hanya soal dinamika karena ada aktor keamanan yang berperan di sana tetapi akibat berbagai macam kebijakan sekuritisasi/keamanan.
"Ini catatannya sangat mengerikan kalau kita lihat data. Ini yang terekam, belum yang tidak terekam. Misalnya peristiwa Nduga 2018, itu sudah ada 671 pengungsi yang meninggal, hampir 40.000 pengungsi yang tidak kembali ke rumah. Di Intan jaya sudah ada ribuan. Sejak 2019 mereka keluar dari rumah karena konflik TNI dengan TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) . Di Puncak Jaya, empat ribuan orang yang mengungsi," kata Elvira yang juga anggota Forum Akademisi Untuk Papua Damai (FAPD) ini.
Menurut Elvira, peristiwa pengungsian ini bukan karena kekerasan semata, tapi karena kekerasan itu muncul namun tidak ditangani. Menurutnya, yang terjadi saat ini ialah adanya situasi perang yang mengambil ruang publik.
"Ini bukan hanya bicara tentang demokrasi, tapi bicara Papua itu bicara ruang hidup yang direbut atas nama kebijakan sekuritisasi. Jadi ruang publik yang seharusnya dipakai untuk hajat hidup itu dipakai untuk perang," ungkapnya.
Elvira pun mempertanyakan kebijakan keamanan yang terus dilakukan pemerintah, termasuk hasilnya. Dalam kacamatanya, pendekatan keamanan justru membuat korban semakin banyak.
"Lalu apa sebenarnya produk yang sudah dicapai dari pendekatan keamanan ini? Ini pertanyaan yang terus muncul dari kami di Papua. Berbagai eskalasi kekerasan ini memunculkan pertanyaan sebenarnya. Papua itu masalahnya keamanan atau ada masalah lain? Misalnya persoalan yang ada kaitannya dengan eksploitasi sumber daya alam (SDA), ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi-politik," ungkap Elvira.
Tidak ada perubahan di era Andika Perkasa
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, situasi kekerasan di Papua tak lepas dari kebijakan politik yang mengabaikan HAM dan hukum, termasuk pengabaian terhadap reformasi sektor keamanan.
"Dalam beberapa kasus, misalnya di Papua, bukan ruang publik yang dipenuhi gagasan dan ide yang lebih damai, dialogis tapi ruang politiknya justru dipenuhi ruang represif dengan melakukan proses sekuritisasi di Papua, pendekatan keamanan. Kemudian juga diikuti pemberian label terorisme di Papua yang menggeneralisasi dan stigmatisasi yang tidak menyelesaikan konflik dan justru menimbulkan masalah baru di Papua," kata Al Araf.
Dalam pandangan Al Araf, situasi keamanan di Papua ke depan tidak akan berubah di era Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Pangkalnya, kata Al Araf, pendekatan teritorial yang ditempuh pemerintah ibarat peribahasa "keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa". Tak ada bedanya dengan pendekatan sekuritisasi di era Panglima TNI (Purn) Marsekal Hadi Tjahjanto.
"Saya justru menganggap pendekatan baru dari Panglima TNI ini 'keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa'. Kenapa? Karena perspektif pendekatan teritorialnya itu berimplikasi pada penambahan struktur teritorial keamanan di Papua. Jumlahnya meningkat," bebernya.
Menurut dia, konsekuensi dari pendekatan teritorial ialah bertambahnya pasukan organik di Papua. Dia memprediksi, jumlah pasukan organik di Papua pada 2029 akan mencapai 30.000 pasukan. Artinya, kata dia, situasi kekerasan di Papua tidak akan mengalami perubahan namun justru menambah masalah baru.
"Padahal, kalau kita berpijak pada agenda reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi militer, itu bukan dengan menambahkan struktur teritorial tapi melakukan restrukturisasi komando teritorial. Bukan menambah tapi mengurangi wilayah-wilayah yang tidak strategis dan tidak sampai mengikuti struktur pemerintah desa," pungkasnya.