Annisa Pohan Yudhoyono, Ketua Srikandi Demokrat mengatakan, kelompok perempuan mengalami tantangan yang signifikan karena ada perubahan pola kehidupan di tengah pandemi. Dengan kegiatan yang kini banyak berfokus dilakukan dari rumah, menurut Annisa, kelompok perempuan mendapat beban yang berlebih juga.
“Dengan adanya pemusatan kegiatan anggota keluarga di wilayah domestik, apalagi kebiasaan yang umum dilakukan di Indonesia dalam pembagian peran tugas domestik, sebagian besar diberikan pada perempuan, artinya di masa pandemi ini beban perempuan sebagai manajer rumah tangga menjadi berlipat ganda,” papar Annisa dalam webinar Srikandi Demokrat, Sabtu (25/9).
Tantangan berikutnya, kata Annisa, berdasar survei yang dilakukan UN Women, 82% perempuan mengalami pengurangan pendapatan dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Fakta lain, perempuan semakin rentan mengalami kekerasan di masa pandemi.
“Berdasarkan data pengaduan yang didapatkan Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan), pengaduan akan tindak kekerasan pada perempuan selama masa pandemi ini mengalami peningkatan drastis sebanyak 60%,” paparnya.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan menambahkan, pada periode Januari hingga Juni 2021 terdapat 2.592 pengaduan langsung ke Komnas Perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan.
Angka tersebut, Kata Andy, jauh di luar ekspektasi yang sebelumnya diperkirakan oleh Komnas Perempuan.
Lebih lanjut Andy mengungkap dari sejumlah pengaduan tersebut, masih didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang mana ditambah dengan maraknya kasus marital rape. Kemudian, terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual di ranah publik atau privat selama masa pandemi. Lainnya, masih banyak terjadi kasus intoleransi dan kriminalisasi bagi kelompok perempuan yang berada dalam pusaran konflik agraria.
Secara spesifik, Andy juga mengungkap terdapat kerentanan yang khas melanda perempuan di masa pandemi. Ia mengatakan jika perempuan lebih mudah terpapar Covid-19 karena banyak bekerja di posisi yang langsung berhadapan dengan khalayak umum.
“Kami menilai kemungkinan besar ada tiga hal, Pertama di sektor kesehatan, maka perempuan paling banyak di layer perawat. Kedua di sektor jasa, biasanya langsung ketemu dengan customer, yang ketiga adalah mereka miskin,” beber Andy.
Ia mengatakan faktor kemiskinan banyak melanda perempuan di semua sektor dan daerah, kemiskinan memengaruhi buruknya kondisi stamina dari perempuan sehingga lebih mudah terpapar virus.
Kemudian, Andy menjelaskan jika kelompok perempuan lebih mudah kehilangan pekerjaan di masa pandemi karena dinilai hanya sebagai pekerja tambahan dalam keluarga oleh perusahaan.
“Jadi kalau harus berhitung, si perusahaan juga akan memasukkan persepsi terkait penafkah utama, karena itu yang perempuannya akan dirumahkan duluan,” katanya.
Dengan fakta kerentanan perempuan di masa pandemi, Andy menambahkan kelompok perempuan harus mampu untuk menguatkan kepemimpinan dan keberdayaannya dengan mengoptimalkan potensi dalam diri serta lingkungan.
“Kami sempat memeriksa beberapa kebijakan tentang pandemi dan itu seperti catatan kaki lah ya, untuk kegiatan perempuan itu bagi saya kayak catatan kaki, dibandingkan terintegrasi dalam program utama gitu, dan lebih sering ditempatkan sebagai korban yang harus mendapatkan layanan, bukan sebagai aktor yang sebetulnya berdaya dan sudah melakukan intervensi,” tuturnya.